Minggu, 27 Februari 2011

Buddha Tooth Relic Temple


Pengabdian Sang Buddha
Oleh Tahir Saleh

PUKUL sembilan pagi, saya memutuskan keluar dari kamar 1412 Four Seasons Hotel di bilangan Orchard Boulevard, Singapura, menyusuri belantara hutan beton di negeri Singa itu.

Rencananya, pagi itu saya mau mampir sejenang ke Buddha Tooth Relic Temple & Museum atau Museum & Kuil Relik Gigi Sang Buddha, yah mumpung lokasi situs budaya itu tak jauh dari kawasan bisnis terkenal tempat saya meninginap akhir tahun lalu..
Singapore Mass Rapid Transit atau SMRT jadi pilihan saya untuk ke lokasi itu dari pada naik taksi atau bis. Selain harganya lebih murah, melaju di atas kereta cepat ini terbilang sangat menghemat waktu.


Hanya beberapa menit saja berjalan kaki menuju stasiun SMRT terdekat, Stasiun Orchard, saya membeli tiket standar menuju Tanjong Pagar. Harga karcis sekitar S$2,20 atau setara dengan Rp15.400 (asumsi S$=Rp7.000). Saya mesti turun di stasiun City Hall lalu pindah ke kereta lain untuk sampai di Stasiun Tanjong Pagar mengingat adanya perbedaan jalur kereta.

Tak sampai 10 menit, kereta cepat, bersih, dan nyaman itu pun sampai. Seketika, para penumpang membuntang beramai-ramai dari kuda besi itu. Sejurus kemudian saya langsung mengambil pintu keluar A lalu berjalan ke arah Maxwell Road.

Dari jalan besar ini, Buddha Tooth Relic Temple nampak di sirat-sirat pepohonan. Saya terus menyusuri jalan Maxwell itu sampai bertemu perempatan, lalu belok ke arah kanan menuju South Bridge Road. Panasnya Singapura saat itu sungguh membuat perjalanan kali ini agak penuh peluh.

Di jalan South Bridge inilah Buddha Tooth Relic Temple tepat berdiri menantang Matahari. Sebuah monumen budaya hidup yang terletak tepat di jantung kawasan Chinatown.
Buddha Tooth Relic Temple ini didirikan pada 2002 oleh Yang Mulia Shi Fazho lalu didaftarkan menjadi bangunan amal pada 8 Januari 20004. Kuil ini didedikasikan bagi Sang Buddha Maitreya atau The Future Buddha seperti terungkap dalam situs resmi kuil itu.
Seperti ciri khas vihara atau kuil, dominasi warna merah dan kuning kentara sekali. Ornamen kuil 4 lantai dengan rooftop pagoda dan taman indah ini seperti mendedikasikan diri pada warna merah, corak perlambang kehangatan dan kasih sayang Buddha.

Ketika tiba, suasana kuil cukup ramai karena ada aktifitas ibadah. Beberapa biksu khusyuk berdoa, pengunjung yang sibuk memotret, dan beberapa bule wanita entah Eropa atau Amerika yang memakai tank-top sibuk menutupi bahu dan bokong dengan kain.

Di sini saya bertemu dengan seorang pengunjung, Lien, namanya. Dara asal Vietnam yang baru pertama kali berlibur ke Singapura ini akhirnya mengajak cas-cis-cus sejenak. Dia terobsesi sekali dengan Candi Borobudur di Indonesia. Dia meminta saya untuk memotretnya dengan latar belakang patung Buddha besar yang berada di lantai satu bagian belakang kuil.

Belakangan saya tahu bahwa itu adalah patung Bodhisattva Avalokitesvara yang tengah duduk indah di atas tahta teratai, sepanjang sisi dikelilingi oleh patung patung kecil.

“Trimakasih ya sudah memotretku, eh kamu agamanya apa? Tanya Lien.

“Sama sama, Saya Muslim,” jawab saya mencoba mengakrabkan diri.

Meski ramai dan gratis, pengunjung tak boleh seenaknya berisik. Di sini memang ditekankan beretika pantas. Kala berpapasan dengan para biksu hendaknya pengunjung membungkukkan kepala sedikit untuk menunjukkan rasa takzim. Jangan pernah mengajak berjabat tangan atau memeluk para biksu.
“Di sini jangan berbicara terlalu keras, mencela sesuatu atau berjalan grasak-grusuk karena kuil juga digunakan sebagai tempat meditasi jadi cobalah menjaga ketenangan,” pesan Lien.

Dinasti Tang
Menariknya, selain menampilkan sejumlah pameran yang berkaitan dengan berbagai wajah seni dan budaya religi, di sini juga disimpan relik yang dipercaya para pemimpin umat Buddha sebagai Relik Suci Gigi Sang Buddha, di dalam sebuah stupa yang terbuat dari 320 kg emas hasil sumbangan umat.

Relik merupakan sisa pembakaran jasad dari orang yang mencapai kesucian tertentu. Selama ini, memang sukar untuk menemukan relik yang benar-benar berasal dari sisa pembakaran jasad Sang Buddha. Dan saya masih penasaran, berhubung peninggalan suci ini disimpan di lantai 4.

Keterbatasan waktu memaksa saya hanya berputar-putar selama 30 menit di lantai 1. Kabarnya, cukup banyak riset yang dilakukan untuk memastikan keakuratan dan keaslian monumen-monumen yang terdapat di sini,

Secara garis besar rancangan kuil ini dilandasi unsur-unsur dan sejarah dari Dinasti Tang (618-907), salah satu dinasti berpengaruh di China, dan Mandala Buddhis, yaitu representasi dari alam semesta Buddhis. Di Indonesia, salah satu bangunan yang dianggap mewakili Mandala Buddhis adalah Candi Borobudur.

Satu desain yang juga terinspirasi dari Dinasti Tang ialah halaman tengah yang disebut Aula 100 Naga atau 100 Dragons Hall. Ini melambangkan kekhusyukan dan martabat dari pengabadian 100 buddha pada kedua sisi pelataran ini. Memang butuh waktu lebih lama jika ingin lebih ditel melihat kuil ini. Mungkin lain kali saya bisa melihat relik itu.


Foto: taher
Tulisan ini dimuat di tabloid Bisnis Indonesia Minggu, rubrik "Pesiar" edisi Minggu 26 Februari 2011

2 komentar:

  1. Laen kali ajak-ajak guwa hir... Masak ga khawatir apa ninggalin bini sendirian di Jakarta.... (Ucuiy)

    BalasHapus
  2. hahaha ucu.....di singapur engga ada gunung merapi yg bisa kita naikin, beton iya

    BalasHapus

Entri Populer

Penayangan bulan lalu