Minggu, 02 November 2008

Melihat pelangi di Laskar Pelangi

(orang seperti kita akan mati tanpa 'mimpi'---by a hirata)

Belum lama ini gue nonton film Laskar Pelangi. Gak usah gue ceritain detailnya, pasti sudah banyak yang membicarakan film garapan sutradara Riri Riza yang rambut dan kontur mukanya mirip banget sama temen kelas gue, hasyim.

Udah lama banget dunia perfilman Indonesia gak munculin film berkualitas-menurut gue-kaya gini semenjak Petualangan Sherina (juga oleh Riri Riza), tetapi akhirnya penantian itu tidaklah lama karena muncul Laskar Pelangi. Film yang diadaptasi dari novel karya Andrea Hirata. Novelis yang mengaku bukan sastrawan dan bukan penulis. Gue jadi inget telepati dengannya dari jarak jauh....

“Saya bukan seorang sastrawan. Menulis laskar pelangi bukan untuk dibukukan seperti sekarang,” ujarnya rendah hati.

Bayangin aja, 10 hari pertama setelah diluncurin film itu menyedot sejuta penonton lebih. Sekarang sih (Oktober) katanya tujuh juta orang. Jangankan gue sebagai satu dari sejuta penonton itu, sang produser, Mira Lesmana sendiri juga gak percaya dengan angka itu.

“Masa sih her?Ah ekspektasi aku sih ga segitu,” tuturnya belum lama ini, maaf gue lupe di mana.

Sebelumnya gue bosen sama filem yang mengikuti mainstream pasar kaya percintaan anak-anak ABG, misteri, horor, komedi, yang ga jauh dari seks. Bukannya munafik tetapi semunafik-nafiknya orang munafik pasti pengen gak munafik. Maksudnya, edukasi juga perlu. Nah dengan film ini bisa meretas perjalanan darah-darah muda yang merindukan bulir-bulir perubahan.

Sinematografinya gila, semua keindahan Belitong didedahkan abis. Jadi inget pantai Flores tercinta, mulai lagi deh chauvinisme.

Mira dan Riri benar-benar memerhatikan sudut kekampungan Belitong yang kaya, engga ada sama sekali pemain yang dandan. Alami banget, gak seperti sinetron-sinetron jaman sekarang. Bangun tidur pake bedak, ke WC pake lipstik, ke rumah tetangga pake kebaya (mang ada?). Yang jelas gue suka banget tuh yang namanya Mahar. Lucu, gayanya dewasa tapi konyol, setia kawan, suka seni. Gue banget tuh waktu kecil...he2

Menakar Film dari Novel

Sebenarnya sebelum filem ini ada filmAyat-ayat Cinta besutan Hanung Bramantyo yang juga buat gue terharu dan inget ma dos%&*%*%(^*(^*^&&.

Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi adalah dua novel yang terbilang sukses diangkat ke layar lebar.

Gue masih inget, meskipun belon lahir, pada 1973 ada filem yang diangkat dari novel juga. Si Doel Anak Betawi arahan sutradara Sjuman Djaya yang diadaptasi dari novel karya Aman Datoek Madjoindo. Kala itu, Si Doel adalah trademark atas sebuh perjalanan seorang menapaki kehidupan anak muda.

Lalu tahun 76, ada Cintaku di Kampus Biru yang digawangi Ami Proyono berdasarkan novel dengan judul yang sama karya Ashadi Siregar. Yang heboh dari filem ini, menurut antropolog Karl G. Heider, Kampus Biru adalah film Indonesia pertama dengan adegan ciuman di bibir secara penuh (ehem2 deh). Padahal emang zaman dulu french kiss masih agak tabu ya.

Para pemainnya antara lai si Roy Martin, yang dua kali masuk bui tuh. Lawan mainnya Yati Octavia. Katanya sih filem ini tidak terjebak pada streotipe film-film percintaan anak muda yang ditayangin sinetron-sinetron sekarang.

Terus masih ada Badai Pasti Berlalu besutan Teguh Karya pada 1977 sesuai novel karya Marga T, temennya marga W dan marga Mulya. Idiom yang dipakai judul film ini sungguh beken, saking ngetopnya sering dikutip sebagai bagian dari pidato pejabat pemerintah. Apalagi dunia kini diserang krisis ekonomi global dari AS, makin banyak kata ini diucapkan.

Dan ininih yang paling gue inget. Gita Cinta dari SMA arahan Arizal pada 1979 berdasarkan novel yang sama karya Eddy D Iskandar. Tokohnya Galih dan Ratna adalah romeo dan julietnya Indonesia pada era 70-an. Soundtracknya diisi oleh alm.Chrisye. es di pasaran, segera dilanjutkan dengan sekuel Puspa Indah Taman Hati.

Jaka Sembung bawa goblok, ga nyambung golok. He2. masih ingat Jaka Sembung? Jaka Sembung Sang Penakluk arahan sutradara Sisworo Gautama Putra pada 1981 berdasarkan Novel grafis Jaka Sembung. Ajian rawa Rawerontek menjadi terkenal di film ini.

Lalu novel Lupus karya Hilman Hariwijaya dibawa ke layar lebar oleh Achiel Nasrun pada 1987 dengan judul Lupus (Tangkaplah Daku Kau Kujitak). Almarhum Ryan Hidayat, sang pemeran Lupus tak pelak segera menjadi idola baru, termasuk kaka gue yang doyan banget nonton. Di tahun yang sama muncul Arini (Masih Ada Kereta yang Akan Lewat besutan alm Sophan Sophian dari novel Masih Ada Kereta yang Lewat karya Mira W, temennya Mira Lesmana.

Lalu masih hangat di ingatan coz belum lama (2003) filem Eiffel...I’m in Love arahan Nasry Cheppy berdasarkan novel Eiffel...I’m in Love karya Rachmania Arunita, gue sempat wawancara dengannya berikut dengan suaminya ketika peluncuran filem dari novel terbarunya.

“Halo mba..rahmah, saya taher?” tanyaku memperkenalkan diri.
“Hi juga...kamu dari mana?” selidiknya
“Dari jawa mba....?” jawabku polos
“Bukan, maksudku kamu dari media mana?”
“Ohhh *(&^&%^&%$^%, maaf”

Lanjut, ada lagi film yang membuat gue merasa bangga jadi mahasiswa Indonesia. Gie karya Riri Riza pada 2005. Film ini hasil interpretasi sutradara yang mirip temen gue hasyim itu, yup Riri Riza, dari buku Catatan Harian Seorang Demonstran yang ditulis aktifis Soe Hok Gie, adiknya Arief Budiman, Sosiolog Indonesia.

Film ini sempat tercatat sebagai film termahal yang pernah dibuat di tanah air. Maklumlah, rumah produksi Miles Films memang tak mau tanggung-tanggung mencarikan ongkos produksi di atas Rp 7 milyar, konon membengkak hingga dua kali lipat, untuk mewujudkan film biopik ini.

Dan kini, Ayat-ayat Cinta lewat karya kreatif Hanung Bramantyo berdasarkan novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrachman El Shierazy dan LAskar Pelangi. Salut buat perfileman Indonesia. Sekarang gue bisa sandingkan cerita-cerita besar karya Holiwud seperti patriot, beautiful mind, remember the titans, dan lain-lain dengan filem nasional kita.

1 komentar:

  1. Tes Kolom Komentar... Skrg dah bisa langsung bikin komentar di kolom ini

    BalasHapus

Entri Populer

Penayangan bulan lalu