Rabu, 10 Februari 2010

Dilema Edisi Cetak

Apakah edisi cetak akan mati? Pertanyaan inilah yang kini bersenandung ria kala era digital menjadi punggawa sumber infomasi. Dahulu, sejak internet belum booming pada era 1990-an, edisi cetak media memang menjadi sumber utama bagi masyarakat untuk mencari informasi, tetapi argumentasi itu kini lenyap sudah.

Buktinya, kuartal pertama tahun lalu beberapa media cetak bahkan yang baru lahir pun akhirnya tewas. Alasannya, dunia kini beralih. Ada pergeseran pembaca ke edisi online dan e-paper sehingga iklan turun, tiras melorot, dan perusahaan ‘ga mampu bayar gaji, karyawan padahal awal 2008 banyak media bermunculan.

Salah satunya aku masih ingat ketika Indonesia Business Today (IBT) terbit pada akhir Mei 2008 dengan mengambil tag-line yang hampir mirip dengan Bisnis Indonesia, media tempatku bekerja, yakni Referensi Ekonomi dan Bisnis Terpercaya.

Agak kaget juga ada pesaing baru dengan pemberitaan sama seputar ekonomi makro dan pasar modal ketika itu. Investor utama koran itu adalah Dahlan Iskan, pemilik Grup Jawa Pos yang kini menjabat Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara.

Namun, usianya tak sampai 10 bulan, koran dengan kualitas kertas rendah itu akhirnya tutup setelah sebelumnya menjadi sisipan Indopos, grup Jawapos. Rekan-rekanku di IBT pun mencari tempat persinggahan baru di antaranya ke Detik.Com, Kontan, Investor Daily, Okezone, dan Inilah.Com.

Di AS, sebulan kemudian koran sekelas Seattle Post-Intelligencer yang sudah terbit selama 146 tahun pun gulung tikar dan menerbitkan edisi terakhir pada Maret 2009 menyusul beberapa koran bangkotan lainnya yang sudah lebih dahulu seperti Rocky Montain News, Christian Science Monitor dan Tucson Citizen. Lagi-lagi tak mampu bersaing dan melimpahkan kesalahan adanya edisi online.

Kembali ke Tanah Air. Berita Kota yang kantornya sering kulewati kalau lebaran ke rumah keluarga di Pulo Gadung juga tak sanggup bernafas lalu sahamnya dijual kepada anak usaha Kompas Gramedia. Sebanyak 144 termasuk wartawannya dirumahkan.

Meski belum punya rekan liputan di Berita Kota, miris juga merasakan nasib mereka menambah daftar panjang pengangguran di Indonesia. Di saat pemilik perusahaan raksasa bernafsu mencaplok perusahaan kecil, tapi hak-hak karyawan kecil kadang tak dipedulikan.

Sebagian media lain pun ada yang merumahkan beberapa wartawannya karena tak sanggup bayar gaji. Hal itu yang dialami rekanku di harian Jakarta Globe awal bulan lalu. Dia mengaku termasuk 9 orang yang dipecat karena Grup Lippo yang memegang kuasa koran tersebut tak sanggup membayar seluruh gaji karyawan yang kabarnya mencapai Rp8 juta per bulan per orang, bandingkan dengan gaji wartawan baru Kompas minimal Rp4 juta per bulan.

Aku masih bersyukur berada pada tempat yang saat ini bisa menyesuaikan diri dengan zaman. Setidaknya menurutku sehebat-hebatnya edisi online, cetak tak akan mati lantaran ada kebutuhan berita mendalam yang tak elok didedahkan lewat online. Satu bukti misalnya dalam berita olahraga, masyarakat yang setiap hari disuguhkan siaran langsung sepak bola tetap saja esok harinya ingin membaca ulasan dari wartawan olahraga melalui edisi cetak.

Sebab itu, perlu dipertimbangkan pesan CEO Gruppo Televisa Emilio Azcarraga Jean, grup media terbesar dengan bahasa Spanyol, bahwa kunci sukses media di antaranya membaca pasar, fokus pada struktur dana dari alur produksi hingga pemasaran, serta bagaimana memenuhi keinginan konsumen. Satu lagi, integrasi online, cetak, radio, dan tv secara optmimal.

Kalau masih ada juga wartawan yang dipecat? Di mana kah posisi Aliansi Jurnalis Independen dan Persatuan Wartawan Indonesia yang cuma bisa mengecam.

gambar: dedidwitagama.files.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu