Reksa Dana 2011: 'Bunga' Itu Menguncup
Oleh M Tahir Saleh
Oleh M Tahir Saleh
SEBUAH buku bertajuk Strategy for Personal Finance ditulis
oleh Larry R Lang dan Thomas H Gillespie pada 1977. Buku yang diterbitkan oleh
McGraw Hill Book Company dengan sampul merah keunguan ini mengambil karikatur seorang
pria baya sebagai model.
Pria bertopi toga di sampul itu tak
kuat berjalan, terhuyung akibat terbebani buntelan dolar AS yang menggunung di
pundaknya. Melalui karikatur itu, keduanya barangkali ingin memaknai buku itu niscaya
bisa menjadi petunjuk bagi yang kebingungan mencari jalan tepat investasi.
Meski saat itu, 34 tahun lalu industri
reksa dana belum se-familiar saat
ini, Lang dan Gillespie bak ahli nujum bisa menebak tipe investor yang cocok berinvestasi
di reksa dana.
Bagi keduanya, tipe investor yang
tepat di reksa dana adalah investor yang ‘belum cukup’. Belum cukup waktu
memantau investasi, belum cukup dana, belum cukup berani mengambil risiko
investasi langsung pada saham, dan belum cukup pengetahuan di bidang keuangan
dan investasi.
Kategori investor inilah dipandang tepat
berinvestasi di reksa dana sebagaimana diungkapkan oleh Sawidji Widoatmodjo tatkala
mengutip buku Lang dan Gillespie dalam bukunya “Cara Sehat Berinvestasi di pasar
Modal” terbitan 2005.
Reksa dana atau mutual fund pada dasarnya investasi kumpulan investor dan menyebar
di sekian banyak instrument investasi misalnya saham, obligasi (korporasi dan
pemerintah), dan pasar uang. Tapi, investor hanya perlu membeli sertifikat
reksa dana yang diterbitkan oleh perusahaan manajer investasi (MI).
Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mencatat per November 2011 terdapat 80 MI yang
aktif di bisnis pengelolaan investasi ini. Mereka tidak hanya mengelola reksa
dana, juga kontrak pengelolaan dana (KPD), dan reksa dana non konvensional atau
reksa dana penyertaan terbatas (RDPT).
Dari 80 MI, total dirilis jumlah
produk mencapai 735 reksa dana dengan total data investor yang masuk mencapai 200.026
dan 2.702 investor institusi (paling banyak asuransi dan dana pensiun).
Per November 2011, nilai aktiva
bersih (NAB) reksa dana tumbuh 0,19% menjadi Rp157,76 triliun dari bulan
sebelumnya Rp157,46 triliun atau bertambah Rp300 miliar. Jumlah tersebut baru
2,18% dari PDB Indonesia dalam asumsi makro 2011 Rp7.226,9 triliun.
Kenaikan NAB itu sejalan dengan kenaikan
5% unit penyertaan dari 91,64 miliar unit menjadi 96,01 miliar unit atau
bertambah 4,37 miliar unit. Artinya terjadi pembelian atau subscribtion dalam
sebulan itu.
Jika dibandingkan dengan awal 2011 NAB
Rp136,07 triliun dan 82,70 miliar unit, baik NAB maupun unit penyertaan saat
ini masing-masing naik 15,94% dan 16%.
Belum
mekar
Di tengah asetnya yang cenderung
meningkat, investasi di reksa dana yang memang dinilai cocok bagi investor
ritel ini belum menunjukan kinerja terbaik sepanjang tahun ini. Keuntungan yang
diberikan kepada setiap investor secara rata-rata belum yang mengesankan.
Ibarat bunga, kelopaknya belum mekar
atau kuncup. Alih-alih mencetak imbal hasil (return) tinggi, rerata return-nya
ternyata masih di bawah kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) sepanjang
2011.
Meski indeks pada awal 2011 melaju
kencang, tapi pada 22 September 2011, indeks sempat merosot tajam hingga 8,88%
ke level 3.369,14 dalam satu hari perdagangan. Ini pelemahan terbesar sejak
krisis ekonomi global pada 2008.
Berdasarkan data PT Infovesta Utama,
reksa dana jenis saham misalnya. Jika sepanjang 2010 lalu, jenis ini mencetak
rerata return hingga mencapai 30,63%, terutama ditunjang oleh kenaikan IHSG mencapai
46,13%.
Akan tetapi sejak Januari 2011--November
2011 rerata return jenis ini (baik konvensional maupun syariah) ternyata minus 4,35%
jauh di bawah kinerja IHSG yang positif 0,31%. Tentu tak semua negatif bernasib sama
dengan reksa dana saham.
Reksa dana pendapatan tetap, reksa
dana ETF (exchange traded fund--reksa dana yang diperdagangkan di bursa efek), dan
reksa dana pendapatan tetap berbasis dolar AS justru membukukan kinerja
positif.
Rerata return reksa dana pendapatan
tetap sebesar 9,20% pada periode 10 bulan tersebut. Bahkan dari 74 produk jenis
ini, semuanya mencetak return positif dengan 52 produk positif satu digit,
sedangkan 22 return dua digit.
ETF juga mencetak return rerata positif
3,47% dari empat produk dan reksa dana pendapatan tetap berbasis dolar AS mencetak
return rerata 2,21% dari 11 produk.
Infovesta juga mencatat, imbal hasil
tertinggi reksa dana saham sempat terjadi pada 2009 tatkala return-nya mencapai
80% setahun. Bahkan, beberapa di antaranya mencetak return di atas 150%
setahun.
Sejumlah analis dan fund manager
menilai imbas sentimen krisis utang di Eropa tak bisa dilepaskan menjadi salah
satu pengaruh terkuat atas pergerakan indeks di Bursa Efek Indonesia sehingga
eksesnya juga menimpa industri reksa dana. Kondisi ini membuat kinerja reksa
dana nyatanya tak bisa maksimal pada 2011.
Tahun depan, 2012, Infovesta juga
memperkirakan imbal hasil reksa dana saham bakal berada pada level positif
antara 18%--20% sejalan dengan asumsi indeks antara 4.600--4.700 meski hingga
akhir 2011 ini kemungkinan negatif secara rerata setahun.
Sejumlah pelaku pasar dan MI juga
memandang reksa dana berbasis saham masih akan menjadi salah satu jenis prospektif
bagi investor pada 2012.
Sejauh ini, selain beberapa MI yang
sudah merilis reksa dana saham, salah satu MI yang cukup menggebrak pasar
adalah PT Indo Premier Investment Management yang mempekuat jenis ETF ketika
meluncurkan ulang Reksa
Dana Premier ETF LQ-45. Kehadiran jenis reksa dana baru tentu diharapkan
membuka spektrum portofolio baru.
Bapepam-LK sendiri menilai rasio masyarakat Indonesia berinvestasi masih rendah
dibandingkan dengan negara lain. “Rasio menabung dan investasi di kita jauh
lebih rendah, di negara lain tingkat investasi cukup tinggi, artinya peluang
reksa dana tumbuh cukup besar,” begitu kata Djoko Hendratto, Kepala Biro
Pengelolaan Investasi Bapepam-LK.
Bisa dihitung karena dari
data investor sebanyak 200.026 itu baru 0,08% dari total penduduk Indonesia,
ceruk yang cukup lebar. Dala situs resminya, regulator juga mendedahkan profil
investor yang cukup beragam.
Dari latar belakang pendidikan
investor sarjana mencapai 59,3%, disusul oleh SMA/SMK 16,4%, dan pasca
sarjana/S2 9,6%. Mengangetkan adalah investor berpendidikan SD berkontribusi
1,7% lebih besar ketimbang lulusan S3 atau doktor 1,5%.
Dari sisi pekerjaan, paling dominan
adalah pegawai swasta 39,6%, disusul wiraswasta 19,8%, dan pekerjaan lain
16,5%. Ibu rumah tangga juga cukup besar 10,6% dibandingkan dengan BUMN//pegawai
negeri sipil 2,3%.
Untuk penghasilan paling dominan
berasal dari investor dengan penghasilan di bawah 10 juta (29,2%) disusul 100
juta—500 juta (24,1%) dan 50 juta—100 juta (20,5%). Status menikah juga paling
banyak berinvestasi yakni 68,6% disusul lajang 24,1% dan janda dua 7,3%.
Ke depan daya beli masyarakat
Indonesia cukup kuat sehingga pelaku pasar memperkirakan pertumbuhan industri
reksa dana sekitar 15% pada 2012 dengan asumsi-asumsi makro yang kuat.
Sayangnya salah satu kendala yang
dihadapi industri adalah distribusi reksa dana yang belum merata. Regulator
menunjukan dari total 200.026 data investor masuk, dari Jakarta mencapai 42.626
(21,3%), Jawa Barat 19.560 (9,7%), Jawa Timur 15.235 (7,6%), Sumatra Utara
8.671 (4,3%), Jawa Tengah 6.437 (3,2%), Banten 4.915 (2,4%), dan lainnya.
Dalam catatan Asosiasi Pengelola
Reksa Dana Indonesia (APRDI) bahkan dari total NAB reksa dana, sebanyak 80%
terkumpul di wilayah Jakarta, sementara kontribusi wilayah lain kecil sekali.
Dari jumlah 80% tersebut, 90%
merupakan kontribusi pemasaran dari perbankan sehingga asosiasi ini sempat
mengusulkan agar penasehat keuangan independen bisa menjadi salah satu
distributor produk reksa dana. Tapi, usulan ini masih diakomodasi meski
Bapepam-LK mengisyaratkan menolak.
Saat ini, Bapepam-LK dalam proses
merevisi 13 peraturan terkait dengan pengelolaan investasi termasuk merevisi
Peraturan No.V.B3 tentang Pendaftaran Agen Penjual Efek Reksa Dana. Diharapkan
dengan revisi ini industri akan semakin berkembang mengingat dana-dana investor
jangka panjang asing menunggu masuk ke Indonesia pasca investment grade.
Atas dasar itu, tentu reksa dana
memiliki prospek pertumbuhan yang cukup menjanjikan pada tahun depan. Sejumlah
broker juga mulai mendirikan anak usaha MI baru atau memisahkan bisnis MI-nya,
indikator peluang semakin terbuka.
Jika dengan demikian, dengan segala
prospek yang menyertainya, tentu karikatur dalam sampul buku Lang dan Gillespie
itu bisa dirubah lebih apik.
Tulisan ini terbit di harian Bisnis
Indonesia edisi akhir tahun, 30 Desember 2011
Gambar:
amacon.ca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar