Rabu, 13 Januari 2010

Chapter one, Jogja-Solo-Semarang

“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu.masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna.” (Yogjakarta-Kla Project)



Senin, 11 januari 2010.

Fajar masih menggelayut, dian di pelataran raya pun enggan padam menggerayangi pagi yang sebentar lagi muncul. Aku bersama keinginanku sudah tak sabar menyelami kenikmatan kota yang dipuitiskan dengan elok dan romantis oleh Kla Project dalam lagu Yogjakarta di atas.


Rasa itu lantas menyulut api kembara, jadinya pagi pagi buta itu kumelaju di atas dua roda kuda besi milik iparku menerobos jalan Bekasi yang lowong menuju Stasiun Jatinegara. Dingin, tak mengapa baginya daripada ketinggalan kereta ke kota pelajar itu. Sepekan ini aku meminta cuti sekadar melepas penat, mengisi hari-hari dengan pengembaraan, berkelana kata Haji Rhoma Irama.


Pukul 05.15 pagi, aku sampai juga di salah satu stasiun tua di Jakarta itu. Sayang, kawan seperjuanganku, Bolang, tak nampak batang hidungnya, padahal sedari pukul 4 pagi, kawan yang dahulunya alumnus Pizza Institute itu sudah ‘menerorku’ agar tak terlambat.


Ternyata pemuda Pasar Minggu itu baru nongol pukul 05.45 berbalut pantalon hitam dengan sandal Eiger Pasar Poncol. Syukurlah, Bolang membawa dua senjata kami untuk berburu hiperealitas Jogjakarta melalui foto dan handycam, dua barang itu dipinjam Bolang. Penghasilan kami selama dua bulan di perusahaan pun belum cukup membeli barang itu. Lain lagi kalau mengandalkan duit esek-esek.


Dua insan berdarah muda ini yaitu kami, akhirnya memilih kereta Fajar Utama Jakarta-Jogjakarta kelas bisnis yang berangkat pukul 06.32. Sebetulnya, kami pengen kereta ekonomi sekadar merasakan bagaimana moda transportasi teririt di Indonesia bemandikan keringat, kicau pedagang asongan, tangisan pengemis, dan aroma penumpang yang penuh sesak.


Namun berhubung jadwal kereta kelas ekonomi berangkat siang, terpaksa duit Rp240 ribu melayang. Di stasiun yang mulai diresmikan pada 1875 dengan rute awal Jatinegara-Jakarta Kota itu, nampak penumpang seperti laron, mengerubungi peron-peron, sementara porter stasiun berbaju loreng lango juga tak henti melayangkan tatapannya tajam ke setiap penumpang, lapar rizki. Dan kami tetap semangat, seakan tak terganggu dengan rutinitas itu.


"Udah sekali-sekali boros dikitlah beli kelas bisnis, gw da bosen ekonomi mlulu," keluh Bolang memaki nasib yang tak bersahabat memecah suasana pagi itu.


Sayangnya, duit segitu yang lumayan besar bagi orang-orang gunung macam kami tidak diimbangi tepatnya jadwal.


Ngaret di Jakarta, tepatnya di negara ini sudah mengakar budaya. itulah sebabnya ketika salah satu menteri Kabinet Indonesia Bersatu II telat datang saat ditemui perwakilan Jepang pekan ini pun itu menjadi kelaziman bagi negara ini padahal waktu itu seperti pedang.


“Peliharalah waktu. Waktu laksana sebilah pedang. Jika Engkau tidak menebaskannya, ia yang akan menebasmu,” petuah Habib Abu Bakar bin Abdullah bin Thalib al-Attas dalam sebuah manuskrip yang akucopy-paste dari mozaik memoriku..


Tabiat Jakarta itu jua penyebab kereta ngaret sampai pukul 07.00 baru berangkat ke kota yang menghadirkan senyum abadi bagi penjaja cinta, kota budaya, kota penuh nuansa seni, kota pelajar, kota yang menghargai kearifan lokal, Jogjakarta. Kami anak muda memang diciptakan untuk selalu memuji dan mencinta apalagi ketika mencintai suasana yang jarang dinikmati.

***

Aku dan Bolang bersendawa ria, mengakrabkan diri dengan waktu dan tak terasa pukul 04.30 sore, kami sampai dengan selamat di Stasiun Jogjakarta atau dikenal dengan Stasiun Tugu, stasiun yang mulai beropreasi pada Mei 1887.


Stasiun ini, pada awalnya hanya digunakan untuk transit kereta pengangkut hasil bumi dari daerah di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun sejak 1 Februari 1905, stasiun ini mulai digunakan untuk transit kereta penumpang. Bolang sendiri sudah beberapa kali mampir di kota ini sementara aku baru 3 kali.


Dalam perjalanan berkelana, menebas rintangan, merangkul asa, memikul beban asmoro, menerjang kabut, mendaras keringat, menepis ancaman, mendarah-darah (lebay deh) sambil menatap mesra sawah ladang memaksa kami untuk merenung, ajang kontemplasi diri. Akankah semua masalah negara ini bisa dituntaskan.


Perjalanan itu banyak hal yang membuat miris meski sebagai wartawan kemarin sore, kami punya pengalaman dan bidang yang sebetulnya berkaitan tetapi ranah.


Kawankua, Bolang, mendapat amanah meliput di makroekonomi sementara aku biasa berkutat dengan isu mikrokeuangan. Bolang menganalisa APBN, aku menganalisa neraca, Bolang caper pada sekretaris menteri, aku digoda humas perusahaan, hmmm. Mirip miriplah. Yah begitulah perbedaan itu yang menyatukan dua insan ini dalam satu tujuan, menyokong etika profesi dan nama baik perusahaan kami.


Perasaan miris itu di antaranya dengan setumpuk pekerjaan rumah bangsa ini yang belum selesai. Kami merasa seperti orang penting saja. Dari mulai lebarnya defisit anggaran hingga ke inspeksi mendadak Denni Indrayana cs ke Lapas Pondok Bambu, dari Facebook ke pengetahuan fotografi.


Masalah kemenangan Hatta Rajasa di pemilihan ketua umum PAN juga kami dikait kaitkan. Bagiku yang notabene konstituen dari PKS, posisi PAN saat ini tak lebih dari cangkok politik SBY dengan Demokratnya.

Sepanjang jalan sekitar sembilan jam itu sesaat kami tersedak, terhentak, dan aneh sendiri. Kami sadar Tanah Air yang diberi kelebihan gemah ripah loh jinawi toto tentrom karto raharjo tetapi karunia itu tak bisa diejahwantahkan oleh pemerintah.


Kok bisa ya tanah Jawa Barat yang terbentang hingga Jateng terhampar berates-ratus ladang sawah sepanjang jalur kereta. Namun, ironisnya kelebihan itu tak mampu menyediakan stok pangan bagi masyarakat sehingga harus impor beras dari Thailand dan Vietnam.


"Ini perlu di tulis di status Facebook nih boy," tukas Bolang mendelik.


Di sela perbincangan itulah, Bolang membuka Facebook, jejaring sosial yang lagi ngetren belakangan ini sekadar menyegarkan suasana, berselancar ria, bergenit genit asoy, sepeti tak merasa waktu begitu kejamnya menahan mereka dengan kenikmatan virtual itu.


Facebook, Twitter, Gtalk, Yahoo Massenger, dan kawan-kawan adalah warga baru dunia, paralel libido manusia masa kini, bukan lagi mempertahankan status quo korespondensi cara lama yang sebetulnya bagiku justru lebih bernilai sosial, ada nilai silaturahim.


Bisa dibayangkan seandainya tak ada lagi nama-nama seperti Suteja, Nimin, atau Dedi. Yang ada dalam beberapa tahun mendatang itu mungkin Samsul Mark, mengambil nama pendiri Facebook, atau Agus Jobs sebagai konversi nama Steve Jobs pendiri Apple Inc.


Masyarakat bagi keduanya memang tak bisa menyalakan modernitas menyerbu Indonesia. Tak mungkin juga mengelak kebudayaan barat yang menyaru dalam preferensi teknologi informasi. Tugas masyarakat adalah lebih menghargai kebudayaan sendiri sehingga meminimalisir justifikasi aset budaya oleh bangsa jiran atau barat.


Teknologi informasi membuat Mekkah bisa berada di ujung jari, Italia bisa ada di kamar mereka, dan Paris bisa menganga dengan sentuhan tuts keybord laptop Bolang. Begitu dekat, begitu cepat dan begitu simpel. Dan di sini, Jogjakarta, hanya awal bagi kami untuk membuka selaksa baru petualangan.

Semangat….


bersambung seri dua Selasa 12 januari)

Foto: taher

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu