Senin, 04 Oktober 2010

“Wartel” (Wartawan Telepon)

Oleh Taher Saleh

Suatu sore, temanku dari salah satu media ekonomi nasional tiba-tiba mengirim pesan pendek. Dia minta dikirimi nomor telepon direktur utama PT Asuransi Jasa Raharja, perusahaan asuransi milik pemerintah yang bertugas membayar klaim kecelakaan bagi korban kecelakaan lalu lintas darat, laut, dan udara.

Tak menunggu lama aku langsung penuhi permintaannya biar puass. Sebetulnya temanku ini sudah bertemu dengan Dirut Jasa Raharja Diding S Anwar, ketika perusahaan asuransi yang lahir dari nasionalisasi perusahaan Belanda itu menggelar acara ‘Buka Bersama Wartawan’ pertengahan Ramadhan lalu (September).

Namun waktu memaksanya tuk pulang terlebih dahulu karena lagi kebelet dengan satu hal mendadak saat itu. Akhirnya saya meminta langsung nomor ponsel dirut Jasa Raharja tersebut.

Keperluan nomor ponsel itu terkait erat dengan data-data lisan yang dibutuhkannya untuk menulis berita tentang berapa nilai klaim asuransi yang akan dibayarkan oleh Jasa Raharja menyusul dua kecelakaan kereta api pada 2 Oktober lalu.

Seperti diberitakan besar-besaran hampir semua media, kecelakaan kereta api terjadi ketika gerbong belakang kereta Senja Utama ditabrak oleh kereta Argo Bromo Anggrek di Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah.

Kejadian naas pada hari yang sama juga terjadi di Solo tatkala kereta Gaya Baru Malam dari Surabaya-Jakarta ditabrak oleh kereta Bima. Total tercatat lebih dari 30 orang mengembuskan nafas terakhirnya di tengah malam yang gelap gulita, ketika senja belum tampak.

Dalam hal ini temanku itu tak salah juga minta meminta nomor telpon. Kebiasaan ini di kalangan wartawan baik desk ekonomi maupun desk politik adalah hal yang lumrah. Bukan lantaran malas bertemu dengan narasumber tetapi ada satu hal dan lainnya yang memaksa pencarian berita dimungkinkan secepat mungkin disajikan sehingga perlu media lain melalui kabel telepon.

Bagi kami wartawan yang biasa meliput ekonomi, setiap hari ‘makanannya’ straight news, laporan mendalam atau mungkin features hanya beberapa kali saja berbeda dengan majalah yang menjual liputan indept. Bahkan belakangan di beberapa media, features hanya dijadikan bantalan untuk mengisi halaman yang sepi iklan.

Itulah sebabnya telpon menjadi media paling cepat membuat straight news selain mengandalkan surat elektronik atau email, facebook, chatting, atau yang saat ini sedang in, blackberry messanger. Kami biasa menyebut aktifitas ini “Wartel” alias wartawan telpon.

Maknanya wartawan hanya bermodal wawancara telepon, ditambah riset serba sedikit di perpustakaan atau internet, lalu menulis di belakang meja. Tak salah juga sih karena biasanya langkah ini dipilih ketika berhadapan dengan narasumber yang jauh, sulit dijangkau, atau yang bersangkutan cukup sibuk jadi tak punya waktu.

Toh wawancara telpon juga punya kelebihan sebab bisa mendapatkan informasi dengan cepat dari narasumber. Keuntungan lainnya bisa menghemat waktu dan tenaga. Wartawan juga langsung mengajukan pertanyaan-pertanyaan straight to the point. Di pihak narasumber, dia bisa menyembunyikan privasinya tanpa mengganggu proses wawancara.

Yang salah adalah ketika pilihan ini dijadikan kebisaaan dalam menjalani aktifitas jurnalistik setiap hari padahal ada begitu banyak medium selain mengandalkan uang pulsa ini misalnya wawancara ekslusif dan lainnya.

Salah karena kalau jurnalis terbiasa dengan langkah ini ia hanya terbatas untuk mengenal lebih dekat dan lebih banyak sumber-sumber berita. Selan itu kita jurnalis tak bisa membaca komunikasi non-verbal yang bisa membantu jurnalis menafsirkan respon sumber berita. Coba banyangkan jika kita meliput korban kecelakaan kereta api kasus di atas? Bagaimana kita menggambarkan kondisi psikologis korban tanpa meninjau langsung tempat kejadian perkara?

Kelemahan lain wawancara ini ialah gangguan teknis seperti sinyal tersendat atau terputus atau bahkan baterai ponsel lemah.

Sayangnya kebanyakan wartawan saat ini termasuk saya, kadang-kala terjebak pada rutinitas wawancara ini. Ini kontras jika disandingkan dengan wejangan Sindhunata, seorang wartawan senior (bekas wartawan Kompas) yang ulasan sepakbola-nya selalu saya nantikan ketika Piala Duni berlansung.

Dia mengatakan pekerjaan pertama seorang wartawan ialah pekerjaan kaki. Ya pekerjaan kaki artinya kita mesti melangkah baru kemudian pekerjaan tangan, tulis-menulis.

Selayaknya wejangan ini bisa dipegang penuh oleh wartawan yang baik dalam menulis khususnya berita mendalam karena dengan keunggulan terjun ke lapangan bisa mendedahkan seuatu hal yang tak bisa ditangkap telinga lewat telepon, tapi bisa disingkap oleh mata dan hati.

Gambar: tegal-online.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu