Minggu, 03 Januari 2010

Obituari Gus Dur

Sepanjang hidup baru sekali saya bertemu dengan almarhum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden ke-4 RI. Beliau hadir di sebuah acara yang diadakan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang saya liput di kantor pusat Nahdhlatul Ulama (NU) di Kramat Raya, Salemba, pertengahan 2008.

Gus Dur begitu tenang, dengan tongkatnya, beliau bejalan ke tengah acara sambil dipapah oleh beberapa pengawalnya sampai bersandar di kursi. Banyak politisi hadir saat itu, sayangnya saya lupa acara apa saat itu. Retorika Gus Dur sederhana, dibalut lelucon segar sarat makna khasnya sehingga suasana kala itu begitu cair.

Lama berselang, waktu pun seakan tak berpihak pada saya untuk berjumpa kembali dengan salah satu tokoh pro demokrasi ini hingga akhirnya beliau meninggal dunia pekan lalu. 30 Desember 2009. Saya juga tak begitu mengikuti perkembangan beritanya karena terlanjur dialihkan dari desk umum ke desk ekonomi.

Terakhir tayangan televisi swasta memberitakan putra mendiang Menteri Agama pertama RI KH Wahid Hasyim ini masuk rumah sakit. Kabar itu yang tak begitu mengejutkan mengingat kesehatannya sudah menjadi fokus kritikan yang dilayangkan padanya ketika menjadi orang nomor satu di negeri ini pada 1999.

Namun ketika seorang teman dari Harian Kontan menyampaikan Gus Dur berpulang ke rahmatullah saat di rawat di RSCM, adalah hal yang mengagetkan bagi saya, orang tak pernah dikenalnya.

Begitu cepatnya beliau meninggalkan bangsa ini yang masih didera PR besar. PR bagaimana menegakkan demokrasi yang sebenar-benarnya, agar demokrasi tak berpihak pada kekuasaan absolute yang bukan pada rakyat. Saat beliau menjabat meski singkat sekitar 22 bulan, tetapi banyak hal yang dilakukan Gus Dur untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Gus Dur adalah tokoh luar biasa dengan keterbatasan fisiknya. Beliau tak terpenjara dengan keterbatasannya, horizon pemikirannya membahana dan mempengaruhi anasir keagamaan kita, corak pemikiran NU, dan arah demokrasi bangsa ini. Dialah pionir sekaligus pelaku pluralisme agama.

“Demokrasi harus berlandaskan kedaulatan hukun dana persamaan setiap warga negara tenpa mebedakan latar belakang ras, suku agama dan asal muasal, di muka-undang-undang,” begitu pesannya.

Yang luar biasa ialah duka ini dirasakan hampir seluruh elemen masyarakat. Bukan hanya masyarakat muslim melainkan penganut agama minoritas pun merasa kehilangan. Wajar saja, cucu pendiri NU Hasyim Asyari ini dikenal tokoh prodemokrasi yang membela kamu minoritas, meretas jalan bagi orang-orang marginal.

Gus Dur adalah ilmu, Gud Dur adalah tawa. Menyimak apa yang terlontar dari mulutnya adalah teka-teki, sebuah misteri yang tak bisa ditebak. Siapa yang bakal meramal Gus Dur akan bilang apa terkait dengan isu-isu tertentu? Lucu, lugas, bernas, menohok, dan filosofis.

Saya masih ingat ketika Gus Dur suatu waktu ditanya kenapa ia sering mengunjugi makam, beliau menjawab, “Orang yang sudah meninggal tak punya kepentingan apa-apa,” selorohnya mengelitik politisi yang penuh kepentingan.

Atau suatu kali dalam sebuah acara di Metro TV, Wahyu Muryadi, mantan Kepala Protokoler Presiden era Gus Dur menceritakan kisah di Kuba, saat Fidel Castro secara mendadak mengunjungi Gus Dur yang masih tertidur sambil memakai pendek di sofa dan mendengarkan lagu.

Gus Dur berkata kepada Fidel bahwa semua presiden Indonesia itu gila. Presiden Pertama (Soekarno) gila perempuan, Presiden Kedua (Soeharto) gila kekuasaan, Presiden Ketiga (Habibi) gila teknologi, dan Presiden Keempat (dirinya) yang memilih itu gila.

Begitulah sosok kontroversial ini. Sosok yang memberi banyak warna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu putra terbaik yang pernah dilahirkan Ibu Pertiwi. Selamat jalan Gus, semoga Allah menempatkanmu bersama orang-orang saleh.Amin.

3/1/2010

Gambar: wikipedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu