Kamis, 26 Juli 2012

Aroma Tak Sedap di Benteng Rotterdam

Fort Rotterdam, by Antara
Oleh M Tahir Saleh


LUKISAN Cornelis Speelman setengah badan terpajang di ruang utama Museum Lagaligo, Benteng Rotterdam Makassar. Gubernur Hindia—Belanda ke-14 ini nampak angkuh memegang tongkat komando ala bangsawan Belanda.

Cornelis ditemani foto lukisan enam gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) mulai dari Ahmad Lomo (1966—1978), Andi Oddang (1978—1983) hingga gubernur yang akan maju dalam Pilkada Sulsel tahun depan, Syahrul Yasin Limpo, berkuasa sejak 2007.

Kurun waktu 345 tahun yang lalu, setelah penandatanganan Perjanjiaan Bongaya dengan Sultan Hasanuddin, Speelman mengganti nama Benteng Ujung Pandang menjadi Fort Rotterdam.

Itu terjadi tatkala Kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda pada 18 November 1667 seperti tertulis dalam lembaran sejarah singkat benteng. Nukilan sejarah ini pun diceritakan oleh Rimba Alam A Pangerang dalam bukunya Sejarah Kerajaan di Sulawesi Selatan, terbitan 2009.

Sekitar 4 tahun lalu, nasib benteng yang didirikan oleh Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tumaparisi Kallona pada 1545 ini menyedihkan. Kayu penopang, kusen, jendela, mulai keropos dimakan kumbang bubuk, rayap, dan usia. Padahal inilah salah satu benteng bersejarah kebanggaan Indonesia, Sulawesi khususnya.

Sampai akhirnya keadaan itu berubah. Saat berkunjung ke benteng ini dari arah Pantai Losari pada bulan lalu, perubahan itu sudah nampak.

Kerusakan benteng bergaya gothik (Eropa abad 17) itu sirna yang tersisa hanyalah kemegahan bangunan yang lebih mirip komplek sekolahan atau museum berwarna segar merah dan krem . Wajar karena benteng ini ternyata direvitalisasi atau dipugar.

“Dulu tak begini, kini sudah rapih, soal kebersihan tanggung jawab saya. SK saya masuk di BP3 Makassar itu tahun 1993,” tutur Haeruddin, arkeolog benteng itu, 29 Juni lalu. Sebelum di Makassar, dia pernah menjadi koordinator arkeolog di Museum Provinsi Banten.

Benteng ini memang direnovasi guna memperbaiki kerusakan secara keseluruhan. Tujuannya menjadikan bangunan ini menjadi salah satu situs budaya percerminan nilai sejarah di provinsi Celebes itu.

Tahap pertama revitalisasi dilakukan pada 2010. Benteng yang sempat dijadikan asrama tentara pada tahun 70-an itu menelan dana negara Rp10 miliar. Pemugaran dilakukan di bagian dalam, peremajaan kayu dan pengecatan.

Tahap kedua 2011, dianggarkan Rp24,3 miliar untuk konstruksi bangunan, pembuatan kanal samping kiri benteng, dan pembuatan taman. Kanal itu, meski belum tuntas seluruhnya, sudah bisa dinikmati persis di belakang Gedung M Fort Rotterdam.

Data berbeda diungkapkan Pemprov Sulsel per 8 Agustus 2011 dalam situsnya. Tahap pertama adalah pembersihan gedung Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) dan dijadikan taman seluas 5.000 meter persegi dengan anggaran Rp10 miliar.

Tahap kedua, anggaran mencapai Rp27 miliar dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (kini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif). Soal data ini baik Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kebudpar) Sulsel maupun Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Sulsel tak memberikan data ditel.

Kepala Pokja Pemugaran BP3 Sulsel Muh Agustino mengungkapkan asal mula ide revitalisasi dari Dinas Kebudpar Sulsel. Ide itu lantas dikoordinasikan dengan BP3 sebagai pengelola cagar budaya, dananya dari APBN.

Pemugaran kecil-kecilan, kata Agustino, sebetulnya acap dilakukan setiap ada kerusakan tapi revitalisasi besar—besaran baru pada 2010. Ada enam bangunan yang dikerjakan yakni Gedung A, B, C, M, N, dan 0 dari total 16 bangunan.

Sisanya tahun lalu, seluruh bangunan dikerjakan termasuk pemugaran dan pengembalian bentuk asli gedung Societeit de Harmonie (Dewan Kesenian Sulsel). Gedung ini termasuk wilayah Benteng Rotterdam, di sinilah tempat pertemuan dan dansa bagi none-none Belanda. Letaknya persis di depan gedung RRI Makassar.

“Kami hanya membantu data, yang atur kan sudah ada dari Dinas Kebudpar, tender mereka. Tetapi tetap pengawasan di kami, walaupun dia punya kontraktor, kalau ada yang salah pengerjaan kami awasi,” ujarnya, pada 29 Juni.

Baginya, inti sistem pemugaran mesti mengacu pada UU No.11/2010 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) yang menyatakan rekonstruksi bangunan BCB tak bisa merubah bentuk, ukuran, tata letak, dan warna bahan.

Namun perbedaan angka dan aroma ketidaktransaparan revitalisasi itu pun akhirnya tercium sebagian pihak. Bahkan, laporan kerurigaan itu sudah sampai ke meja Kejaksaan Tinggi Sulsel dan Barat (Sulselbar).

Bidikannya ialah rekanan pemerintah dalam revitalisasi itu; PT Graha Makmur Jaya Perkasa dan Kepala Dinas Kebudpar Sulsel Syuaib Mallombasi.

Dugaannya adalah kejanggalan pada bagian interior ruangan, kekurangan volume pada pekerjaan termasuk pergantian atap dan konstruksi bangunan yang menimbulkan penggelembungan anggaran.

Sumbangan Belanda
Benar tidak dugaan itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulselbar Nur Alim Rachim, ketika ditemui pada 27 Juni lalu, menegaskan penyelidikan masih berjalan.

Sayang, dia menolak membeberkan si pelapor. Nur juga bungkam soal siapa tim ahli yang ditunjuk meski Asisten Pidana Khusus Kejati Sulselbar Chaerul Amir sebelumnya sempat membeberkan tim itu adalah Politeknik Negeri Ujung Pandang.

“Saya minta maaf dalam wawancara ini ada beberapa hal yang tidak bisa saya sebutkan supaya Ade’ juga bisa mengerti posisi kami,” katanya.

Jika ada indikasi pidana berdasarkan pemeriksaan tim ahli, pihaknya berani menaikan status dari penyelidikan menjadi penyidikan. Setelah itu, Kejati akan memanggil pihak terkait, menelusuri proses pengesahan, pengelolaan keuangan, pertanggungjawaban, hingga tahap serah terima. Setidaknya, katanya, butuh 1—2 bulan ke depan untuk mengetahui hasilnya.

“Bagaimanana pun De’ itu bangunan lama, mana luas lagi,” katanya.

Ditemui kembali pada Senin, 23 Juli, Nur mengungkapkan data baru. Ada informasi sumbangan Pemerintah Kota Rotterdam, Belanda dalam revitalisasi itu. Pihaknya berjanji mengusut tuntas kemungkinan penyalahgunaan dana. “Kami berencana memanggil konsulat Belanda,” tegasnya.

Nur mengatakan hasil sementara yang diterima penyidik dari tim ahli baru membahas soal kurangnya volume pekerjaan untuk bagian struktur bangunan. “Revitalisasi hampir semua bangunan Fort tidak sesuai dengan isi kontrak, tapi pemeriksaan masih berlangung, bersabar saja,” ungkapnya.

DPRD Sulsel pun tak tinggal diam soal ini. Paulus L Tandiongan, Anggota DPRD Komisi E—membawahi kesejahteraan rakyat termasuk pariwisata dan budaya—berjanji bakal memanggil pihak yang terlibat dalam revitalisasi Fort Rotterdam.

“Kami tengah pelajari soal Fort. Kami akan panggil mereka soal ini karena memang ada laporan ada ketidakberesan dalam revitalisasi itu, apakah benar demikian,” tegas polikikus Partai Damai Sejahtera ini pada awal Juli.

Namun hingga pekan ini, belum ada informasi berarti dari pemanggilan pihak—pihak tersebut. Pada 2 Juli lalu, Syuaib Mallombasi berjanji menyediakan waktu wawancara di kantornya di Gedung MULO Makassar. Namun saat sampai, ujug—ujug, stafnya membatalkan. “Maaf Bapak belum bisa diwawancara, nanti saya hubungi,” kata A, staf pribadinya.

Adalah nasib yang mempertemukan kami saat dia mendampingi Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo dalam acara penempelan stiker “South Sulawesi 2012 di Taksi Bosowa, di Fort Rotterdam, 10 Juli.

Ide revitalisasi diakui dari Dinas Kebudpar yang dilanjutkan dengan penunjukan rekanan. Total dana dari APBN. Tapi revitalisasi, baginya, bukan hal mudah mengingat ketersediaan bahan.
“Itu diamenter kayu 60 cm x 60 cm engga boleh disambung itu, coba Bapak bayangin untuk atap saja di Jawa sekarang tinggal satu yang produksi, sulit itu,” katanya.

“[Soal mark-up], tak ada itu. Dana [revitalisasi] yang ada saja engga cukup,” tegasnya. Pada 23 Juli, Syuaib juga membantah adanya dukungan dana dari Pemerintah Belanda. “Saya tegaskan tak ada bantuan dari Belanda,” katanya.

Jawaban Syuaib ingin menegaskan bahwa aroma tak sedap dari Fort Rotterdam itu tidak benar meski Kejati sudah mendapatkan petunjuk adanya ketidaksesuaian realisasi dengan isi kontrak. Apalagi sayup-sayup terdengar ada yang mengaitkan tuduhan penggelembungan anggaran itu terkait dengann Pemilukada Sulsel tahun depan.

Syuaib dikenal sebagai salah satu pendukung Gubernur Syahrul Yasin Limpo yang akan maju bersama pasangannya Wakil Gubernur Sulsel Agus Arifin Nu’mang.

Meski Syuaib tidak berani membantah atau membenarkan hal itu. “Wallahu ‘alam [Allah Maha Tahu] yah kalau soal itu [politik],” katanya.

**
Potret pengelolaan pariwisata Sulsel
Fort Rotterdam, dalam hal pariwisata, bukanlah satu—satunya objek wisata dan budaya di Sulsel. Objek lain di antaranya Air Terjun Bantimurung, Benteng Somba Opu, Tana Toraja, hingga Taman Laut Takabonerate.

Tetapi dugaan penggelembungan anggaran revitalisasi Fort Rotterdam seakan menjadi potret betapa tak mudah bagi Pemprov Sulsel merealisasikan target program pariwisata.

Tahun ini, Pemprov Sulsel membidik target 4,5 juta wisawatan dalam negeri dan 100.000 wisatawan asing. Gubernur Sulsel pun jauh—jauh hari mempromosikan program “Visit South Sulawesi 2012” hingga ke Bandara Changi, Singapura.

Tahun lalu, 3 juta wisatawan dalam negeri dan 65.000 wisatwan asing menyambangi Sulsel, bandingkan dengan 2010, wisatawan lokal baru 2,1 juta dan 42.371 wisatawan luar negeri. Namun soal ini para birokrat Sulsel lupa, realitas di lapangan ternyata jauh panggang dari api.

Simak saja kondisi di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Sebagai pintu masuk wisatawan, tak ada satu pun brosur—brosur atau peta Sulsel tersebar di bandara senilai Rp600 miliar lebih itu. Alur check-in juga belum rapih ditambah lagi masih menyemutnya mobil di drop zone.

Parahnya lagi, sampai saat ini Pemprov Sulsel ternyata belum membentuk badan promosi pariwisata sebagai amanat dari Pasal 36 UU No.10/2009 tentang kepariwisataan.

Direktur Eksekutif Badan Promosi Pengembangan Pariwisata Makassar (BP3M) Nico B Pasaka menilai pengelolaan pariwisata Pemprov Sulsel masih kalah, bahkan dibandingkan dengan Pemkot Makassar yang sudah membentuk BP3M sebagai badan promosi.

“Mestinya amanat UU dibentuk BP3 Provinsi tetapi sampai saat ini belum ada di tingkat provinsi, malah Pemkot yang lebih sadar lebih dahulu,” kata Niko yang juga Koordinator Wilayah KTI Association of The Indonesia Tours and Travel (Asita) ini.

Dia mengatakan biaya promosi pariwisata Makassar yang dilakukan BP3M ditopang oleh 3% dari pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari 10% pajak pengunjung hotel dan restoran. Tahun lalu dana PAD itu ditargetkan Rp58 miliar tapi realisasinya mencapai Rp78 miliar.

Nah 3% disalurkan oleh dinas kepada kami untuk promosi. Tahun ini kami perkirakan PAD dari pajak hotel dan restoran bisa mencapai lebih Rp100 miliar karena tingkat hunian hotel kan sudah di atas 80%,” katanya.

Jujur, meski anggaran kurang, baginya yang terpenting bagaimana Makassar bisa menjadi daerah tujuan utama. Dia mencontohkan selama ini, terdapat 12 pulau di depan Makassar yang belum dimaksimalkan menjad wisata bahari, hanya dikunjungi.

Keterbatasan anggaran juga dikeluhkan Muh Agustino. Asal tahu, BP3 Sulsel juga mengurus situs di dua provinsi lain; Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara. Tak ayal, anggaran mesti dialokasikan ke puluhan situs di tiga provinsi itu.

“Paling banyak Rp2 miliar, itu juga kalau dapat. Itu dibagi semua situs. Kalau diperiksa [soal Fort] silahkan,” tantang alumnus Tehnik Sipil UKI Paulus Makassar ini.

Isu revitalisasi Fort Rotterdam seperti menjadi tamparan bagi Pemprov Sulsel mengevaluasi sejauh mana keberhasilan program pariwisatanya dan pengelolaan situsnya.

Meski Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo menegaskan selama ini promosi berjalan dengan baik. Badan promosi memang belum terbentuk tetapi pihaknya sudah membentuk badan lain setara dengan itu khusus yang menjalankan program “Visit South Sulawesi 2012”.

“Saya kira, badan-nya sudah ada, sekarang proses untuk penyesuaian nomenklaur [nama] aja dirubah, Saya kira yang ada saat ini kurang lebih sama badannya. Kalau promosi sudah lama kami dilakukan.,” kata Syahrul, 10 Juli.

Menurut dia memang dalam aturan baru mesti ada badan khusus untuk promosi lintas sektor di mana anggarannya sudah disiapkan tetapi tidak bisa terburu-buru tanpa perencanaan. “Tidak bisa buru—buru. Kalau Makassar lebih bisa memasarkan pariwisata itu karena resource ada di sini,” tegasnya.

Di luar permasalahan anggaran, belum terbentuknya badan pariwisata provinsi, dan kurang maksimalnya pengelolaan infrastruktur penunjang wisata, Direktur Lembaga Peduli Sosial Ekonomi, Budaya dan Hukum (LP-Sibuk) Djusman AR tetap meminta Kejati fokus.

“Kami tetap mendesak agar instansi terkait dalam hal ini Kejaksaan Tinggi Sulselbar dapat menyelesaikan itu [Fort Rotterdam], dugaannya memang ada, Bagaimana bisa mendorong pariwisata tetapi belum transparan,” katanya.

Di sisi lain, bagi Nico B Pasaka, tak ada yang salah dengan revitalisasi. Justru itu langkah baik guna meningkatkan kualitas benteng menjadi objek utama wisata. Namun selayaknya, jika ada dugaan penyelewengan perlu pembuktian secara benar.

Dugaan itu tentu perlu dibuktikan tapi jangan sampai mengganggu sektor pariwisata yang diharapkan menjadi salah satu komoditias utama bagi devisa negara. Jika wisata dikelola dengan baik, bukan tak mungkin menjadi kontributor utama devisa.

Dan tentu, sebelum Pemprov Sulsel lebih jauh berkoar soal promosi, kiranya benahi terlebih dahulu pengelolaan wisata karena pariwisata berhubungan erat dengan jasa, layanan.

Jangan sampai pengunjung yang ngebet melihat lukisan Cornelis Speelman dan penjara Pangeran Dipenegoro di Fort Rotterdam justru tak tertarik lagi untuk kembali.(tahir.saleh@bisnis.co.id)

Dimuat di situs online-www.bisnis-kti.com, 26 Juli 2012
Words 1.892

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu