Kamis, 28 Maret 2013

Mencari Keberpihakan pada Kereta Ekonomi

Pengunjuk rasa di Stasiun Bekasi, 25 Maret 2013, Photo By Metro TV

Oleh M Tahir Saleh

WAJAH Kepala Stasiun Bekasi Hariyanto seperti penuh beban. Massa pengunjuk rasa yang menduduki rel kereta di peron satu stasiun itu seakan menekannya. Keringat mulai mengalir di balik kerah bajunya.

Di atas peron, ia memulai berbicara di depan ratusan orang yang memblokade stasiun itu pada Senin (25/3/2013). Namun belum semenit dia menyapa, teriakan pengunjuk rasa sudah memotongnya.

“Ah lagu lama, kaset baru, sama aja kebanyakan janji,” teriak salah seorang pengunjuk rasa.

“Ini membunuh rakyat pelan-pelan,” timpal yang lain.

Massa kembali berteriak tak karuan dengan segala tuntutan. Forum itu bak ajang penghakiman kepada kepala stasiun meski Hariyanto saat itu aman diapit oleh aparat dari Kodim dan Polres Bekasi.

“Tuntutan saudara-saudara akan dibahas dengan pimpinan. Segera sebelum tanggal 1 April mendatang sudah dihasilkan keputusan,” janjinya.

Alasan penghapusan itu sebetulnya untuk meningkatkan pelayanan kepada penumpang karena kondisi KRL Ekonomi sudah tidak layak, sangat berbahaya, dan berisiko tinggi terhadap keselamatan dan keamanan penumpang.

Setelah itu pengunjuk rasa pun kembali tenang dan mendengarkan hasil kesepakatan dengan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Blokade Stasiun Bekasi sejak pukul 06.00 WIB itu akhirnya berakhir pukul 10.20 WIB. Perjalanan kereta kembali normal.

Blokade sejak pagi hari ini bukan hanya berdampak pada lumpuhnya KRL Commuter Line di stasiun itu tetapi juga mengganggu jadwal kedatangan kereta jarak jauh dari Jawa. Langkah PT KAI yang akan menghapus KRL Ekonomi Lintas Serpong dan Bekasi per 1 April mendatang itu membuat ratusan penumpang merapatkan barisan menolak kebijakan yang dinilai tak merakyat itu, dimulai dari Stasiun Bekasi.

“Mereka [KAI] pikir semua orang bisa beli tiket Commuter Line Rp8.500?,” kata Ferry, salah satu orator dalam unjuk rasa itu.

Lima tuntutan dari massa yang menamakan dirinya Paguyuban Penumpang Kereta Ekonomi itu ialah penolakan penghapusan KRL, penambahan jadwal perjalanan, penurunan tarif Commuter Line, penghapusan sistem transit, dan semua KRL Ekonomi harus berhenti di Stasiun Bekasi.

“Kami akan coba evaluasi dulu tuntutan mereka,” kata Kepala Humas PT KAI Daop 1 Agus Sutjiono singkat kala itu.

Alasan penghapusan itu sebetulnya untuk meningkatkan pelayanan kepada penumpang karena kondisi KRL Ekonomi sudah tidak layak, sangat berbahaya, dan berisiko tinggi terhadap keselamatan dan keamanan penumpang.

Banyaknya gangguan yang terjadi pada kereta non-AC itu juga kerap mengganggu kenyamanan perjalanan kereta secara keseluruhan dan sangat berdampak terhadap pelayanan KRL.

Mateta Rizalulhaq, Kepala Humas PT KAI, mengatakan kondisi kereta ekonomi itu sudah tidak layak lagi sehingga diperlukan peningkatan pelayanan. Asal tahu saja, kereta ekonomi bahkan ada yang dibuat pada 1970-an dan suku cadang kereta sudah tidak tersedia.
Namun, yang paling utama dalam penghapusan itu ialah untuk keselamatan. Baginya konsep kereta komuter yang baik itu sebetulnya ada dua yakni pola operasinya tunggal dan dioperasikan secara satu kelas.

“Kami layani 450.000 orang per hari, untuk publik, kereta ekonomi itu sudah tidak andal dalam beroperasi, sering gangguan, suku cadangnya tidak ada lagi, dan kalau nanti ada kecelakaan korban jiwa, nah PT KAI lagi yang disalahkan,” tegas Mateta.

BELUM SEPAKAT
Meski KAI telah mengambil kebijakan, ternyata langkah itu belum direstui Kementerian Perhubungan. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub Bambang S. Ervan mengatakan pemerintah sebetulnya belum sepakat. Peningkatan kualitas pelayanan yang digaungkan oleh KAI bukan berarti KRL Ekonomi dipensiunkan.

Kedua pihak perlu menghitung bersama berapa biaya yang dikeluarkan untuk pengoperasian kereta baik KRL maupun kereta jarak jauh. Menurutnya pengoperasian kereta ekonomi sebetulnya tidak untuk memberatkan KAI, sebaliknya itu membantu masyarakat sehingga pemerintah membayar melalui skema public service obligation atau PSO sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 23/2007 tentang Perkeretaapian.

Ditjen Perkeretaapian juga sudah memerintahkan BUMN pimpinan Ignasius Jonan itu agar tetap mengoperasikan kereta K3 untuk kepentingan masyarakat berdasarkan Surat Dirjen Perkeretaapian kepada Dirut PT KAI No. 007 Perihal Penarikan KRL Ekonomi Dinasan Tahun 2013 tanggal 18 Februari 2013.

“Jadi, jelas kebijakan pemerintah bahwa pelayanan kereta Ekonomi tetap diberikan. KRL ekonomi tak layak bukan jadi alasan dihilangkan. Masalahnya, perawatan K3 itu tidak dilakukan dengan benar sehingga kinerjanya tidak andal,” tegas Bambang.

Kemenhub mencatat dana PSO tahun ini Rp704,78 miliar, lebih kecil dari kontrak PSO tahun lalu Rp770 miliar, tapi masih di atas serapan KAI yang hanya Rp624 miliar. “PSO selalu ada, tahun lalu malah sisa,” katanya.

Direktur Utama PT KAI Commuter Jabodetabek, anak usaha KAI, Tri Handoyo mengatakan berdasarkan catatan sepanjang tahun lalu, terjadi 1.228 pembatalan perjalanan kereta ekonomi. Itu dampak dari rangkaian yang rusak dan imbasnya 4.217 perjalanan kereta ikut terganggu.

“PT KAI Daop 1 dan pusat perawatan KRL Balai Yasa Manggarai mengalami kesulitan untuk melakukan perbaikan pada kereta non-AC yang selama ini beroperasi karena suku cadang sudah tidak tersedia,” katanya dalam siaran pers, Senin (25/3/2013).

Pada kesempatan terpisah, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Darmaningtyas mengatakan jika belum ada alternatif lain yang bisa mengakomodasi penumpang ekonomi, mestinya kereta Ekonomi itu jangan dulu dihapus.

Seperti tertuang dalam UU Perkeretaapian, PSO sebetulnya menjadi tanggung jawab dari pemerintah sehingga sepatutnya Kemenhub lebih inisiatif menambah armada kereta khusus layanan ekonomi.

“Mestinya ini juga tanggung jawab pemerintah, mereka harus tambah armada baru karena kereta ekonomi sudah tua semua, selain itu harusnya dana PSO dari pemerintah itu jangan dikasih belakangan, kasihan KAI cari talangan,” katanya.

Sulit rasanya mencari keberpihakan pada rakyat kecil dalam kondisi seperti ini sementara KAI punya niat baik dalam hal keselamatan. “Kami sih mau saja KRL Ekonomi diganti AC semua, tetapi tolonglah ini disubsidi, ini menyengsarakan rakyat pelanpelan,” kata Leonardus Abi, pengunjuk rasa. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, Selasa, 26 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu