Pelabuhan Tanjung Priok, 1935,. Photo By google |
Oleh M. Tahir Saleh
SEJARAH kereta api di Sumatra Selatan
tidak bisa dilepaskan dari peran serta RA Eekhout. Orang Belanda ini yang
pertama kali mengajukan permohonan konsesi kontruksi dan eksploitasi kereta api
listrik di provinsi itu pada 1895.
Eehout pernah mengajukan konsensi
serupa tapi pemerintah berpendirian pembangunan kereta api (KA) mesti dilakukan
oleh negara sehingga permohonan swasta ditolak.
Saat itu, penjajah Belanda, memang
galau dalam membangun KA karena khawatir jika konsesi diberikan ke swasta,
mereka menjadi kuat dan membentuk negara dalam negara.
Insinyur Logtvoet akhirnya
diperintahkan meneliti soal KA ini pada 1902 dan 6 tahun kemudian penelitian
itu dilanjutkan oleh Insinyur Richter.
Sejak itu dimulailah proses pembangunan
sederhana rel KA, mulai dari lintas Telukbetung–Prabumulih dan Muara Enim–Palembang
seperti diceritakan M. Gani dalam bukunya berjudul Kereta Api Indonesia (1979).
Sejak 1 abad lalu, pembangunan rel KA
di Pulau Sumatra itu sudah digagas oleh Belanda. Namun, entah bagaimana
perlahan-lahan, rel KA yang dibangun itu kini beberapa jalurnya ditempati oleh
warga baik untuk hunian maupun tempat usaha.
Padahal, Belanda dari awal sudah
memandang KA adalah alat transportasi yang lebih efisien ketimbang kendaraan
darat lain seperti truk dan mobil. Kenyataannya di Indonesia, KA seperti kalah
bersaing dengan moda transportasi darat lain khususnya mengangkut komoditas.
Inilah yang baru disadari PT. Pelabuhan
Indonesia (Pelindo) II atau Indonesia Port Corporation. Tahap awal, salah satu
pelabuhan yang dikelola oleh BUMN itu yakni Pelabuhan Panjang, Lampung, mulai
merevitalisasi jalur KA yang sudah ada sejak zaman Belanda itu.
Pelabuhan itu letaknya di provinsi
paling selatan Sumatra dan berbatasan dengan Bengkulu dan Sumatra Selatan di
utara.
Dengan revitalisasi jalur KA sepanjang
3 km dari Pidada ke pelabuhan itu akan meningkatkan efisiensi distribusi barang
yang selama ini hanya mengandalkan truk. Rencanya, awal 2013 proyek itu
dimulai.
“Rel kereta ke pelabuhan sudah dibangun
Belanda dahulu, tapi kita masih merasa lebih pintar lalu menggunakan truk,
jalan jadi rusak, tidak efisien, sehingga kami akan revitalisasi,” kata Doso
Agung, General Manager Pelindo II Cabang Panjang.
Total lokasi Panjang mencapai 105 hektar
dengan panjang dermaga 1.419 meter, lebar dermaga 176,7 meter persegi.
Kedalamannya hingga 14 meter meski di beberapa titik masih ada yang 12 meter
tetapi akan diperdalam kembali.
Pada 2011, jumlah peti kemas tercatat
106.000 TEUs dan hingga triwulan III/2012 mencapai 99.051 TEUs. Memang masih
kalah dari peti kemas di Priok yang menembus 5,6 juta TEUs pada 2011 dan
ditargetkan 7 juta TEUs pada 2012.
“Rel kereta ke pelabuhan sudah dibangun Belanda dahulu, tapi kita masih merasa lebih pintar lalu menggunakan truk, jalan jadi rusak, tidak efisien, sehingga kami akan revitalisasi,”
Bagi Siswanto Rusdi, Direktur The
National Maritime Institute, alternatif pelabuhan lain pengganti Priok yakni
Pelabuhan Bojonegara, Banten dan Pelabuhan Sabang, NAD. Ironisnya, fasilitas
megah Bojonegara yang menelan triliun rupiah dibiarkan terbengkalai, sedangkan
Sabang sendiri fasilitasnya masih terbatas.
“Padahal laut [Bojonegara] punya
kedalaman alami, tidak terlalu jauh dari hinterland di Jawa Barat yakni Bekasi,
Karawang dan sekitarnya, tapi ini wacana sudah tenggelam. Soal Sabang, jika
pemerintah ada kemauan mengembangkan menjadi hub port internasional, dahsyat
sekali,” katanya.
Namun, dirinya tak sepaham jika Panjang
dikatakan menjadi penopang Priok karena hingga saat ini belum ada jaringan KA
antara Jawa dan Sumatra. Truk yang ada melintasi Pelabuhan Merak pun menyimpan
banyak masalah.
Dengan kondisi itu yang ada di depan
mata barangkali Pelabuhan Cilamaya, Karawang, Jawa Barat. Kuncinya, kata
Siswanto, jangan ada perlakuan khusus sebagaimana proyek Terminal Peti Kemas
Kalibaru atau New Priok sehingga proyek itu lebih baik ditender mengingat
kepelabuhan Indonesia saat ini cenderung monopolistik. Padahal UU No.17/2008
tentang Pelayaran membuka pintu liberalisasi.
“Swasta juga bisa kok menjalankan
bisnis pelabuhan. Ya melalui tender. Kabarnya kalangan pelayaran mau buat
konsorsium atau Cimalaya. Operator terminal yang ada juga mau.
Sayangnya, lagi-lagi pembangunan
Pelabuhan Cimalaya ini masih jauh. Pemerintah menargetkan pembangunan pelabuhan
yang akan mengurangi beban Priok baru akan ditender 2013 dan mulai dibangun
2014, atau paling lambat 2015.
KENDALA
Peneliti ekonomi dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam Optimistis bakal terjadi pertumbuhan
yang tinggi pada industri maritim jika pemerintah memiliki visi kelautan yang
tinggi mengingat saat ini persaingan global makin ketat.
Dia memprediksikan 5 tahun ke depan
Indonesia memiliki hub internasional yang bisa menyaingi Singapura.
“Perlu ada terobosan tinggi untuk daya
saing kita,” katanya.
Baginya peran pelabuhan di Indonesia
belum optimal sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah karena
lemahnya kuantitas dan kualitas pelabuhan.
Indonesia, katanya, hanya punya 18
pelabuhan samudera dan 52 pelabuhan perikanan, padahal panjang pantai Nusantara
mencapai 81.000 km. Rasionya, itu satu pelabuhan untuk setiap 1.157 km panjang
pantai.
Siswanto juga memandang pemerintah
terlalu jauh melangkah sehingga untuk membangun pelabuhan baru yang jauh dari
Jakarta atau Jawa menjadi hampir mustahil. “Itulah masalah kita dalam
mengembangkan pelabuhan, Priok dijadikan titik pangkalnya.”
Dia juga menegaskan imbas kebijakan
yang belum pro maritim menyebabkan Indonesia belum punya perusahaan pelayaran
nasional yang bisa disejajarkan dengan Neptune Orient Line (NOL) Singapura
untuk trayek luar negeri.
PT. Djakarta Lloyd, yang disebut-sebut
sebagai flag carrier, bahkan kini merangkak naik keluar dari zona kebangkrutan
karena pengelolannya amburadul.
Kondisi ini juga diakui oleh Dirut
Pelindo II R.J. Lino. Dalam presentasinya, dia memetakan sejumlah persoalan
masa lalu yang berimbas pada biaya logistik yang tinggi. Itu sebabnya, harga
semen, misalnya di Papua, 20 kali lipat lebih mahal dari Jakarta dan jeruk
Mandarin lebih murah ketimbang jeruk Pontianak.
Beban masa lalu itu yakni kapasitas
Priok penuh, produktivitas pelabuhan rendah, terbatasnya akses jalan tol dan
kereta menuju pelabuhan, hingga investasi pelabuhan yang rendah 15 tahun
terakhir.
Soal lainnya, yakni kedalaman
pelabuhan, kurangnya terminal peti kemas, SDM kurang, kurangnya efektivitas
keterhubungan antarpulau, dan perlu adanya revitalisasi dan konsolidasi kargo
dan operasi logistik. Bila semua bisa diatasi, kendala pertumbuhan bisa
dibongkar.
Dia mengatakan pada kurun 1980-1996,
sekitar 60% lebih kapal berjenis kontainer dengan ukuran di bawah 3.000 TEUs
yang masuk Priok.
Pada 2012, kapal dengan ukuran Post
Panamax atau yang lebih besar, persentasenya akan semakin dominan masuk ke
Priok. Lino yakin dengan adanya Terminal Kalibaru, kapal CMA-CGM berkapasitas
16.000 TEUs segera hadir.
Upaya peningkatan kapasitas kepelabuhan
bukan hanya dengan pembangunan Kalibaru tetapi juga dengan membangun pendulum
pelabuhan Indonesia atau Main Sea Corridor.
Proyek ini menghubungkan pelabuhan
sentral di Indonesia terdiri dari Pelabuhan Belawan, Batam, Jakarta, Surabaya,
Makassar, dan Sorong. Dengan luas laut yang dua-pertiga lebih besar dari
daratan, Indonesia tak pelak lagi adalah negara kepulauan bahkan sesungguhnya
negara kepulauan terbesar di dunia.
Oleh karenanya, cukup beralasan jika
pemerintah mestinya menjadikan lautan sebagai salah satu sumber, jika tidak mau
disebut sebagai sumber utama, perekonomian bangsa. Jangan sampai potensi
sedemikian tinggi dalam industri maritim berubaj menjadi petaka.
Sampai saat ini, Indonesia belum punya
satu pun pelabuhan laut yang berkelas dunia seperti PSA, Singapura, atau
Tanjung Pelepas, Malaysia, Pelabuhan Tanjung Priok tidak pernah bisa bebas dari
kemacetan manakala tiba waktu closing pemuatan barang ke atas kapal.
Ketiadaan hub port itu, membuat 3 juta
TEUs peti kemas setiap tahun menguap keluar dari Indonesia dan hampir sebagian
besar singgah sebentar atau transshipment di Port of Singapore untuk
selanjutnya didistribusikan ke tujuan akhirnya di berbagai belahan dunia.
Kondisi itu menyebabkan Indonesia kehilangan
devisa US$ 450 juta per tahun. Dengan memiliki hub port berarti Indonesia bisa
menutup kehilangan devisa yang tidak sedikit itu. (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia 7 Januari 2013,
suplemen Arah Bisnis dan Politik 2013. Judul asli, Mencari Alternatif Pengganti Priok.