Senin, 23 November 2009

Nurani Pers

Thomas Jefferson, bekas Presiden AS, pernah berkata “Lebih baik ada pers tanpa negara, dari pada punya negara tanpa pers”. Begitu pentingnya peran media massa dalam mengontrol jalannya proses demokrasi suatu bangsa sehingga tak ayal kata itu terlontar dari mulut Jefferson.

Bagaimana jadinya kalau aktifitas seorang presiden negara tak bisa disebarluaskan ke masyarakat atau bahkan ke negara lain. Bayangkan juga bila sebuah negara, ratusan tahun dijajah dan berusaha memperjuangkan kemerdekaannya tetapi tanpa didukung pers. Negara mana yang melirik dan secara naluri ingin membantu kalau apriori?

Media dikenal menjadi pilar keempat demokrasi selain lembaga eksekutif (pemegang kekuasaan), legislatif (pembuat undang-undang) serta yudikatif (pelaksana kehakiman). Tugasnya tentu saja kembali ke khittah pers yakni social control, memberikan informasi yang bermanfaat, bermutu, dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Kondisi ini pulalah yang kian disoroti saat ini kala pemberitaan media dipojokkan karena dinilai melupakan objektifitasnya tetapi menggunakan subjektifitasnya. Media dituduh tak netral lagi dan jauh dari khittah-nya dalam mewartakan peristiswa.

Media membetuk opini masyarakat sehingga terjadi aksi unjuk rasa berlebihan mendukung salah satu dari dua kubu yang sedang berseteru, antara buaya dan cicak (Polri Vs KPK). Tentu dalam hal ini media tidak menjadi godzila atau kadal yang ikut nimbrung bahkan membela satu kubu dari yang lain.

Imbasnya, pada pekan ini, pimpinan dua media Nasional, yakni Kompas dan Seputar Indonesia dipanggil oleh Kepolisian atas laporan pencemaran nama baik oleh Anggodo Widjojo dan kuasa hukumnya. Anggodo memang ‘sakti’. Rekaman setengah biadab-meminjam bahasa Ahmad Syafii Maarif-yang melibatkan dirinya dan sejumlah bukti lainnya pun tak mampu menyeretnya menjadi tersangka.

Alih-alih menjadi tersangka, hingga dua pekan lebih berlalu, adik kandung Buronan KPK Anggoro Wdjojo ini masih saja lenggang kangkung menjadi saksi. Lucu memang, lawong namanya sudah rusak kok menuduh media mencemarkan namanya. Dan anehnya lagi, kenapa cuma dua media dari seluruh media yang memberitakan rekaman tersebut?

Parahnya lagi Presiden dengan legitimasi penuhnya pun enggan bertindak padahal sudah membentuk Tim 8 yang telah memberikan rekomendasinya. Seperti kata Eep Saefullah Fatah, dalam hal ini terjadi ‘disfungsi presiden’ sama halnya dengan disfungsi seksual.

Polri sendiri memang membantah pemanggilan dua media tersebut sebagai kriminalisasi pers. “Tidak ada niat mengkriminalkan pers, kami jsutru tengah berupaya memproses Anggodo segera jadi tersangka,” sergah Nanan Soekarna, Kepala Divisi Humas Mabes Polri di Kompas, 21 November.

Pers saat ini disudutkan saat membeberkan kejahatan yang terstruktur oleh para makelar kasus, Pemanggilan Kepolisian itu menjadi tanda tanya besar, apa itu adalah wujud pembungkaman pers hingga ke kriminalisasi pers. Pemerintah semestinya melihat pers sebagai penutur sejarah yang tak lelah mendedahkan fakta dengan analisa yang kuat.

Mungkin kita masing ingat skandal Watergate, lokasi mabes Partai Demokrat di Washington DC, yang menjatuhkan Presiden Richard Nixon dari peraduannya pada 1972 berkat liputan investigatif dua wartawan Washington Post, Bob Woodward dan Carl Berstein. Itulah kekuatan media yang mampu menjadi pengontrol pemerintah yang salah jalan. Ada naluri yang tak bisa dibohongi oleh alibi apapun.

Naluri yang menggetarkan ketika gerakan mahasiswa lahir pada 1998 dan didukung persuasi media sehingga menjadi satu kekuatan moril bagi perjuangan menegakan benang reformasi. Mendiang Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun pun lengser.

Maka meminjam kata Napoleon Bonaparte, “Pena lebih tajam daripada ujung bayonet” atau menyitir perkataan Winston Churcill, “Saya lebih takut pada wartawan dari pada menghadapi seratus meriam” setidaknya menegaskan satu hal, pers bekerja atas nama nurani kebenaran dan kejujuran meski kadang ada saja media gadungan yang jauh dari itu.

Nurani bukan hanya milik manusia dalam masyarakat, Pers yang notabene merupakan kumpulan masyarakat dan bagian dari masyarakat pun memiliki hati nurani.

Nurani ketika mengungkapkan Minah, si pencuri dua buah kako-yang nilainya tak lebih dari Rp2.000- ketika dihukum1 bulan 15 hari oleh Pengadilan Negeri Purwokerto. Nurani ketika sebuah institusi penuh harapan diobrak-abrik. Dan nurani itu masih terpatri di sini, dalam hati.

22/11/9

Gambar: kabarindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu