Senin, 24 November 2008

Ekonom dadakan


Suatu ketika gue nelpon Fauzi Ichsan, salah satu ekonom cerdas, muda, ganteng, calon bapak (coz istrinya lagi hamil), parlente, dan selalu dipuji rekan gue. Pertanyaan gue ga jauh dari apa saran dia sebagai ekonom senior Standard Chartered Bank dalam menyikapi depresiasi mata uang kita. Pengen tahu tanggapannya tentang rupiah yang ga punya salah apa-apa tetapi diseret dan ditarik-tarik dolar AS agar merosot terus.

"Halo Mas Aji?" tutur gue memulai pembicaraan so akrab

"Oh iya maaf ni siapa? Dia bingung

"Taher nih, maaf mengganggu bisa minta waktu sebentar Mas?"

"Taher mana?” Tegas dia

"Itu mas yang waktu itu ketemu di Seminar Economic Outlook Bisnis Indonesia," gue mencoba bersabar, coz ga dikenal.

"Saya punya temen namanya taher juga, yang mana nih?

"Pliss deh," sedikit merajuk

"Oh iya-iya, yang rambutnya kriting dan lucu tapi manis itu kan? Dia mencoba bergurau.

"Ah bisa aja, iya," gue tersipu.

"Wah saya lagi makan nih, sms aja yah ntar," ujar dia, terdengar bunyi garpu bertalu-talu.

SMS pun gue kirim dengan dana yang tersisa.

Akhirnya beberapa menit kemudian dia nelpon gue balik. Saran mantan pialang surat utang di Singapura ini salah satunya melakukan swap dan repo.

“Untuk mencari pasokan dolar yang terbang ke luar negeri (capital flight), Indonesia harus mencari bantuan dari negara yang punya dolar AS banyak dan mata uangnya tidak terpuruk,” jelas dia, dan gue masih mangap-mangap mendengarkan dengan serius.

“Tapi kan negara yang punya dolar AS ya AS itu sendiri. Tapi mereka aja lagi susah kan?” cerocos gue so mengimbangi.

“Yup, ini yang menjadi kendala, negara lainnya China, tetapi aapak mereka mau megang rupiah dan kita beli dolar AS dari mereka? ini yang menjadi kendala” dia kecewa.

Sebelumnya, Farial Anwar, analis valas, juga bilang kalo perlu adanya revisi rezim devisa bebas menjadi sistem devisa terkendali. “Tak usah menunggu revisi UU hingga enam bulan lamanya, keburu rupiah tercekik,” katanya.

Kalau revisi UU itu lama dia nyaranin adanya peraturan pengganti UU atau Perpu yang ditandatangni Presiden. Rezim devisa bebas itu, kurs rupiah diserahkan mekanisme pasar, kalo terkendali, BI mematok rupiah pada kisaran tertentu. Tau ndiri, rupiah sempat Rp13.000 per dolar AS.

Kalau depresiasi masih berlanjut, yah susah buat semua. Apalagi gua kalo mau belanja komputer ke glodok yang patokannya dolar AS pasti blingsatan juga. Belum lagi yang lain.

Banyak banget masalah di negara ini, selain rupiah. Harga di pasar saham kita terpangkas paling besar dibandingkan dengan pasar saham dunia meski Hang Seng, Nikkei juga parah.

Belum lagi persoalan sesama menteri yang 'berkelahi' soal bagaimana menyikapi sebuah saham korporat nasional bernama PT Bumi Resources Tbk, salah satu aset emas PT Bakrie and Brothers Tbk milik keluarga Aburizal Bakrie. Majalah Tempo saja dilaporkan oleh mereka ketika memberitakan persoalan laten di balik terus berlanjutnya suspensi saham Bumi. Suspensi itu karena saham Bumi anjlok terus, kalo kaga dipending gitu ya mirip perosotan.

Tetapi ada kabar baik, harga minyak mentah dunia di bursa New York Merchantile Exchange (Nymex) sudah turun ke level terendah hingga US$48 per barel. Yah, walaupun masih muter-muter pada kisaran US$50 per barel toh ini melegakan kita semua. Namun sayang banget. Harga minyak turun, harga CPO (minyak sawit mentah/crude palm oil), kakao, karet juga turun. Kasihan petani kita.

Petani sawit kita menjerit harga sawit tinggal 20% dari normal. Padahal harga sawit tidak ada hubungannya dengan macetnya kredit pembiayaan rumah (subrpime mortgage) yang bangkrutkan raksana Lehman Brothers dan temen-temennya.

Lalu kemana orang pintar kita?

Kemana orang-orang cerdas di negara kita?

Mungkin lagi sibuk ikut ngantri formulir Indonesian Idol? entahlah

Atau kemana calon-calon sarjana kita?

Ternyata, calon-calon orang cerdas [baca:mahasiswa] sibuk tawuran dengan sesama jenis lainnya. Lihat saja ulah ‘sebagian’anak UKI, Univ.Muhammadiyah Makasar, Univ.45, Univ Nusa Cendana, YAI Jakarta, dan Univ lainnya.

Tetapi gue tetap optimis, coz krisis ini beda dengan 1998 di mana hanya Asia yang mengalami depresi. Kalo yang sekarang memang berawal dari negara maju dan mengancam negara berkembang.

Gue tetap optimis sama halnya dengan Cyrillus harinowo, komisaris independent BCA, Unilever, dan Ketua STIE Perbanas, yang bilang kita ini sangat beruntung punya dua kekuatan besar yakni population base economic dan resources base economic. Maksudnya?

Jumlah penduduk kita lebih dari 225 juta dengan jumlah pendapatan per kapita hampir US$2000 itu memberikan kekuatan yang besar pada ekonomi. Terus, SDA kita masih belum dimanfaatkan, geothermal atau panas bumi, di mana kita punya cadangan 40% cadangan dunia namun baru 1000 megawatt listrik yang kita manfaatikan.

Gue optimis meski kadang rasa pesimis pengen ngikut-ngikut. Rasa optimis itu muncul diiringi kemenangan Barrack Obama menjadi Presiden AS terpilih menggantikan si Bush Junior.

Bush junior, saat pergantian pada 2001, udah bawa AS dari surplus APBN jadi defisit sehingga AS mengalami defisit neraca pembayaran luar negeri dan APBN. Tapi dengan hadirnya Obama.

Di cover majalah The Economist: NOvember 2008, tertulis judul “Great Expectation”

TIME edisi terbaru menulis “The New New Deal”

Yang lebih menguatkan adalah, pada pertemuan APEC dua hari pada 22-23 November di Peru, mayoritas pemimpin dunia belum mau membahas rencana terperinci penangan krisis ekonomi dunia karena si hitam ini ga hadir. Gila, betapa kuat pengaruhnya.

Padahal, bila mengingat sejarah kelam rasisme di AS betapa manusia kulit hitam dianggap sampah, dilecehkan, dan lainnya. Tapi kini, dengan kuasa Tuhan, skenario itu diwujudkan. Orang hitam ini memimpin AS.

dus, seperti judul cerpen Idrus, “banyak-Jalan menuju Roma"



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu