Selasa, 05 Oktober 2010

“Balada tukang koran”

Oleh Taher Saleh

Tukang koran itu pun mengernyitkan dahinya, Nampaknya dia heran kali ketika saya bilang saya ini wartawan.

“Ah masa? Mas wartawan? Ah masa?” tanyanya heran sambil cengengesan meledek.

Saya tak begitu peduli dan tak melanjutkan memberitahu dia saya wartawan dari mana, liputan apa, tapi dia terus memborbardir saya dengan rentetan pertanyaan.

“Mas koran apa?” tanyanya.

“Bisnis Indonesia Mas,” jawab saya singkat.

“Wah koran mahal tuh, mahal buanget kalo langganan,” cetusnya dengan logat betawi tulen.

“Iya lumayan mahal Rp6.000 perak kan? Kalau Langganan Rp100.000 lebih,” saya membalas.

“Eh Mas wartawan gajinya berapa?” si tukang koran makin agresif menyerang saya dengan pertanyaannya yang jelas, tanpa tedeng aling-aling to the point. Bingung juga jawabnya. Pertanyaan ini sama artinya dengan “Apa warna celana dalam kamu?” Masa ada orang yang berani ngomong warna celana dalamnya ke orang lain yang baru kenal…biar sudah kenal juga tak etis saja ghibah tentang celana dalam.

“Yah pokoke cukuplah buat bujangan lah Mas, rahasia dong,” kembali saya membalas.

“Wah jadi beneran nih wartawan?wah hebat yah?” pujinya

“Apanya yang hebat Mas, yah namanya juga kerja,” kata saya seraya menyelipkan uang Rp75.000 biaya langganan koran Republika.

Saya sebenarnya jarang ngobrol dengan tukang koran ini hanya saja pagi itu, saya memang sengaja bangun pagi berhubung tukang koran yang biasa dipanggil “Mas Endut” ini belum saya bayar uang langganan koran.

Interaksi singkat dengan Mas Endut ini mengajak saya memutar kenangan masa lalu yang pernah jadi tukang koran saat sekolah dahulu. Media-media nasional seperti Kompas, Media Indonesia, sampai Pos Kota adalah saksi bisu pergulatan hidup anak muda bernama Taher ini mencoba meretas arti kehidupan.

Setiap hari pukul 05.00 subuh saya bangun. Setelah menunaikan ibadah solat subuh saya langsung tancap gas menggoes sepeda mengitari perumahan tempat saya tinggal Taman Wisma Asri, lalu ke Titian Indah, Duta Harapan, sampai Permata Hijau Permai. Perumahan-perumahan ini letaknya di Bekasi Utara dekat rumah.

Di peristiwa subuh itulah saya berdoa kepada Allah, saya bertekad memperoleh kehidupan yang lebih baik.

“Ya Allah saya harus sekolah yang tinggi biar engga cuma jadi tukang koran!” kata saya dalam hati di atas sepeda yang melaju pelan menembus fajar pagi.

Kenangan inilah yang membuat saya kuat secara fisik dan mental dalam mengarungi tantangan kehidupan meskipun saya tergolong kurus. Dari pekerjaan inilah saya bisa menyisihkan uang jajan untuk sekolah, sekedar bisa menghibur diri dengan membeli sesuatu. Tidak besar memang uang yang saya dapat tapi setidaknya bagi anak usia SMP ketika itu lumayan cukup. Mari kita menghitung penghasilan saya waktu itu.

Ambil contoh Pos Kota ketika itu (1998-1999) harganya sekitar Rp500 perak (sebetulnya lupa juga), Kompas sekitar Rp1500 perak. Setiap satu koran upah buat tukang koran sekitar Rp200-Rp500 perak.

Jadi misalnya Kompas laku 10 koran maka setidaknya saya mengantongi Rp5000 dengan asumsi satu koran kompas upahnya Rp500 perak. Kalau tidak salah ingat rata-rata saya membawa pulang Rp15000-Rp20000 per hari.

Yang paling saya ingat dan suka tertawa sendiri kejadian di kejar anjing di pagi buta. Saya memang punya pelanggan Pos Kota yang rumahnya dijaga anjing galak. Bisa ditebak kan saya mesti ambil ancang-ancang dari jauh saat melempar koran ke atas pagar apalagi anjing adalah binatang yang membuat luka di alis kanan dan bibir atasku. Saat aku kecil pernah jauh ke selokan gara gara menghindari anjing.

Setelah saya lempar koran itu sejurus kemudian guk guk guk...anjing itu pasti mengejar saya sampai beberapa meter…hehe lucu juga kalau mengingat itu.

Terlepas dari itu satu tantangan terbesar debut menjadi tukang koran yakni ketika mengimla “koran-koran” sambil menggoes sepeda. Malunya tak terkira saat itu, untungnya Bapakku selalu bilang jadi tukang koran itu pekerjaan halal lagian kamu jadi belajar mandiri.

Alhamduillah, 12 tahun berlalu. Saya bersyukur saat ini masih dikaruniai Allah nikmat yang luar biasa. Bisa kuliah, kini bisa bekerja, bisa bermanfaat bagi pembaca lewat tulisan-tulisan, bisa menjadi wartawan. Alhamdulillah. Yang belum terwujud ialah bisa membuka lapangan pekerjaan buat orang lain.

“Koran-Koran…….,” teriak Mas Endut yang hilang ditelan gang senggol.

gambar: injilterapan.blogspot.com


4 komentar:

  1. wahhh. keren, ya. dulu tukang koran, sekarang jadi wartawan. masih ada benang merahnya, mas.

    salam kenal.
    :D

    BalasHapus
  2. Wah ketika kamu jualan koran bisnis indonesia sudah ada belum taher?hihihi

    BalasHapus
  3. hehehehe salam kenal mba meika
    @kukudekil: hahaha, bisnis kan lahir 1983, seumuran tuh sm tami

    BalasHapus
  4. Wah, masih muda yah, enggaklah, itu seumuran kakakku, aku direncanain aja belom...hehehehe

    BalasHapus

Entri Populer

Penayangan bulan lalu