Perhatian bagi pialang berjangka! Sebulan lagi, seluruh broker anggota bursa berjangka diwajibkan melakukan transaksi kontrak komoditas.
Artinya, mau tak mau, pialang yang selama ini mengeruk komisi dari duit nasabah yang ditransaksikan lewat valas valuta asing dan indeks saham asing atau melalui sistem perdagangan alternatif (SPA), harus 'mampir' ke komoditas.
Ketika berbincang di ruang kerjanya pada akhir pekan lalu, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Deddy Saleh mengatakan paling tidak Februari akan diterapkan kebijakan wajib transaksi komoditas. "Persentasenya nanti akan dibicarakan dengan BBJ [Bursa Berjangka Jakarta]."
Rasanya kewajiban baru itu cukup berat bagi pialang. Di satu sisi, kontrak komoditas belum banyak ditransaksikan di BBJ dan belum menarik bagi pialang, sehingga tidak ada patokan harga. Di sisi lain, transaksi melalui SPA sangat likuid. Bukan bisnis namanya kalau pialang melepaskan kesempatan likuidnya transaksi.
Sekelumit kalimat sakti di atas sering kali dijadikan alasan pialang belum hijrah ke komoditas. Maka jadilah, kontrak komoditas di BBJ ada, tapi tiada berwujud.
Usulan ini sebenarnya sempat diajukan BBJ dan PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) sejak 3 tahun lalu kepada Kepala Bappebti pada era sebelumnya, Titi Hendrawati, tetapi mental. Mungkin saat itu kebijakan 'pemaksaan' belum sesuai, atau memang ada alasan riil yang lain.
Pada Mei 2008, juga sempat diusulkan agar pialang wajib bertransaksi komoditas minimal 2% dari total perdagangan bulanannya. Namun, sekali lagi, tidak ada dukungan.
Bappebti berusaha mendorong volume transaksi komoditas primer. Pasalnya, sejak BBJ berdiri hampir 9 tahun lalu, volume transaksi di bursa komoditas itu justru dikuasai SPA.
Sekadar mengakrabkan istilah, BBJ punya dua jenis kontrak. Pertama, kontrak berjangka komoditas yang terdiri dari lima kontrak yaitu olein, kontrak indeks emas, kontrak gulir emas, dan kontrak gulir emas denominasi dolar AS.
Kedua, kontrak yang diperdagangkan di luar bursa (over the counter/OTC) melalui sistem perdagangan alternatif yaitu kontrak indeks saham asing, valas, dan kontrak komoditas perdagangan amanat bursa luar negeri (PALN). Kontrak komoditas itu biasa disebut multilateral dan OTC disebut bilateral.
SPA sendiri pada awalnya hanya dijadikan motor penggerak bagi keuangan BBJ. Maklum, pada saat itu BBJ belum sehat secara finansial dan tidak disubsidi pemerintah. Pendanaan utama sebetulnya diharapkan dari kontrak komoditas, tetapi sayang masih melempem.
Bumi dan langit
Perbandingan antara total volume transaksi OTC dan komoditas sepanjang 2008 memang ibarat bumi dan langit. Transaksi OTC mencapai 5,56 juta lot, sedangkan komoditas hanya 53.788 lot.
Ketika dibuka pada awal tahun, kontrak komoditas sempat mencapai 5.426 lot lebih tinggi dibandingkan dengan Januari 2007 yang hanya 1.740 lot. Pada akhir tahun masih melorot jadi 1.383 lot. Padahal pada pengujung 2008, BBJ menambah satu kontrak yakni kontrak gulir emas denominasi dolar AS. Kenaikan tertinggi 10.394 lot hanya terjadi pada Oktober akibat kenaikan kontrak indeks emas.
Dengan paparan ini sudah selayaknya Bappebti bisa mengambil langkah tegas dengan mewajibkan pialang masuk ke komoditas, asalkan ada jaminan keringanan, kompensasi, atau insentif. Biar bagaimanapun pengusaha tetap pengusaha yang mencari keuntungan. Hari gini siapa yang tak mau untung.
BBJ dan KBI sempat mengimingi pialang dengan membebaskan biaya transaksi sebesar Rp5.000 per lot, iuran bursa Rp2 juta per bulan, iuran KBI Rp3 juta per bulan, dan biaya bulanan frame relay atau pembayaran komunikasi melalui sistem BBJ (JAFeTS2) yang seharusnya Rp3 juta per bulan. Namun, tetap saja SPA jauh lebih menggoda. Keuntungan SPA jauh lebih besar dari pada insentif itu.
Celaka 12 jika sampai dari total 70 pialang, hanya 10 pialang yang ikut meramaikan transaksi kontrak komoditas di BBJ. Apalagi BBJ juga dihadapkan pada calon pesaing baru, PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia.
Lalu apakah harus diberikan sanksi bagi pialang yang membandel? Terkadang memaksakan kehendak juga tidak bisa menyelesaikan masalah, lagipula yang namanya peraturan kadang muncul kebiasaan jelek dan membudaya bahwa sebuah peraturan diciptakan untuk dilanggar.
Terlepas dari itu semua, inti kebijakan ini tentu dengan harapan visi dan misi BBJ sebagai sarana untuk melakukan lindung nilai, spekulasi, dan penentuan harga khususnya kontrak komoditas bisa terwujud. Kapan bisa mencatut informasi harga CPO tidak lagi di Mdex Malaysia atau Rotterdam Belanda?
Perlu ada kejernihan pikiran melihat apakah kewajiban ini adalah pil pahit atau tidak, entahlah, yang jelas pil ini harus ditelan. (redaksi@bisnis.co.id
Ditulis oleh M Tahir, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi Rabu, 21 Januari 2009
Gambar: daniel acker/bloomberg