Minggu, 15 November 2009

Keruwetan Jakarta

Belum hilang kekesalan saat terjadi pemadaman bergilir bersamaan dengan kerusakan sistem kelistrikan sejak September, pendukuk Jakarta kembali diresahkan oleh datangnya musim hujan.

Artinya siap-siap banjir lagi.Jumat pekan ini (13 November), menjadi saksi betapa kekhawatiran itu terjadi. Seorang teman bahkan bercerita sempat tertahan di kantor Bank Indonesia meski dia naik sepeda motor karena lalu lintas tak bisa jalan.

Di kawasan Sudirman, Thamrin, dan Gatot Subroto yang dikenal sebagai segitiga emasnya Jakarta lantaran pusat bisnis ini pun seperti biasa tak berdaya. Jalur lalu lintas padat merayap di bawah kendali air hujan. Buruknya sistem drainase di kota terkotor ketiga dunia, menurut Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP) ini, menjadi salah satu sebab pembangunan kota semakin ruwet.

Tak hanya Jakarta Pusat, kawazan Cempaka Putih misalnya, juga tak jauh berbeda. Lebih parahnya lagi lalu lintas arah ke Senen dan Monas pun tak bisa bergerak karena tepat di depan ITC Cempaka Mas itu air hujan menggenang setinggi lutut orang dewasa. Dan sekali lagi masalah klasik ini repetisi tiap tahun.

Penduduk Jakarta sebetulnya lebih was-was lagi karena ini baru hujan di rumah sendiri. Bisa dibayangkan kalau terjadi banjir susulan, sesuatu yang menjadi kambing hitang banjir di Jakarta, dari Bogor dan sekitarnya. Kalau banjir Jakarta, ya berarti yang disalahkan bukan Bogor atau daerah lain.

Masyarakat Jakarta haruslah bisa berdisiplin dan tidak melimpahkan dosa massal ke kampung lain apalagi diprediksi intensitas dan curah hujan pada bulan ini dan bulan depan kian meningkat hingga awal tahun depan.

Dengan keadaan ini tentu saja yang menjadi ancaman serius adalah fasilitas publik dan laju perekonomian kota yang agak tersendat. Fasilitas public yang sedianya diandalkan masyarakat terancam terganggu seperti telpon, jaringan internet, gas, air, dan jaringan listrik bisa terputus.

Gubernur Fauzi Bowo, yang waktu kampanye mengaku sebagai ahlinya Jakarta, ternyata tak mampu mengantisipasi banjir di Jakarta. Tiap tahun pada Januari dan Februari ritual banjir nyaris tak berubah. Oleh sebab itu, amanah adalah hal yang paling berat sebagaimana petuah al Ghazali terhadap muridnya, Jadi jangan sembarang menebar janji Bang Foke.

Mengatasi ini sebaiknya memang perlu adanya komitmen bersama, bukan hanya datang dari doktor tata kota lulusan Jerman ini melainkan juga datang dari daerah lain yang berdekatan di antaranya Bekasi, Depok, dan Tangerang. Meminjam kata Emil Salim, mantan Menteri Negara
Lingkungan Hidup, dalam sebuah seminar properti pekan ini, Jakarta harus di tata ulang. Ya ditata ulang.

Jangan ada lagi penyusutan lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH) daripada ruang yang tertutup bangunan. Hutan beton yang tak mampu meresap air harus dikurangi atau setidaknya disediakan lebih banyak RTH.

Kita tahu dalam sejarahnya Jakarta yang bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun lalu ini penuh dengan rawa. Makanya banyak wilayah di Jakarta yang dinamakan rawa sehingga memang semestinya daerah ini menjadi penampung hujan di wilayah Buitenzorg/bogor.

Oleh sebab itu perlu ada situ-situ baru tidak hanya mengandalkan Banjir Kanal Timur yang hampir selesai ini. Nyatanya rawa sudah hilang, situ sudah berkurang. Tak ada lagi yang bisa menampung air hujan. Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan di Jabodetabek pada 1960-an terdapat 218 situ kini tinggal 50-an saja.

Jangan ada lagi sampah rumah tangga yang tidak terurus. Dari 10.000-an ton sampah Jakarta, masa iya 30% nya dibuang ke sungai? Parah sekali dan memang itu terjadi. Hutang mangrove (bakau) juga berubah jadi Pantai Indah Kapuk. Kita tidak ingin Jakarta akan tetap tenggelam seperti tahun-tahun sebelumnya. Di sinilah sebuah janji dipertaruhkan tentu dengan dukungan bersama.

Menjadi satu hal yang naïf apabila tanggung jawab membebaskan Jakarta dari keruwetan ini hanya dibebankan kepada Bang Foke, masyarakat Jakarta pun layaknya memiliki sense of belonging yang tinggi meski kebanyakan masyarakat kota ini berasal dari kaum pendatang. Entah Jawa, Madura, Sunda, Batak, atau Flores toh juga mengais rizki di kota ini. Dus, ini sebuah tanggung jawab bersama bukan?

Gambar: afp, noscadgie.file.wordpress.com








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu