Minggu, 06 Maret 2011

Penyerangan Cikeusik


Andreas, Pemuat Pertama Video Cikeusik
Oleh Taher Saleh

ANDREAS HARSONO menelpon pagi-pagi sekali. Saya, masih mendengkur di atas kasur empuk. Mata ini juga masih belum enggan menampak ruangan.

“Maaf mengganggu tidur anda,.” sapa Andreas.
Dia menelpon karena ingin merespon pesan singkat saya mengenai pemuatan (upload) video pertama tentang insiden Cikeusik di Banten 6 Februari lalu.

Andreas, wartawan, yang kini bekerja di lembaga swadaya masyarakat internasional, Human Rights Watch, adalah orang pertama yang mem-posting video insiden penyerangan sekolompok massa ke markas Ahmadiyah melalui situs Youtube.

“Saya hanya ingin menceritakan bagaimana awal mula meng-up load video itu, anda masih ngantuk? Tanya Andreas di seberang telpon.

Engga papa Mas, iya gimana Mas, awalnya gimana Mas,” balasku kaget.
Dari ceritanya, dia menerima video itu dari perwakilan Ahmadiyah karena kecewa atas perlakuan dari salah satu media televisi berita berlambang burung yang dinilai berat sebelah dalam memberitakan.
Video itu diberikan pada pukul sembilan malam setelah kejadian, dengan perjanjian bahwa video tersebut tidak boleh disebarkan kepada stasiun televisi lain sebelum pukul 12 siang esoknya.

Tivi swasta itu pun menyiarkan salah satu cuplikan video itu pada pukul enam pagi. Sayangnya, kata Andreas, mengutip pernyataan orang Ahmadiyah, tivi tersebut tidak menyiarkan secara proporsional ditambah dengan penggunaan istilah ‘bentrokan’.

Akhirnya salah seorang perwakilan Ahmadiyah memberikan video tersebut ke HRW, tempat Andreas bekerja.

“Mereka terbentur dengan kesepakatan tidak boleh diberikan ke media lain, jadi mereka ke HRW. Kami dianggap kredibel bisa mewakili,” katanya.

Sebelumnya saya sempat tergelitik membaca tulisan “Inilah Andreas Harsono, Peng-upload Pertama Video Insiden Ahmadiah yang ditulis Khurniawan di situs Kompasiana 11 Februari 2011. Inti tulisannya menuduh Andreas Harsono dalang dan agen asing.

“Dia adalah aktivis LSM yang selalu berhubungan dengan pihak asing dan menitikberatkan gerakan LSM-nya pada hak asasi manusia, suatu yang sangat empuk mendatangkan dollar” begitu tulis Khurniawan.

Bukan dalam posisi membela Anderas, tetapi diperlukan klarifikasi atas tuduhan itu meski Andreas tak begitu mempedulikannya. Tapi saya penasaran.

“Saya sudah memperhitungkan hal itu sebelum mengambil keputusan soal upload di Youtube” kata Andreas menanggapi gosip miring tentangnya di luar sana. Selain dicibir banyak orang, Andreas juga menerima ancaman tapi dia santai saja.

Saya mengenal pria berkaca mata kelahiran Jember, Jawa Timur, pada 1965 ini, ketika dia menjadi tutor dalam sebuah kelas di Jakarta, Saya murid dia tutor. Dia mengajar bersama Anugerah Perkasa dan Fahri Salam.

Saya belajar banyak dari ketiganya yang punya kemampuan kanuragan jurnalistik tertentu baik dari sisi teknis maupun pengalaman. Nugi (Anugerah Perkasa) kuat pada liputan ekonomi, Fahri salam unggul di kekuatan diksi dan sastra. Adapun Andreas kuat pada isu-isu HAM. Ia bekerja sebagai wartawan delapan tahun untuk harian The Nation (Bangkok) dan dua tahun untuk harian The Star (Kuala Lumpur).

Saya pernah membaca salah satu liputannya tentang privatisasi perusahaan air minum di Indonesia. Tulisan itu berjudul “From the Thames to the Ciliwung“ dalam bahasa Inggris, versi Indonesianya “Dari Thames ke Ciliwung“ diterbitkan oleh majalah Gatra di Jakarta.

Andreas bercerita ia dilahirkan dalam darah Tionghoa. Memang nampak dari kontur wajahnya. Tingginya saya fikir tak sampai 175 cm, pembawaanya juga tenang dengan tubuh yang sedikit gemuk. Di kelas, dia memberikan contoh kecil yang mudah ditangkap dan menceritakan kisah-kisah pelanggaran HAM lainnya. Tahun lalu dia menelorkan buku “ ‘Agama’ Saya Adalah Jurnalisme”.

“Mas dituduh punya maksud lain dengan video itu, tuduhan soal latar belakang Tionghoa juga,” kata saya.

“Lho apa hubungannya Tionghoa dengan Ahmadiyah?” balasnya.

Dia mengikuti isu HAM di Papua, Aceh, Maluku, Timor Leste, hingga jamaah Ahmadiyah. Dia berempati kepada orang yang mengalami diskriminasi, atau penindasan. 

Seorang kawan, Yuan Kurimakeke bercerita bahwa Andreas begitu peduli terhadap perjuangan masyaraat Papua, mengunjungi tahanan-tahanan politik Papua, dan lainya.

Tapi saya belum sempat bertanya mengapa dia mau memuat video berisi kekerasan itu. Tentu Andreas sadar, isi dari video tersebut; penyerangan, tubuh yang sudah bersimbah darah digebuki, dilempar, diinjak-injak. 

Dia tentu tahu bagaimana kekuatan visual punya pengaruh besar atas persepsi dan karakter seseorang ketika menonton.

Tak sempat karena dia bilang waktu bicara hanya sedikit.
“1 menit nanti putus handphone,”
“Tuuuutttttt”
**
Gambar: masihangat.wordpress, andreasharsono.blogspot, dan goodreads.com

3 komentar:

Entri Populer

Penayangan bulan lalu