![]() |
Fort Rotterdam, by Antara |
Oleh M Tahir Saleh
LUKISAN Cornelis Speelman setengah badan
terpajang di ruang utama Museum Lagaligo, Benteng Rotterdam Makassar. Gubernur Hindia—Belanda
ke-14 ini nampak angkuh memegang tongkat komando ala bangsawan Belanda.
Cornelis ditemani foto lukisan enam gubernur
Sulawesi Selatan (Sulsel) mulai dari Ahmad Lomo (1966—1978), Andi Oddang
(1978—1983) hingga gubernur yang akan maju dalam Pilkada Sulsel tahun depan,
Syahrul Yasin Limpo, berkuasa sejak 2007.
Kurun waktu 345 tahun yang lalu, setelah
penandatanganan Perjanjiaan Bongaya dengan Sultan Hasanuddin, Speelman
mengganti nama Benteng Ujung Pandang menjadi Fort Rotterdam.
Sekitar 4 tahun lalu, nasib benteng yang
didirikan oleh Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tumaparisi
Kallona pada 1545 ini menyedihkan. Kayu penopang, kusen, jendela, mulai keropos
dimakan kumbang bubuk, rayap, dan usia. Padahal inilah salah satu benteng bersejarah
kebanggaan Indonesia, Sulawesi khususnya.
Sampai akhirnya keadaan itu berubah. Saat
berkunjung ke benteng ini dari arah Pantai Losari pada bulan lalu, perubahan
itu sudah nampak.
Kerusakan benteng bergaya gothik (Eropa
abad 17) itu sirna yang tersisa hanyalah kemegahan bangunan yang lebih mirip
komplek sekolahan atau museum berwarna segar merah dan krem . Wajar karena
benteng ini ternyata direvitalisasi atau dipugar.
“Dulu tak begini, kini sudah rapih, soal
kebersihan tanggung jawab saya. SK saya masuk di BP3 Makassar itu tahun 1993,”
tutur Haeruddin, arkeolog benteng itu, 29 Juni lalu. Sebelum di Makassar, dia pernah
menjadi koordinator arkeolog di Museum Provinsi Banten.
Benteng ini memang direnovasi guna
memperbaiki kerusakan secara keseluruhan. Tujuannya menjadikan bangunan ini menjadi
salah satu situs budaya percerminan nilai sejarah di provinsi Celebes itu.
Tahap pertama revitalisasi dilakukan pada
2010. Benteng yang sempat dijadikan asrama tentara pada tahun 70-an itu menelan
dana negara Rp10 miliar. Pemugaran dilakukan di bagian dalam, peremajaan kayu
dan pengecatan.
Tahap kedua 2011, dianggarkan Rp24,3 miliar
untuk konstruksi bangunan, pembuatan kanal samping kiri benteng, dan pembuatan
taman. Kanal itu, meski belum tuntas seluruhnya, sudah bisa dinikmati persis di
belakang Gedung M Fort Rotterdam.
Data berbeda diungkapkan Pemprov Sulsel
per 8 Agustus 2011 dalam situsnya. Tahap pertama adalah pembersihan gedung
Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) dan dijadikan taman seluas
5.000 meter persegi dengan anggaran Rp10 miliar.
Tahap kedua, anggaran mencapai Rp27
miliar dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (kini Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif). Soal data ini baik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kebudpar)
Sulsel maupun Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Sulsel tak
memberikan data ditel.
Kepala Pokja Pemugaran BP3 Sulsel Muh Agustino
mengungkapkan asal mula ide revitalisasi dari Dinas Kebudpar Sulsel. Ide itu
lantas dikoordinasikan dengan BP3 sebagai pengelola cagar budaya, dananya dari
APBN.
Pemugaran kecil-kecilan, kata Agustino, sebetulnya
acap dilakukan setiap ada kerusakan tapi revitalisasi besar—besaran baru pada 2010.
Ada enam bangunan yang dikerjakan yakni Gedung A, B, C, M, N, dan 0 dari total
16 bangunan.
Sisanya tahun lalu, seluruh bangunan
dikerjakan termasuk pemugaran dan pengembalian bentuk asli gedung Societeit de
Harmonie (Dewan Kesenian Sulsel). Gedung ini termasuk wilayah Benteng
Rotterdam, di sinilah tempat pertemuan dan dansa bagi none-none Belanda.
Letaknya persis di depan gedung RRI Makassar.
“Kami hanya membantu data, yang atur kan
sudah ada dari Dinas Kebudpar, tender mereka. Tetapi tetap pengawasan di kami,
walaupun dia punya kontraktor, kalau ada yang salah pengerjaan kami awasi,”
ujarnya, pada 29 Juni.
Baginya, inti sistem pemugaran mesti mengacu
pada UU No.11/2010 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) yang menyatakan rekonstruksi
bangunan BCB tak bisa merubah bentuk, ukuran, tata letak, dan warna bahan.
Namun perbedaan angka dan aroma ketidaktransaparan
revitalisasi itu pun akhirnya tercium sebagian pihak. Bahkan, laporan
kerurigaan itu sudah sampai ke meja Kejaksaan Tinggi Sulsel dan Barat
(Sulselbar).
Bidikannya ialah rekanan pemerintah dalam
revitalisasi itu; PT Graha Makmur Jaya Perkasa dan Kepala Dinas Kebudpar Sulsel
Syuaib Mallombasi.
Dugaannya adalah kejanggalan pada bagian
interior ruangan, kekurangan volume pada pekerjaan termasuk pergantian atap dan
konstruksi bangunan yang menimbulkan penggelembungan anggaran.
Sumbangan
Belanda
Benar tidak dugaan itu, Kepala Seksi Penerangan
Hukum Kejati Sulselbar Nur Alim Rachim, ketika ditemui pada 27 Juni lalu, menegaskan
penyelidikan masih berjalan.
Sayang, dia menolak membeberkan si
pelapor. Nur juga bungkam soal siapa tim ahli yang ditunjuk meski Asisten
Pidana Khusus Kejati Sulselbar Chaerul Amir sebelumnya sempat membeberkan tim itu
adalah Politeknik Negeri Ujung Pandang.
“Saya minta maaf dalam wawancara ini ada
beberapa hal yang tidak bisa saya sebutkan supaya Ade’ juga bisa mengerti
posisi kami,” katanya.
Jika ada indikasi pidana berdasarkan pemeriksaan
tim ahli, pihaknya berani menaikan status dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Setelah itu, Kejati akan memanggil pihak terkait, menelusuri proses pengesahan,
pengelolaan keuangan, pertanggungjawaban, hingga tahap serah terima. Setidaknya,
katanya, butuh 1—2 bulan ke depan untuk mengetahui hasilnya.
“Bagaimanana pun De’ itu bangunan lama,
mana luas lagi,” katanya.
Ditemui kembali pada Senin, 23 Juli, Nur
mengungkapkan data baru. Ada informasi sumbangan Pemerintah Kota Rotterdam,
Belanda dalam revitalisasi itu. Pihaknya berjanji mengusut tuntas kemungkinan
penyalahgunaan dana. “Kami berencana memanggil konsulat Belanda,” tegasnya.
Nur mengatakan hasil sementara yang
diterima penyidik dari tim ahli baru membahas soal kurangnya volume pekerjaan
untuk bagian struktur bangunan. “Revitalisasi hampir semua bangunan Fort tidak
sesuai dengan isi kontrak, tapi pemeriksaan masih berlangung, bersabar saja,”
ungkapnya.
DPRD Sulsel pun tak tinggal diam soal
ini. Paulus L Tandiongan, Anggota DPRD Komisi E—membawahi kesejahteraan rakyat
termasuk pariwisata dan budaya—berjanji bakal memanggil pihak yang terlibat
dalam revitalisasi Fort Rotterdam.
“Kami tengah pelajari soal Fort. Kami
akan panggil mereka soal ini karena memang ada laporan ada ketidakberesan dalam
revitalisasi itu, apakah benar demikian,” tegas polikikus Partai Damai
Sejahtera ini pada awal Juli.
Namun hingga pekan ini, belum ada
informasi berarti dari pemanggilan pihak—pihak tersebut. Pada 2 Juli lalu, Syuaib
Mallombasi berjanji menyediakan waktu wawancara di kantornya di Gedung MULO
Makassar. Namun saat sampai, ujug—ujug,
stafnya membatalkan. “Maaf Bapak belum bisa diwawancara, nanti saya hubungi,”
kata A, staf pribadinya.
Adalah nasib yang mempertemukan kami
saat dia mendampingi Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo dalam acara penempelan
stiker “South Sulawesi 2012 di Taksi Bosowa, di Fort Rotterdam, 10 Juli.
Ide revitalisasi diakui dari Dinas Kebudpar
yang dilanjutkan dengan penunjukan rekanan. Total dana dari APBN. Tapi
revitalisasi, baginya, bukan hal mudah mengingat ketersediaan bahan.
“Itu diamenter kayu 60 cm x 60 cm engga boleh disambung itu, coba Bapak
bayangin untuk atap saja di Jawa sekarang tinggal satu yang produksi, sulit
itu,” katanya.
“[Soal mark-up], tak ada itu. Dana
[revitalisasi] yang ada saja engga
cukup,” tegasnya. Pada 23 Juli, Syuaib juga membantah adanya dukungan dana dari
Pemerintah Belanda. “Saya tegaskan tak ada bantuan dari Belanda,” katanya.
Jawaban Syuaib ingin menegaskan bahwa aroma
tak sedap dari Fort Rotterdam itu tidak benar meski Kejati sudah mendapatkan
petunjuk adanya ketidaksesuaian realisasi dengan isi kontrak. Apalagi sayup-sayup
terdengar ada yang mengaitkan tuduhan penggelembungan anggaran itu terkait
dengann Pemilukada Sulsel tahun depan.
Syuaib dikenal sebagai salah satu
pendukung Gubernur Syahrul Yasin Limpo yang akan maju bersama pasangannya Wakil
Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu’mang.
Meski Syuaib tidak berani membantah atau
membenarkan hal itu. “Wallahu ‘alam [Allah
Maha Tahu] yah kalau soal itu [politik],” katanya.
**
Potret
pengelolaan pariwisata Sulsel
Fort Rotterdam, dalam hal pariwisata,
bukanlah satu—satunya objek wisata dan budaya di Sulsel. Objek lain di antaranya
Air Terjun Bantimurung, Benteng Somba Opu, Tana Toraja, hingga Taman Laut
Takabonerate.
Tetapi dugaan penggelembungan anggaran revitalisasi
Fort Rotterdam seakan menjadi potret betapa tak mudah bagi Pemprov Sulsel
merealisasikan target program pariwisata.
Tahun ini, Pemprov Sulsel membidik target
4,5 juta wisawatan dalam negeri dan 100.000 wisatawan asing. Gubernur Sulsel pun
jauh—jauh hari mempromosikan program “Visit South Sulawesi 2012” hingga ke
Bandara Changi, Singapura.
Tahun lalu, 3 juta wisatawan dalam
negeri dan 65.000 wisatwan asing menyambangi Sulsel, bandingkan dengan 2010,
wisatawan lokal baru 2,1 juta dan 42.371 wisatawan luar negeri. Namun soal ini
para birokrat Sulsel lupa, realitas di lapangan ternyata jauh panggang dari
api.
Simak saja kondisi di Bandara
Internasional Sultan Hasanuddin. Sebagai pintu masuk wisatawan, tak ada satu
pun brosur—brosur atau peta Sulsel tersebar di bandara senilai Rp600 miliar
lebih itu. Alur check-in juga belum
rapih ditambah lagi masih menyemutnya mobil di drop zone.
Parahnya lagi, sampai saat ini Pemprov
Sulsel ternyata belum membentuk badan promosi pariwisata sebagai amanat dari Pasal
36 UU No.10/2009 tentang kepariwisataan.
Direktur Eksekutif Badan Promosi
Pengembangan Pariwisata Makassar (BP3M) Nico B Pasaka menilai pengelolaan
pariwisata Pemprov Sulsel masih kalah, bahkan dibandingkan dengan Pemkot
Makassar yang sudah membentuk BP3M sebagai badan promosi.
“Mestinya amanat UU dibentuk BP3
Provinsi tetapi sampai saat ini belum ada di tingkat provinsi, malah Pemkot yang
lebih sadar lebih dahulu,” kata Niko yang juga Koordinator Wilayah KTI
Association of The Indonesia Tours and Travel (Asita) ini.
Dia mengatakan biaya promosi pariwisata
Makassar yang dilakukan BP3M ditopang oleh 3% dari pendapatan asli daerah (PAD)
yang bersumber dari 10% pajak pengunjung hotel dan restoran. Tahun lalu dana
PAD itu ditargetkan Rp58 miliar tapi realisasinya mencapai Rp78 miliar.
“Nah
3% disalurkan oleh dinas kepada kami untuk promosi. Tahun ini kami perkirakan PAD
dari pajak hotel dan restoran bisa mencapai lebih Rp100 miliar karena tingkat
hunian hotel kan sudah di atas 80%,” katanya.
Jujur, meski anggaran kurang, baginya
yang terpenting bagaimana Makassar bisa menjadi daerah tujuan utama. Dia
mencontohkan selama ini, terdapat 12 pulau di depan Makassar yang belum
dimaksimalkan menjad wisata bahari, hanya dikunjungi.
Keterbatasan anggaran juga dikeluhkan Muh
Agustino. Asal tahu, BP3 Sulsel juga mengurus situs di dua provinsi lain; Sulawesi
Barat dan Sulawesi Tenggara. Tak ayal, anggaran mesti dialokasikan ke puluhan
situs di tiga provinsi itu.
“Paling banyak Rp2 miliar, itu juga
kalau dapat. Itu dibagi semua situs. Kalau diperiksa [soal Fort] silahkan,”
tantang alumnus Tehnik Sipil UKI Paulus Makassar ini.
Isu revitalisasi Fort Rotterdam seperti
menjadi tamparan bagi Pemprov Sulsel mengevaluasi sejauh mana keberhasilan program
pariwisatanya dan pengelolaan situsnya.
Meski Gubernur Sulsel Syahrul Yasin
Limpo menegaskan selama ini promosi berjalan dengan baik. Badan promosi memang
belum terbentuk tetapi pihaknya sudah membentuk badan lain setara dengan itu khusus
yang menjalankan program “Visit South Sulawesi 2012”.
“Saya kira, badan-nya sudah ada,
sekarang proses untuk penyesuaian nomenklaur [nama] aja dirubah, Saya kira yang
ada saat ini kurang lebih sama badannya. Kalau promosi sudah lama kami dilakukan.,”
kata Syahrul, 10 Juli.
Menurut dia memang dalam aturan baru
mesti ada badan khusus untuk promosi lintas sektor di mana anggarannya sudah
disiapkan tetapi tidak bisa terburu-buru tanpa perencanaan. “Tidak bisa
buru—buru. Kalau Makassar lebih bisa memasarkan pariwisata itu karena resource ada di sini,” tegasnya.
Di luar permasalahan anggaran, belum terbentuknya
badan pariwisata provinsi, dan kurang maksimalnya pengelolaan infrastruktur penunjang
wisata, Direktur Lembaga Peduli Sosial Ekonomi, Budaya dan Hukum (LP-Sibuk)
Djusman AR tetap meminta Kejati fokus.
“Kami tetap mendesak agar instansi
terkait dalam hal ini Kejaksaan Tinggi Sulselbar dapat menyelesaikan itu [Fort
Rotterdam], dugaannya memang ada, Bagaimana bisa mendorong pariwisata tetapi
belum transparan,” katanya.
Di sisi lain, bagi Nico B Pasaka, tak
ada yang salah dengan revitalisasi. Justru itu langkah baik guna meningkatkan kualitas
benteng menjadi objek utama wisata. Namun selayaknya, jika ada dugaan penyelewengan
perlu pembuktian secara benar.
Dugaan itu tentu perlu dibuktikan tapi jangan
sampai mengganggu sektor pariwisata yang diharapkan menjadi salah satu
komoditias utama bagi devisa negara. Jika wisata dikelola dengan baik, bukan tak
mungkin menjadi kontributor utama devisa.
Dan tentu, sebelum Pemprov Sulsel lebih
jauh berkoar soal promosi, kiranya benahi terlebih dahulu pengelolaan wisata
karena pariwisata berhubungan erat dengan jasa, layanan.
Jangan sampai pengunjung yang ngebet melihat lukisan Cornelis Speelman dan penjara Pangeran Dipenegoro di Fort Rotterdam justru tak tertarik lagi untuk kembali.(tahir.saleh@bisnis.co.id)
Jangan sampai pengunjung yang ngebet melihat lukisan Cornelis Speelman dan penjara Pangeran Dipenegoro di Fort Rotterdam justru tak tertarik lagi untuk kembali.(tahir.saleh@bisnis.co.id)
Dimuat di situs online-www.bisnis-kti.com, 26 Juli 2012
Words 1.892
Tidak ada komentar:
Posting Komentar