'Saya lagi ‘hamil besar’
Oleh taher heringguhir
Malam yang dingin, kulit pun menggigil namun semakin memicu hasrat penulis untuk tetap bertahan ditengah terpaan angin malam yang tidak ramah. Kilauan lampu sorot dari atas panggung diiringi alunan musik oleh disc jockey memaksa kedua mata tak berani terpejam.
Malam itu, di antara jejalan manusia dari kalangan artist (pemain sinetron), seniman, fotografer, ABG, politisi, aktifis, hingga jurnalis, penulis mencoba mencari celah posisi yang tepat untuk merekam ‘jejak’ kilasan waktu saat itu. ‘Memotret malam’ penganugerahan bertajuk Tribute to Women, di mana akan disemaikan penghargaan kepada 10 perempuan Indonesia oleh The Plaza Semanggi (PS).
Sky Building PS terlihat begitu menawan dengan hadirnya srikandi Indonesia (bila tidak berlebihan) sebagai perengkuh amanah perjuangan kekinian dengan berbagai bidang keahliannya. Salah satu perempuan yang berhasil ‘memaksa’ penulis dengan daya tariknya adalah Ayu Utami. Diterangi remangnya lampu disko, tampak tanktop hitam anggun melilit sintal tubuhnya.
Justina Ayu Utami, atau akrab disapa Ayu Utami, sosok yang tak asing di dunia pers dan sastra. Malam itu dia ‘membisikan’ satu informasi yang penting namun sayang penulis lupa menguraikannya dalam tulisan.
Ayu yang sempat tulisannya dikategorikan genre SMS (sastra maszhab sekuler) oleh sastrawan Taufik Ismail ini tetap menyembulkan senyuman kepada penulis (walau terpaksa karena belum kenal).
Dia, kembali akan menelorkan novel terbarunya setelah sebelumnya sukses dengan novel Saman (1999) dan Larung (2001). Novel terbarunya berjudul “Bilangan Fu” yang akan diterbitkan pada akhir Juni ini, tepatnya buku itu dijadwalkan beredar 30 Juni dengan harga resmi Rp55.000.
“Saya sedang menyelesaikan buku saya, makanya saya bilang lagi hamil besar,” tuturnya kepada penulis dengan keheranan siapa penulis dan mewakili media mana.
Tanpa basa basi Ayu meledeni satu demi satu pertanyaan penulis. Menurut dia, bukunya nanti tentu harus lebih baik dari dua novel sebelumnya. Ceritanya berkisar tentang pemanjat tebing, akan tetapi tidak menekankan pada aktifitas pemanjat tebingnya.
“Saya lebih menekankan pada konsep spiritual, karena saya melihat bahwa Indonesia yang mengaku sebagai negara beragama tetapi pada kenyataannya sangat formal dalam menjalakan agamanya,” akunya sembari menyaksikan lengak lengok Yuni Shara, Iga Mawarni, Andien, dan Nina Warna.
Perhatian penulis sedikit teralihkan ketika ikut melirik keempat wanita bersuara inidah itu. Sesekali mata penulis ‘nakal’ tapi etika dipertahankan tentunya. Entah patokannya di mana dan sebatas apa ‘nakal’ itu.
Kembali ke Ayu, konsep spiritual yang dimaksudnya adalah pengejawantahan sebuah sikap spiritual yang kritis di mana dapat mengkritisi dirinya sendiri, tidak beriman secara buta atau saklek, dan selalu mereformasi dogma-dogma yang tidak sesuai dengan kesetaraan manusia.
Kita tahu bahwa sastra kini bukan hanya semata-mata fiksi dan anagn belaka, namun sastar telah menjadi salah satu alat yang digunakan agama dalam praktek dakwahnya atau misionarinya. Perkembangan sastra kini sedang didominasi sastra religi. Ada dua hal yang dijabarkannya terkait dengan novel religi. Pertama, novel Islam yang bermuatan dakwah. Kedua, novel dari peradaban Islam yang memakai unsur-unsur masyarakat yang beragama Islam tapi tidak menyentuh pada tataran dakwah.
“Keduanya harus dibedakan, di Indonesia tidak banyak tapi kalau di luar negeri seperti Turki dan Iran.Mereka memiliki peradaban Islam kuat tapi isi novel-novelnya tidak berdakwah,” tegasnya namun tak menghilangkan sisi feminimnya.
Di Indonesia, menurut dia, selain Habiburrahman ElShirazy dengan “Ayat-Ayat Cinta” penulis-penulis dari Forum Lingkar Pena (FLP) juga bisa masuk pada dua genre tersebut.
“Mereka memang berdakwah melalui kesusastraan, saya fikir semua itu baik-baik saja asal unsur sastranya tidak hilang oleh dogma,” tuturnya.
Dia juga menilai bahwa bukan hanya dogma yang menghilangkan unsur sastra tapi muatan ideologi juga dapat membuat sebuah novel menjadi kurang bernilai seperti yang ditunjukan novel-novel realisme sosialis.
Namun secara umum Ayu menilai perkembangannya secara keseluruhan baik. Parameternya, jumlah buku semakin meningkat tiap tahun dan bertambahnya apresiasi pembaca dan industri penerbitan.
Oleh taher heringguhir
Malam yang dingin, kulit pun menggigil namun semakin memicu hasrat penulis untuk tetap bertahan ditengah terpaan angin malam yang tidak ramah. Kilauan lampu sorot dari atas panggung diiringi alunan musik oleh disc jockey memaksa kedua mata tak berani terpejam.
Malam itu, di antara jejalan manusia dari kalangan artist (pemain sinetron), seniman, fotografer, ABG, politisi, aktifis, hingga jurnalis, penulis mencoba mencari celah posisi yang tepat untuk merekam ‘jejak’ kilasan waktu saat itu. ‘Memotret malam’ penganugerahan bertajuk Tribute to Women, di mana akan disemaikan penghargaan kepada 10 perempuan Indonesia oleh The Plaza Semanggi (PS).
Sky Building PS terlihat begitu menawan dengan hadirnya srikandi Indonesia (bila tidak berlebihan) sebagai perengkuh amanah perjuangan kekinian dengan berbagai bidang keahliannya. Salah satu perempuan yang berhasil ‘memaksa’ penulis dengan daya tariknya adalah Ayu Utami. Diterangi remangnya lampu disko, tampak tanktop hitam anggun melilit sintal tubuhnya.
Justina Ayu Utami, atau akrab disapa Ayu Utami, sosok yang tak asing di dunia pers dan sastra. Malam itu dia ‘membisikan’ satu informasi yang penting namun sayang penulis lupa menguraikannya dalam tulisan.
Ayu yang sempat tulisannya dikategorikan genre SMS (sastra maszhab sekuler) oleh sastrawan Taufik Ismail ini tetap menyembulkan senyuman kepada penulis (walau terpaksa karena belum kenal).
Dia, kembali akan menelorkan novel terbarunya setelah sebelumnya sukses dengan novel Saman (1999) dan Larung (2001). Novel terbarunya berjudul “Bilangan Fu” yang akan diterbitkan pada akhir Juni ini, tepatnya buku itu dijadwalkan beredar 30 Juni dengan harga resmi Rp55.000.
“Saya sedang menyelesaikan buku saya, makanya saya bilang lagi hamil besar,” tuturnya kepada penulis dengan keheranan siapa penulis dan mewakili media mana.
Tanpa basa basi Ayu meledeni satu demi satu pertanyaan penulis. Menurut dia, bukunya nanti tentu harus lebih baik dari dua novel sebelumnya. Ceritanya berkisar tentang pemanjat tebing, akan tetapi tidak menekankan pada aktifitas pemanjat tebingnya.
“Saya lebih menekankan pada konsep spiritual, karena saya melihat bahwa Indonesia yang mengaku sebagai negara beragama tetapi pada kenyataannya sangat formal dalam menjalakan agamanya,” akunya sembari menyaksikan lengak lengok Yuni Shara, Iga Mawarni, Andien, dan Nina Warna.
Perhatian penulis sedikit teralihkan ketika ikut melirik keempat wanita bersuara inidah itu. Sesekali mata penulis ‘nakal’ tapi etika dipertahankan tentunya. Entah patokannya di mana dan sebatas apa ‘nakal’ itu.
Kembali ke Ayu, konsep spiritual yang dimaksudnya adalah pengejawantahan sebuah sikap spiritual yang kritis di mana dapat mengkritisi dirinya sendiri, tidak beriman secara buta atau saklek, dan selalu mereformasi dogma-dogma yang tidak sesuai dengan kesetaraan manusia.
Kita tahu bahwa sastra kini bukan hanya semata-mata fiksi dan anagn belaka, namun sastar telah menjadi salah satu alat yang digunakan agama dalam praktek dakwahnya atau misionarinya. Perkembangan sastra kini sedang didominasi sastra religi. Ada dua hal yang dijabarkannya terkait dengan novel religi. Pertama, novel Islam yang bermuatan dakwah. Kedua, novel dari peradaban Islam yang memakai unsur-unsur masyarakat yang beragama Islam tapi tidak menyentuh pada tataran dakwah.
“Keduanya harus dibedakan, di Indonesia tidak banyak tapi kalau di luar negeri seperti Turki dan Iran.Mereka memiliki peradaban Islam kuat tapi isi novel-novelnya tidak berdakwah,” tegasnya namun tak menghilangkan sisi feminimnya.
Di Indonesia, menurut dia, selain Habiburrahman ElShirazy dengan “Ayat-Ayat Cinta” penulis-penulis dari Forum Lingkar Pena (FLP) juga bisa masuk pada dua genre tersebut.
“Mereka memang berdakwah melalui kesusastraan, saya fikir semua itu baik-baik saja asal unsur sastranya tidak hilang oleh dogma,” tuturnya.
Dia juga menilai bahwa bukan hanya dogma yang menghilangkan unsur sastra tapi muatan ideologi juga dapat membuat sebuah novel menjadi kurang bernilai seperti yang ditunjukan novel-novel realisme sosialis.
Namun secara umum Ayu menilai perkembangannya secara keseluruhan baik. Parameternya, jumlah buku semakin meningkat tiap tahun dan bertambahnya apresiasi pembaca dan industri penerbitan.
Gadis ini adalah sosok aktivis jurnalis dan novelis indonesia. Novelnya Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta pada 1998 dan di tahun 2000 novel tersebut memperoleh Prince Claus Award di Den Haag, Belanda.
Ayu juga pernah menjadi wartawan dibeberapa majalah a.l majalah Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tidak lama setelah penutupan majalah Tempo, Detik dan Editor, Ayu bersama aktifis jurnalis lainnya mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Perempuan yang lahir di Buitenzorg (Bogor) tahun 1968 ini menyelesaikan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1994.
Novel barunya itu mengisahkan petualangan tiga anak muda yang memburu nilai-nilai spiritualisme. Yuda (seorang pemanjat tebing dan petaruh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat), Parang Jati (seorang pemuda berjari duabelas, yang dibentuk oleh ayah angkatnya untuk menanggung duka dunia), dan Marja (seorang gadis bertubuh kuda teji dan berjiwa matahari).
Unsur cinta sudah pasti jadi bumbu untuk menyedapkan cerita. Cinta yang lembut di antara pengalaman-pengalaman religius dan ghaib.
Ayu, malam itu menjadi satu dari 10 perempuan. Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan RI), Diana Santosa (Pengusaha Batik), Dr. drh. Ligaya Ita Tumbelaka, Sp.MP, M.Sc (Pencatat Silsilah Harimau Sumatera Regional Indonesia, di Taman Safari Indonesia), Mirza Dikari Kusrini, Ph.D (Ahli Ekologi Katak), Meuthia Kasim (Media), Mira Lesmana (Produser Film dan Sutradara), Maia Estianty (Artis), Dita Indah Sari (Aktivis Perempuan PRD), dan Irene Kharisma Sukandar (Pecatur Dunia).
Semuanya perempuan ini menawan dalam arti non-fisik, kecuali dua orang, Ya, dua orang yang mengaku wartawan baru sedang mencicipi hidangan gratis malam itu, termasuk penulis.
Direvisi oleh penulis 24 Juni 2008
laporan yang mantap coy
BalasHapus