Sabtu, 23 Februari 2013

Pungutan Masih Liar

Ilustrasi, Photo by merdeka.com
M. Tahir Saleh

Pembenahan Pelabuhan Tanjung Priok terus dilakukan. Sayangnya, pungutan liar, antrean panjang, dan gangguan keamanan masih menjadi keluhan para pengguna. **

ZUBAIDI tengah menyantap makan malam di dalam truk saat muncul suara telepon dari Iman, salah satu pegawai perusahaan ekspedisi peti kemas PT Angkutan Jasa Mandiri, tempat Zubaidi bekerja mencari nafkah sebagai sopir borongan.

“Pak, besok tolong jam 6 pagi am bil kosongan [peti kemas kosong] di depo PIL [Pacific  International Lines],” begitu suara di se berang seperti ditirukan Zubaidi.

Kamis (14/2) pukul 5 pagi, pria itu sudah membawa head truck menuju depo PIL di Jalan Raya Cakung Cilincing, tempat penyewaan peti kemas kosong, lalu menuju PT Indo Creative Mebel di Kawasan Indo Taisei, Cikampek, Karawang, Jawa Barat.

Perusahaan eksportir furnitur ini menyewa jasa AJM untuk membawa sofa yang diekspor melalui pelabuhan ekspor impor PT Jakarta International Container Terminal  (JICT). Sekali jalan, dia dibekali Rp400.000. Uang itu habis paling banyak untuk mengisi penuh solar Rp200.000, selebihnya untuk makan dan upah.

“Sisanya bisa Rp100.000, tapi paling sering Rp50.000,” kata bapak 56 tahun ini ditemui saat mengantre di depan gerbang masuk kawasan JICT, Kamis (14/2) sore.

Zubaidi mengantre sejak pukul 11 siang dan hingga pukul 3 sore hari itu belum juga mengantongi kartu kuning, semacam surat jalan masuk gerbang JICT. Kartu itu di urus oleh  petugas dari AJM yang siap sedia di pelabuhan.

Di tempat yang sama, sopir borongan perusahaan ekspedisi PT Kurnia Pratama bernama Toni duduk di atas bemper truk Nissan Diesel yang mengangkut kontainer berisi barang elektronik milik Toyota dari Kawasan Industri MM2100 Cibitung, Jawa Barat, untuk diekspor.

Dia ‘membunuh’ sepi dengan menyeruput secangkir kopi dan mengisap sebatang rokok. Di depannya, puluhan truk juga mengular menunggu giliran masuk di depan gerbang kawasan JICT. Diangkut dari Cibitung, peti kemas itu sudah ditempel stiker putih Bea dan Cukai serta nomor seal atau segel pengaman, berwarna kuning.

Setelah truk mengantongi kartu kuning, katanya, truk diperbolehkan masuk gerbang, disurvei oleh petugas, lalu ditimbang dan dipindai.

Truk lalu menuju lapangan penumpukan, sesuai dengan dokumen di baris dan nomor berapa agar peti kemas dibongkar oleh alat pengerek atau crane, ditumpuk, menunggu diangkut oleh kapal laut.

Jalur kuning ialah jalur kepabeanan dengan pemeriksaan dokumen secara khusus tanpa memeriksa barang, sedangkan jalur merah itu petugas Bea dan Cukai akan memeriksa barang yang diimpor.

Menurut Toni, alat crane yang sedikit membuat dirinya kadang menunggu proses bongkar hingga 3 jam. Gerbang masuk Pelabuhan JICT pun tidak seluruhnya dibuka padahal antrean  makin lama.

Namun, pria lajang berusia 23 tahun ini menilai pelayanan pelabuhan sudah jauh lebih baik dari setahun lalu saat dia masih menjadi kernet truk kontainer. Dulu, pungutan liar merajalela.

“Kalau sekarang ini sukarela aja, uang rokoklah, misalnya di gerbang Rp1.000-Rp2.000. Nah kalau peti kemas dibongkar itu sekitar Rp10.000 kita ngasih ke petugasnya.”

Pungutan juga terjadi di Pintu 9 Pelabuhan Tanjung Priok. Gerbang ini wajib dilalui truk padahal hanya berputar di pelabuhan itu lalu keluar lagi untuk masuk ke JICT. Besaran fulus yang diminta petugas, kata Zubaidi, sekitar Rp5.000—Rp10.000.

Dirut JICT Albert Pang mengatakan efisiensi pelabuhan sebetulnya selalu menjadi fokus perseroan guna meningkatkan produktivitas. Sejak 2008-2012, pihaknya, sudah menghabiskan US$250 juta belanja peralatan baru, peningkatan kapasitas dermaga, dan sistem informasi dan teknologi.

“Ini untuk memodernisasi layanan pelabuhan,” katanya.

Saham JICT digenggam Hutchison Port Holdings (HPH) 51%, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II atau Indonesia Port Corporation (IPC) sebesar 49%, dan porsi kecil milik Koperasi Pegawai Maritim. Hutchison juga punya saham di Terminal Peti Kemas (TPK) Koja dengan mayoritas dimiliki Pelindo II.

Soal kemacetan truk, Corporate Affairs Manager JICT Indhira Gita Lestari menyatakan pihaknya tengah mengembangkan pintu masuk atau gate pelabuhan menjadi 20 jalur. Ke-20 jalur itu terbagi atas 14 jalur milik JICT dan enam jalur untuk TPK Koja supaya kemacetan terurai karena saat ini hanya delapan gate.

Nantinya, juga dibangun jalur agar truk dari pintu keluar jalan tol langsung akses ke pintu masuk JICT, TPK Koja, atau ke pelabuhan yang tengah dibangun Pelindo II saat ini yakni Kalibaru atau New Priok Port.

Dalam hal modernisasi, pihaknya telah memberlakukan JICT Auto Gate System (JAGS) agar pelayanan pintu masuk manual menjadi otomatis dan dikendalikan melalui customs control  room.

“Semua gate nanti full by system,” katanya.

Sayang, JASG masih terkendala lahan makam Mbah Priok yang membuat pembangunan fisik 20 gate itu belum terealisasi hingga kini. Sistem pintu gerbang otomatis melalui JAGS hanya dijalankan dengan menggunakan infrastruktur bangunan fisik lama.

Indhira mengakui kemacetan memang terjadi di luar pelabuhan dan berharap pembangunan  jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) Cilincing Jampea section E-2 bisa mengatasi itu.

Pada tahun lalu, JICT bisa menangani 2,35 juta TEUs dari tahun sebelumnya hanya 2,29 juta TEUs. Kemenko Bidang Perekono mian mengungkapkan pelabuhan ini mengelola 57% total peti kemas yang melalui Priok pada 2011 dan 63% pada tahun lalu.

TERTINGGAL DI ASEAN
Selain JICT, modernisasi sebetulnya juga terus diupayakan PT Pelindo II. Biaya logistik Indonesia yang termasuk tertinggi di Asean yakni 25%-30% dari PDB membuat pemerintah terus berbenah.

Tim Kerja Konektivitas Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia mencatat waktu tunggu peti kemas mulai dibongkar sampai keluar pelabuhan atau dwelling time saja mencapai 6 hari plus, padahal Singapura hanya 1,1 hari, Malaysia selama 4 hari, dan Thailand hanya 5 hari.

Atas dasar itulah mulai muncul kesadaran bersama memperbaiki daya saing logistik. Salah satunya fokus pada pembenahan pelabuhan karena dinilai 60% biaya angkutan laut habis di pelabuhan, termasuk biaya stuffing atau stripping, tarif bongkar muat, tarif penumpukan, haulage, dan lainnya.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan efisiensi pelabuhan mesti segera direalisasikan. Operator dan pelaku usaha juga tidak boleh saling menyalahkan. Dia meminta Pelindo II fokus membenahi pelabuhan, sedangkan pelaku usaha didesak memperbaiki sarana angkutan.

Dengan pertimbangan itu, Pelindo I, II, II, dan IV jor-joran berinvestasi. Tahun ini, Pelindo I menyiap kan Rp3,7 trilun, Pelindo II yang juga operator Priok mengang garkan Rp7 triliun.

Khusus investasi Pelindo II mele sat 233% dari tahun lalu itu karena pengaruh proyek Terminal Kalibaru dan Pelabuhan Sorong, Papua.

Adapun Pelindo III mengalokasikan Rp6,1 triliun untuk pengembangan bisnis. Paling banyak digunakan untuk pengerjaan proyek Terminal Multipurpose Teluk Lamong Rp2,5 triliun, alat dan fasilitas pelabuhan Rp1,8 triliun, dan investasi tanah, jalan, dan bangunan Rp1,2 triliun.

Pelindo IV khusus Pelabuhan Makassar menargetkan investasi hingga Rp774 miliar tahun ini guna menambah fasilitas, terminal peti kemas dan penambahan dermaga di pelabuhan tersebut.

Di luar investasi demi revitalisasi pelabuhan itu, bagi sopir truk macam Zubaidi dan Toni sebetulnya butuh yang namanya keamanan baik di pelabuhan maupun jalan raya.

Di dalam kawasan pelabuhan saja, kejahatan pun terjadi, malam dan siang. Pernah suatu  malam, kantong celana belakang Zubaidi disilet oleh preman saat dia tak sengaja tertidur ketika mengantre di depan JICT.

Sering kali dia melihat rekan sopir lain juga ditodong dengan senjata tajam di kawasan JICT.

“Kalau saya lawan atau teriak, saya takut, pan tiap hari saya kerja di sini, gimana kalau saya diincer,” ceritanya.

Toni juga sama. Dia lebih sering ditodong di dekat lampu merah Mambo, perempatan jalan menuju Terminal Tanjung Priok. Rekannya pernah ditikam oleh preman karena melawan dan akhirnya tewas.

Kepala Satuan Pengaman JICT belum bisa dimintai informasi karena saat itu masih berada di luar pos jaga, bawahannya enggan berkomentar.

Kepala Polisi Sub Sektor Pelabuhan JICT Ipda Weni Sianipar juga tak berani berkomentar banyak soal pengamanan pelabuhan karena sesuai dengan prosedur mesti lewat Polres Pelabuhan Tanjung Priok. Namun, informasi lain menyebutkan belum ada kejadian itu, patroli polisi dilakukan antara 2  jam sekali.

Modernisasi pelabuhan patut diapresiasi. Akan tetapi langkah itu perlu ditunjang juga dengan  sektor lain seperti pembenahan infrastuktur jalan dan keamanan yang dikeluhkan oleh para sopir.

Jalan tol JORR juga bukan solusi tunggal toh beberapa sopir tak berani melewati jalan tol baru itu karena posisinya terlalu tinggi. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi 19 Februari 2013.
Words: 1.288

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu