Oleh
M Tahir Saleh
UNDANGAN
itu datang dari Ratna, seorang teman yang menjadi peserta Banking Journalist
Academy. Saya diminta hadir dalam inaugurasi kelulusannya, medio Desember tahun
lalu. Pelatihan jurnalistik itu diinisiasi Bank Permata dan AJI Indonesia
dengan dukungan Kedubes Australia. Mentornya Bang Hasudungan Sirait dan Mba
Feby Siahaan, dua mantan jurnalis senior.
Saya
kenal dengan Bang Has karena pernah menjadi anak didiknya, jadi sekalian ingin
sowan dengan beliau. Tamu acara itu cukup banyak, selain beberapa pemred,
redaktur, dan jurnalis, hadir pula perwakilan penyelenggara. Satu per satu
memberikan sambutan, mulai dari perwakilan Bank Permata Julian Fong, Sekjen AJI
Indonesia Arfi Bambani, hingga Minister Counselor Bidang Ekonomi Kedubes
Australia Steven Barraclough.
Penyelenggara
juga mengundang pembicara dari pelaku media. Kali ini mereka menghadirkan
Budiono Darsono, salah satu pendiri situs berita online pertama di Indonesia,
Detik.com.
Pak
Bud bukan hanya pelopor situs berita online,
melainkan juga seorang miliarder media setelah pengusaha Chairul Tanjung lewat
CT Corp membeli 100% saham Detik pada Agustus 2011, nilainya ditaksir menembus
US$60 juta atau setara dengan Rp512 miliar kurs saat itu.
Beruntung
saya hadir malam itu karena berkesempatan menyimak presentasi Pak Bud yang
menarik, singkat, padat, dan nakal. Presentasinya tidak begitu lama, mungkin
kurang lebih 20 menit tapi komprehensif. Dia berbagi pandangannya tentang
lanskap media dalam beberapa tahun ke depan.
Pak
Bud amat cerdik menarik mata hadirin agar terus menyimak slide demi slide-nya.
Saya sendiri tak bisa beralih. Meski uban sudah menjamur di rambutnya, tak
kelihatan dia sudah berumur karena tampak masih energik dibalut t-shirt dan
celana jeans. Dia mengungkapkan betapa cepat perkembangan internet, bagaimana
internet sangat jeli membedakan informasi ketimbang platform lain.
Bahkan
satu huruf pun bisa bermakna beda di internet. Contoh, situs Extrajoss dengan
“S” dobel adalah situs resmi minuman energi buatan Bintang Toedjoe, tapi ketika
mengetik Extrajos dengan satu “S”, terpampanglah situs porno yang untungnya
sudah diblok. Hadirin pun tersenyum-senyum sendiri memandang deskripsi pada slide-nya.
Audiens,
menurut dia adalah gabungan teknologi media dan data. Dalam arti, internet
menjaring data sangat cepat. Jangan heran ketika kita membuka sebuah situs,
misalnya, Bank Permata dari Google, ke mana pun kita menjelajah, iklan yang
berkaitan dengan bank itu akan menguntit.
Menyoal
masa depan media, menurut Pak Bud sebuah media mestinya bukan lagi berkutat
pada konten, melainkan lebih dari itu, beyond content.
“Aset
kita adalah audiens, media yang harus mengelola audiensnya. Mereka [audiens]
adalah bisnis. Soal konten itu sudah final, jangan dibahas lagi,” tegasnya.
Artinya
masalah konten sudah selesai—meski saya kurang sependapat soal ini karena banyak
media online enggak beres kontennya. Sebab itu, media harus memahami audiens,
para pembaca. Sampai kapan pun, katanya, media tetap ada dan tidak akan mati.
Namun platform media yang akan berganti mengikuti perubahan zaman lantaran
karakter audiens berubah.
Cepatnya
penetrasi teknologi informasi mau tak mau memicu penyedia media massa merubah
format dalam menyampaikan informasi kepada khalayak. Untuk memudahkan gambaran
ini, dia berbagi bercerita soal cepatnya transformasi teknologi yang dirasakan
awak Detik. Situs berita ini didirikan pada Juli 1998, dengan modal Rp40 juta,
berkembang pesat sampai akhirnya diakuisisi Trans Corporation, anak perusahaan
CT Corp.
(Pak Bud, sumber: pengusaha.co) |
Pada
awalnya Detik dibangun dengan niat menyajikan berita yang cepat, dengan gaya
sederhana. Sampai kini gaya itu dipertahankan. Data Alexa per 24 Januari, Detik
menjadi situs berita terpopuler di Tanah Air, masuk urutan nomor 6 di Indonesia
dan 207 secara global--kendati Detik pernah gagal dalam format harian e-paper,
Harian Detik. Dengan kesuksesan Detik yang memaparkan berita-berita yang kadang
dipandang remeh tapi justru menarik pembaca, banyak media daring akhirnya
mengikuti.
“Saya
sebetulnya tak ingin media lain mengikuti gaya Detik,” kata Pak Bud.
Vivanews
(kini viva.co.id), kata dia, awalnya punya visi sangat baik dengan menyediakan
berita in-depth dan investigasi. Maklum, rerata punggawa Viva saat itu dari
majalah Tempo. Sayangnya, kata Pak Bud, peringkat Viva kala itu tidak beranjak.
Barangkali pembaca kurang tertarik atau tidak nyaman disuguhkan berita panjang
lewat online.
Dirasa
kurang sukses, gaya Viva—seperti kita baca sekarang—pun ikut arus dan tak jauh
berbeda dengan Detik. Tapi strategi ini justru berhasil mengangkat peringkat
Viva ketika itu meski peringkat Alexa saat ini Viva masih di urutan 36, kurang
populer dibanding situs berita baru seperti Suara.com (21), Merdeka.com (32),
atau situs jurnalisme warga: Kompasiana.com (25). Situs berita lain yang juga
punya peringkat bagus yakni Liputan6.com (7), Kompas.com (10), dan Okezone.com (13).
Dari
sisi pekerjaan, menurut Pak Bud, tekanan jurnalis saat ini bekerja 24 jam multitasking dan inspektor gadget.
Berbeda dengan era sebelum smartphone
hadir, jurnalis Detik malah bermodalnya koin telepon umum ketika terjun di
lapangan, melaporkan berita dari balik bilik telepon umum.
“Tahun
1998, reporter bawa koin. Dapat berita langsung telpon. Jadi di kantor banyak
yang sakit telinganya. Lalu berkembang, di kantor kami pakai handsfree.“
Kepraktisan
dan efisiensi menjadi kunci di bisnis media daring. Itu sebabnya dengan
peralihan zaman, dia justru heran mengapa ada media online yang masih mewajibkan jurnalis menyetor muka di kantor. Saat
ini, 60% wartawan Detik bekerja di lapangan, tidak di kantor. Ke depan,
persentasenya bisa 80% wartawan Detik tidak di kantor.
“Kalau
sekarang, kita harus minta izin dulu kalau enggak masuk ke kantor. Nanti
dibalik, kalau mau ke kantor justru kita harus minta izin dulu karena akan
disiapkan meja dan sebagainya,” jelas Pak Bud.
Begitulah
perubahan menjalar dalam sistem mobile
office. Beberapa media masih setengah mempraktekan ini lantaran menghindari
wartawan muda menjadi wartawan karbitan karena tulisannya masih belum rapi dan
miskin isu jika tidak berdiskusi dengan redaktur di kantor.
Satu
hal juga yang menarik dari presentasi Pak Bud ketika dia bilang:
“Saya
ditanya , apakah masih bekerja mengurus redaksi? Saya sudah tidak urus lagi
karena memang redaksi harus menyesuaikan dengan perubahan pembaca.”
Pesan
yang saya tangkap, bahwa dengan usia yang sudah lebih senior (54 tahun), lebih
baik regenerasi. Omongan Pak Bud mengingatkan saya pada presentasi seorang
direktur sebuah perusahaan teknologi informasi. Dia menegaskan banyak
perusahaan IT gagal mengikuti tren pasar karena tim riset dan pengembangan
(litbang) sebagai motor ide justru diisi oleh orang-orang yang tua. Saya tidak
mengatakan orang tua harus pensiun, tapi posisi anak muda untuk memahami tren
pasar mestinya dikedepankan.
Mengakhiri
presentasinya, Pak Bud menjelaskan tiga hal yang merubah budaya global: celana jeans,
minuman Coca-Cola, dan web. Selain itu, dia juga memaparkan tiga hal yang bisa
menghambat pertumbuhan media ke depan yakni Harmony Culture Error, Seniority
Error, dan Old Nation Error. Tiga hal ini juga pernah dikemukakan seorang
konsultan manajemen, Yodhia Antarika, dalam tulisannya berjudul “The Death of
Samurai: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo”.
Penjelasan
singkatnya, Harmony Culture Error lebih pada kebiasaan manajemen mementingkan
konsensus sehingga membuat banyak perusahaan lamban mengambil keputusan,
sementara kompetitor bergerak lebih cepat. Budaya menjaga harmoni ini menjadi
tragedi di era digital lantaran ide-ide kreatif justru tak berkembang. Adapun
Seniority Error lebih pada kebiasaan yang selalu mementingkan senioritas,
sungkan pada atasan, sehingga inovasi pun terpendam.
Terakhir
Old Nation Error, kebiasaan ini masih berhubungan dengan faktor kedua tadi.
Banyak karyawan yang sudah bekerja puluhan tahun, menua, biasanya sudah
dininabobokan zona nyaman yang pada akhirnya membuat mereka kurang peka dengan
inovasi dan cepatnya perubahan. Itu sebabnya inovasi sulit menjadi nafas bagi
perusahaan saat berkompetisi di era digital.