Oleh M Tahir Saleh
SEPOTONG iklan di koran awal pekan ini
menuntun Rudy menuntaskan kegalauannya mengenai apa itu reksa dana, produk
investasi yang belum akrab di telinga sebagian masyarakat Sulawesi Selatan.
Maklum investasi yang berhubungan dengan
istilah pasar modal ternyata belum banyak dipilih. Jangankan dipilih, membuat
masyarakat tertarik dan berminat saja butuh sosialisasi intens apalagi soal
reksa dana, saham, pasar modal, dan lainnya masih dinilai ‘mainan orang kaya’.
Karyawan DIVA Family Karaoke ini pun lantas
mendatangi Hotel Aryaduta Makassar, tempat digelarnya Pameran dan Sosialisasi
Reksa Dana yang diadakan pada 14 Juni 2012 sesuai dengan apa yang tertera dalam
iklan itu.
Mulai dari stand PT CIMB Principal Asset Management, PT Manulife Aset
Manajemen Indonesia, PT Batavia Properindo Aset Manajemen, PT Panin Asset
Management, hingga PT Trimegah Asset Management.
“Saya tadi sudah tanya—tanya ji, kebetulan saya punya rekening bank,
jadi mungkin nanti lebih mudah saya beli,” kata Rudy ditemui pada Kamis malam
(14/6). Pria yang baru bekerja 3 bulan di tempat karaoke dengan brand ambassador artis Rossa itu
mengajak koleganya untuk datang.
Ketika ditanya apa itu reksa dana, Rudy
mulai paham reksa dana adalah salah satu produk investasi. Bentuk pengelolaan
dana dari sekumpulan investor untuk berinvestasi pada instrumen—instrumen
investasi dengan cara membeli unit penyertaan.
Dana itu akan dikelola oleh MI dalam
portofolio investasi, baik saham, obligasi (surat utang), pasar uang maupun
efek atau sekuriti lain. “Di tempat saya tak ada dana pensiun, jadi saya mulai
pikir untuk ke depan, toh bisa Rp100.000 per bulan untuk investasi kan,”
katanya.
Baginya investasi tak hanya emas dan
properti meski dia mengakui belum banyak masyarakat Sulsel mahfum soal
investasi terutama berbau pasar modal atau saham. Justru paradigma keliru cukup
banyak terjadi.
Jennifer Winarso, Retail Team Leader
Trimegah Asset Management Cabang Makassar, mengakui hal itu. Dia mengatakan
tipikal investasi masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) sebetunya konservatif.
Artinya produk investasi pilihan itu
belum sampai ke ranah pasar modal tapi emas atau properti. Sebagian masyarakat
juga cenderung memillih investasi dengan embel—embel return atau imbal hasil
tinggi, tetapi mau risiko rendah. Suatu mekanisme yang tak sesuai.
Contohnya, beberapa kejadian penipuan di
Makassar soal investasi dengan iming—iming imbal hasil selangit nyatanya berbau
sangit, baik berkedok koperasi maupun berkedok investasi valuta asing (forex).
Beberapa juga menanggap unit link (asuransi jiwa plus investasi) dan reksa dana
itu sama, padahal keduanya berbeda.
“Kasian juga dengar cerita beberapa
investor kami, ada yang tertipu, duitnya dipakai untuk trading forex, dan
lain—lain, kan memang konservatif banget yah di sini,” katanya.
Paradigma
salah
Kabag Pengawasan dan Pengelolaan
Investasi di Biro Pengelolaan Investasi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam-LK) Agus Mayo menyadari butuh waktu agar investor reksa dana
di Makassar atau Sulsel bertambah.
Saat ini investor reksa dana total
nasional mencapai 150.000 orang dengan dana kelolaan Rp170 triliuun. Sebagian
besar masih di Jakarta dan Jawa Barat, juga Jawa Timur. Sulsel, masih urutan
kesekian.
“Emas masih jadi investasi besar yah,
emas itu kan di sini selain investasi juga status sosial,” kata Agus yang juga
orang asli Makassar atau Ujung Pandang ini.
Bagi Direktur PT CIMB Principal Asset
Management Reita Farianti, peningkatan investor di Sulsel sebetulnya bisa
dilakukan bersama. Rendahnya jumlah investor, katanya. karena berangkat dari
paradigm salah dan ketidakpahaman.
Paradigma salah soal reksa dana itu di
antaranya butuh biaya besar, padahal tidak. Toh ada reksa dana dengan besaran
setoran Rp100.000. Reksa dana itu sulit? Tidak, karena sudah ada MI sebagai
pengelola dan ada agen penjual (perbankan). Bagaimana dengan risiko? Apa duit
bisa hangus?
“Ini paradigma yang salah, duit nasabah
tidak disimpan dalam satu rekening menyatu tapi ada bank kustodian, terpisah,
ada perencanaan investasi, ada alokasi, dan yang bekerja sebagai MI punya
sertifikasi dari regulator,” katanya.
Dia membandingkan dana yang disimpan di
bank dengam dana tersimpan di reksa dana sangat berbeda imbal hasil. Dana
tabungan akan tergerus inflasi. “Sekali lagi, tentu tidak mudah. Saat ini baru
sosialisasi belum tahap penjualan, dan ini mesti dilakukan bersama—sama MI,”
ujar Wakil Ketua APRDI Denny Rizal Thaher menambahkan.
Tentu namanya investasi tak bisa
dilepaskan dari risiko, artinya jika ingin mendapatkan return tinggi, tentu
harus menerima risiko tinggi, sebaliknya mau risiko rendah tentu imbal hasil
juga rendah. Tinggal nanti disesuaikan jenis reksa dana yang diinginkan; reksa
dana saham, campuran, pendapatan tetap, atau pasar uang.
Tidak ada investasi yang instan,
keuntungan memerlukan perencanaan dan itu menjadi tugas MI agar
investor—investor pemula seperti Rudy tak pulang dengan pikiran galau.
Terbit di Harian Bisnis Indonesia, 19 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar