Rabu, 17 Agustus 2011

3G dan 4G di China


Menanti Internet Tercepat di Indonesia
Oleh M Tahir Saleh

JAMUAN makan malam di Imperial Restaurant, Beijing, pada Rabu 20 Juli lalu baru saja dimulai sekitar pukul tujuh. Pramusaji berbusana cheongsam merah sibuk mondar mandir, melempar senyum dengan santun, sembari menawarkan seduhan teh panas.




Jajaran manajemen PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) sebagai pengundang membaur di antara wartawan Indonesia, manajemen Huawei Technologies Co Ltd, PT Huawei Tech Investment, dan mahasiswa lokal. Kurang lebih enam meja bundar sengaja disiapkan bagi seluruh tamu di restoran khusus makanan para kaisar ini.


Malam itu GM Corporate Communication Telkomsel Ricardo Indra langsung maju memberikan prolog sambil hadirin mencicipi hidangan pembuka. Topiknya soal visi operator seluler terbesar ke-7 di dunia itu dalam menerapkan layanan data berbasis Long Term Evolution (LTE) atau teknologi generasi keempat (4G).

Selain manajemen Huawei, yang menjadi salah satu mitra implementasi LTE Telkomsel, anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk ini ini juga mendatangkan empat mahasiswa lokal guna menilik bagaimana karakteristik komunikasi para mahasiswa di negeri Tirai Bambu itu, dua di antaranya dari Renmin University of China.

Mungkin pertanyaan mendasar terbesit, sebenarnya apa sih LTE sampai-sampai Telkomsel berpeluh membawa rombongan wartawan Indonesia melihat penerapan teknologi ini di China?

Gambaran singkatnya, LTE adalah teknologi terbaru yang menawarkan berbagai keunggulan dibandingkan dengan teknologi GSM, EDGE, WCDMA, maupun HSPA. Jauh sebelum LTE lahir, dunia mengenal evolusi layanan kecepatan tinggi dari 2G, 3G, lalu beralih ke HSPA+ dan kini LTE.

Sederhananya, dengan LTE kita bisa bermain games online di ponsel, berkomunikasi video call dengan kerabat di negeri lain dengan kualitas gambar dan suara real time seperti tatap muka. Tak cuma itu, dengan mudah kita bisa meng-upload video, iklan interaktif berbasis video di ponsel, dan mudahnya sistem telemetri M2M (machine to machine).

Bayangkan, untuk mengunduh sebuah filem berkapasitas 750 megabita (MB) dengan LTE hanya butuh waktu 2,5 menit, bandingkan dengan memakai HSPA+ 20 menit, HSPA 50 menit, UMTS 6,5 jam, atau EDGE yang butuh waktu hingga 30 jam.

Kami, para wartawan, sempat mencoba kecanggihan demo LTE ini di Maglev Train--kereta yang diklaim sebagai kereta tercepat di dunia--ketika mendarat pada hari pertama di Shanghai sebelum terbang ke Beijing. Saat itu kecepatan download video di Youtube mencapai 49,7 Mbps (megabit per second) di atas kecepatan maksimal Maglev mencapai 431 km/jam dengan jarak tempuh 20 km.

“Fokus di LTE ini memang di data. Beberapa masalah yang tak bisa diatasi oleh 2G dan 3G bisa diatasi oleh LTE seperti portable games, video resolusi tinggi, interactive advertising, dan lainnya,” ujar Joko Suryana, praktisi telekomunikasi dan akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Kontinuitas
Seorang wartawan senior media ekonomi sempat bertanya dalam forum sebelumnya bahwa penerapan teknologi ini semata-mata upaya ikut-ikutan dan mengeruk keuntungan tanpa memikirkan dampak kepada masyarakat. Hal itu mengingat belum habis 2G, lalu 3G, dan kini didengung-dengungkan teknologi baru 4G.

Joko menilai proses evolusi teknologi dari 3G ke 4G tersebut adalah sebuah kesinambungan dari teknologi informasi yang tak bisa dielakkan. Jika teknologi tak mampu ke arah evolusi itu adalah kesalahan, lantaran perubahan itu intinya inovasi membantu masyarakat
“Kalau teknologi tidak ke arah sana, itu salah, ini membantu kita juga, cost-nya murah. Adanya masalah itu yang menyebabkan inovasi, setiap masalah adalah sumber inspirasi termasuk inovasi dalam LTE,” kata Joko.

Toh hingga saat ini di seluruh dunia, sudah 24 operator di 20 negara yang menerapkan LTE. Vice President of Product Line Huawei Hao Guang Ming bahkan memproyeksikan implementasi 4G ini marak secara komersial pada tahun depan, waktu yang tinggal menghitung bulan.

“Kajian lembaga Informa menyebut lebih dari 35% operator seluler dunia akan merealisasikan layanan mutakhir ini meski sangat tergantung dengan kesiapan setiap operator. Tahun ini saja lebih dari 25% operator di seluruh dunia berencana menjalankan LTE,” katanya di kantor Pusat Riset dan Pengembangan Huawei di Shanghai.

Huawei sendiri mendapatkan kontrak dengan 40 operator di berbagai negara per April 2011 untuk menyediakan kebutuhan jaringan LTE ini. Mereka tersebar di Jerman, Latvia, Austria, Uzbekistan, Norwegia, Swedia, dan Polandia. Dari jumlah tersebut, 10 operator sudah komersial.

Hao Guang menilai motivasi utama operator beralih di antaranya lantaran kekuatan jaringan yang ada saat ini tak mampu lagi menampung kapasitas. Alasan lainnya, untuk mengurangi biaya, menciptakan pendapatan baru, dan membangun merek sebagai ujung tombang inovasi teknologi.

Lalu bagaimana dengan kesiapan Telkomsel? “Kami sudah serius siap menyambut ‘bayi’ ini,” tegas GM Strategic Technology Planning Telkomsel Pratignyo Arif Budiman di sela-sela jamuan makan malam itu.

Namun dia menyayangkan teknologi ini menghadapi tantangan karena belum ada regulasi yang pendukung dari pemerintah terkait dengan spektrum frekuensi yang dipakai. Teknologi ini punya banyak opsi spektrum, bisa di jalur 450 MHz (megahertz), 700 MHz, 800 MHz, hingga 2500 MHz. “Ini bukan hambatan tapi tantangan yang diharapkan pemerintah bisa mendengar itu,” katanya.

Direktur Perencanaan dan Pengembangan Telkomsel Herfini Haryono menegaskan pihaknya sangat siap dan bakal menjadi operator pertama yang mengimplementasikan LTE. Selain menggandeng Huawei, operator terbesar di Indonesia ini juga menjalin kerja sama dengan tiga vendor LTE lain yakni Nokia Siemens Networks, Ericsson, dan ZTE masing-masing diujicobakan di Pelabuhan Ratu, Bandung, Jakarta, dan Bali.

Saat ini Telkomsel punya 38.000 stasiun penerima dan penyalur transmisi (base transceiver station/BTS) di mana 8.000 unit sudah mengadopsi 3G dan setengahnya dari angka 8.000 unit itu sudah siap LTE.

Entah bagaimana nanti, tetapi jika Telkomsel yang sudah menyiapkan amunisi ini bersama dengan operator-operator lainnya mampu mengimplementasi LTE dengan baik, tentu yang positif dalam hal ini kebutuhan layanan data cepat dapat terpuaskan dengan tarif yang proporsional bagi masyarakat.

Mungkin benar apa kata penutup dari Ricardo Indra, bahwa ada tiga hal yang merubah peradaban dunia yakni agama, kebudayaan, dan terakhir bisa jadi itu adalah seluler.



Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia, edisi Selasa, 9 Agustus 2011
Foto: www.mobile88.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu

174