Jumat, 17 Juni 2011

Pelepas Uang


'Perang' Melawan Si Pelepas Uang
Oleh M Tahir Saleh

SUASANA di Pasar Ciledug, Kabupaten Cirebon, Rabu siang pekan lalu tak begitu ramai. Aktivitas jual beli juga serasa tak begitu marak. Sebagian toko-toko tutup, hanya segelintir orang lalu lalang di pelataran pasar yang dijejeri becak, mobil, dan sepeda motor.

Di pojok kanan pasar, di dalam bangunan mirip toko, Yonedi duduk sambil menjelaskan informasi kepada klien. Tak banyak yang datang menemui pria 31 tahun ini kala itu, berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

Maklum hari itu, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk menggelar hajatan gede-gedean bertajuk Pesta Rakyat Simpedes di alun-alun Kecamatan Ciledug. Pesta rakyat ini menyedot ratusan masyarakat tumpah ruah, sebagian aktivitas pasar pun tutup.

Yonedi adalah satu dari sedikitnya tiga karyawan yang ditempatkan di Teras BRI. Teras ini semacam kantor bank kecil yang ditempatkan di pasar-pasar tradisional di seluruh Indonesia, termasuk Pasar Ciledug, di bawah wewenang Kantor Unit dan Kantor Cabang.

Pasar Ciledug ini masuk Kecamatan Ciledug. Wilayah ini bagian umur dari Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Ciledug sebelumnya adalah salah satu kewedanaan atau keresidenan Cirebon yang meliputi Kecamatan Ciledug, Babakan, Waled. dan Losari.

Di pasar ini, Yonedi sudah lebih dari setahun bekerja sebagai mantri di Teras BRI. Mantri ini bukan nama profesi yang dipercaya masyarakat dalam bidang kesehatan melainkan sebutan pegawai Teras BRI. Wewenangnya menganalisa permintaan pinjaman dan mengusulkan pinjaman agar yang diberikan layak dan aman bagi bank. Klien? Rata-rata pedagang pasar.

“Di sini kami menyasar pedagang-pedagang pasar yang biasanya meminjam uang ke rentenir atau di sini sebutannya pelepas uang," kata Yonedi ketika itu.

Upaya melawan lintah darat atau pelepas uang ini memang digalakkan oleh bank pelat merah yang didirikan dengan nama Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Besruurs Ambtenaren pada 1895 ini. Jumlah rentenir yang menjamur di pasar-pasar tradisional mendorong BRI mencoba menyelamatkan ‘leher’ pedagang dari jeratan mereka.

Sejatinya, BRI tidak sendiri, tetapi memang bisa disebut pelopor dalam hal ini. Beberapa bank sekarang juga melakukan hal serupa pada pedagang pasar, seperti PT Bank Danamon Indonesia Tbk, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional, dan PT Bank Mega Syariah.

Danamon membuka Danamon Simpan Pinjam, BTPN memiliki Mitra Usaha Rak-yar, dan Bank Mega dengan Mega Mitra Syariah. Secara bisnis, pedagang pasar sangat potensial dengan perputaran dana yang kencang dan daya bayar memadai.

Apa yang dialami Suranih bisa jadi contoh, pengusaha kerupuk rajungan ini terselamatkan dari pinjaman pelepas uang setelah mendapatkan pinjaman usaha sebesar Rp5 juta dari BRI dengan proses yang tak berbelit-belit.

Usahanya kini cukup pesat bahkan kini mendapat saingan dari tetangga-tetangga. Atau tengok cerita dari Wariah, warga Losari yang juga dua kali mendapatkan kucuran dari bank ini.

Menurut pengalaman Yonadi, pedagang pasar dipaksa membayar utang dengan bunga tinggi. Bahkan, katanya, sebulan bunga bisa mencapai 10%-20%. “Bandingkan dengan bunga yang ditawarkan kami sekitar 12% per tahun,” katanya.

Makin sulitnya kondisi ekonomi masyarakat tak bisa dimungkiri menjadi satu penyebab mendorong pedagang pasar atau pengusaha kecil mengambil jalan pintas menuju rentenir.
Selain itu, terkadang pedagang pasar juga membutuhkan waktu yang singkat serta proses yang tidak formal untuk menyelesaikan kesulitan yang dihadapi. Nah, pelepas uang punya keunggulan dari sisi ini dan menyebabkan keberadaan mereka sebagai pemberi solusi.

Pendekatan sosial
Wakil Kepala Divisi Jaringan Kerja Mikro BRI Johannes mengatakan program yang dilakukan perseroan melalui Teras merupakan upaya dalam memutus rantai pelepas uang yang cukup membuat nasabah menderita bunga cukup tinggi. Bahkan seperti ujaran Yonedi, katanya, bunga dari pelepas uang bisa mencapai 43% dalam setahun.

“Kami targetkan hadir di 1.317 pasar. Tahun lalu sudah 618 Teras, dan tahun ini target 700 teras. Kami optimistis dengan pendekatan sosial kami bisa memotong rantai pelepas uang,” katanya.

Menurut Johannes ketika bank dengan pendekatan kultur masuk ke pasar tradisional, yang merupakan salah satu indikator dalam kegiatan ekonomi masyarakat, diharapkan dapat menekan tingkat pinjaman dari rentenir dan beralih ke bank.

Data Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia menyebutkan di pasar Ciledug ini terdapat 399 pedagang dengan jumlah kios 420 unit. Dari jumlah itu, Teras BRI sudah meng-coivr239 pedagang/nasabah baik dengan menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) maupun kredit umum pedesaan (Kupedes).

Ekonom dari lembaga Econit Hendri Saparini menilai kecenderungan pedagang pasar memilih rentenir lantaran pembiayaan yang diperoleh lebih fleksibel dan sesuai dengan keinginan. Tidak ada agunan, dokumen resmi, dan pilihan cicilan yang tidak rutin mendorong pedagang digiring secara tidak langsung.

Di satu sisi, katanya, perbankan juga kurang variatif dalam menawarkan produk bagi ekonomi mikro seperti pedagang pasar. “Rentenir bisa malam-malam, bayar cicilan juga bisa sesuai panen misalnya 3 bulan. Bank semestinya bisa memotong rantai rentenir ini,” katanya, kemarin.

Hendri mengatakan mesti ada variasi produk dan fleksibilitas perbankan baik BUMN maupun bank swasta. Selain itu, pembahasan RUU Lembaga Pembiayaan Mikro semestinya bisa menjadi motor bank menggandeng lembaga keuangan mikro mengembangkan ekonomi daerah.

Tentu bukan hal yang mudah dan instan. Butuh kesediaan dan rencana matang serta penuh perhitungan dari perbankan yang mengatasnamakan bisnisnya, bisnis kepercayaan. Belum tentu cabang-cabang kecil dari semua bank ke depan bisa menyediakan layanan di luar jam kantor guna mengakomodasi hasrat pedagang pasar. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi 14 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu