Ada Preman di Multifinance
Oleh M. Tahir Saleh
SEBUAH mobil patroli polisi bernomor 71300-VII tanpa awak terparkir di depan halaman Blok B-34 Ruko Cempaka Mas Jakarta pada siang Jumat pekan lalu.
Di belakangnya, kantor cabang PT Oto Multiartha tiga lantai itu nampak rusak berat dan dililiti garis kuning polisi.
Sekitar lima orang satuan pengaman juga masih nongkrong berjaga sambil minum kopi. Di depan halaman kantor, orang-orang lalu lalang, kaca-kaca kantor berserakan, pintu dan jendela penyek, dan isi kantor perusahaan pembiayaan asal Jepang itu terlihat transparan dari luar pascaamuk massa pada Kamis 9 Oktober 2010, pekan lalu.
Pertikaian itu bermula dari penarikan mobil kredit Oto Multiartha sebagai lembaga pembiayaan kepada konsumen yang notabene anggota dari organisasi masyarakat (ormas), Forum Betawi Rempug (FBR). Tak terima diperlakukan kasar, massa ormas pun menyerbu kantor.
Sebaliknya, di tempat terpisah belasan kilometer dari Cempaka Mas, tepatnya di Kampung Bojong Menteng RT05 RW07 No.55 Kecampatan Rawa Lumbu, Bekasi Timur, Siti Nurbaya, seorang konsumen sebuah perusahaan pembiayaan yang berafiliasi dengan bank masih memendam sakit hati ketika ditagih dengan cara-cara preman.
Siti Nurbaya yang punya kredit motor Honda Vario dan sudah mengantongi fotocopy bukti kepemilikan kendaraan bermotor (BPKB) karena sudah membayar 24 kali dari total 35 kali itu akhirnya mengadu ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
“Saya sudah bangkrut usaha tapi tidak ada kompromi dari pihak leasing. Kalau mau narik motor, langkahi dulu nenek-nenek ini,” ujarnya sambil menangis di rumah kontrakannya minggu pagi. Siti sendiri mengontrak rumah dua petak itu dengan harga Rp200 ribu per bulan.
Peristiwa serangan kantor Oto Multiartha dan kekalutan hati Siti Nurbaya bukan hal baru di industri pembiayaan. Bahkan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mencatat sekitar 40 multifinance terancam berkonflik dengan oknum tertentu yang melindungi konsumen nakal. Catatan harian YLKI, sekitar 15 pengaduan kredit kendaraan terjadi.
Di satu sisi, pebisnis menuduh konsumen berlindung di bawah ketiak preman saat menunggak, di sisi lain konsumen juga sakit hati dan marah kepada multifinance yang memperlakukan mereka layaknya orang jahat dengan memakai jasa preman.
Menanggapi hal ini anggota Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai lazim penggunaan tenaga luar perusahaan dalam menagih kredit, bukan hanya bank, multifinance, tetapi bisnis keuangan lainnya.
“Hanya saja nagih-nya yah baik-baik, tapi kalau nagihnya tidak etis tanpa kompromi maka itu tidak mengindahkan hak konsumen,” katanya akhir pekan lalu.
Kepala Divisi Pengaduan dan Hukum YLKI Karunia Asih Rahayu menambahkan memang terjadi multifinance memakai jasa pihak ketiga, tetapi konsumen juga punya hak penyelesaian secara patut dan manusiawi.
“Kalau dia lancar membayar cicilan motor selama satu tahun dan kemudian karena satu dan lainnya telat bayar dua bulan yah jangan langsung ditarik dulu dong, diomongin baik-baik,” katanya.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Wiwie Kurnia membenarkan sebagian multifinance mentransfer pengelolaan piutang macet kepada pihak ketiga di mana hal tersebut lazim dilakukan di berbagai negara, khususnya pada bisnis keuangan.
Menurut Wiwie, permasalah yang terjadi selama ini murni karena transaksi kredit. Sayangnya, katanya, masih banyak terjadi di lapangan persoalan tersebut dibawa ke ranah luar bisnis oleh pihak lain sehingga bermasalah dan berimbas pada konflik dan bentrokan.
“Kan sebetulnya sederhana bahwa hal ini terjadi kepada konsumen bermasalah bukan konsumen baik-baik dan itu hanya 1,63% dari konsumen kami.
Perketat regulasi
Guna menghindari persoalan yang selama ini terjadi, YLKI mengusulkan perlu adanya standardisasi penarikan kendaraan yang dikeluarkan oleh Biro Pembiayaan dan Penjaminan Bapepam-LK Kementerian Keuangan. Hal itu mengingat posisi konsumen yang selalu dilemahkan dengan perjanjian tertulis oleh multifinance.
“Belum jelas aturan. Seenaknya saja perusahaan menarik kendaraan tanpa ada standardisasi kapan misalnya 3 bulan atau berapa lama karena. regulasi lemah,” kata Karunia Asih.
Ketua Bapepam-LK Ahmad Fuad Rahmany Fuad mengatakan selama ini multifinance semestinya memang menerapkan strategi pemasaran yang baik dengan memperhatikan kualitas konsumen. Hal tersebut guna mengindari permasalahan tunggakan yang berujung pada bentrokan dengan oknum-oknum tertentu dapat dihindari.
Namun Wiwie menegaskan masing-masing perusahaan memiliki standar tersendiri dalam memilih konsumen. Selain itu tingkat kredit bermasalah (non performing-loan/NPL) industri pada level 1,63% menunjukkan standar multifinance sudah baik.
“Kalau regulator terlalu jauh mengatur operasional tiap multifinance, itu akan mengambat pertumbuhan industri. Jangan silau, masih ada 98,4% konsumen baik baik yang merasa terbantu dengan adanya perusahaan pembiayaan.,” katanya.
Jika persoalan preman dalam multifinance baik dalam persepsi konsumen maupun pelaku usaha tidak diselesaikan secara baik maka ke depan bisa jadi bentrokan kembali terulang dan ada Siti Nurabaya-Siti Nurbaya lainnya yang makin sakit hati.
Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia edisi Senin, 13 Desember 2010
Gambar: www.tribun-medan.com