Kamis, 23 Agustus 2012

Eksotisme Karst Sungai Pute Maros

Pegunungan Karst, Maros, By Paulus Tandi Bone
Oleh M Tahir Saleh 

AWALNYA hanya rencana ke tempat wisata terkenal di Sulawesi Selatan, tepatnya ke Taman Wisata Alam Air Terjun Bantimurung, Kabupaten Maros. Jaraknya sekitar 40 km atau 60 menit dari Makassar, sekitar 30 menit dari Bandara Hasanuddin.

Tapi di tengah perjalanan, pemandu kami, fotografer Paulus Tandi Bone menantang kami berfikir ulang sebelum melanjutkan perjalanan.

“Sebelum ke Bantimurung mau nda ke dusun kecil menyusuri jalur sungai itu?" kata Paulus sambil menunjuk sungai di sisi kiri jalan, dekat sebuah jembatan. Namanya Sunga Pute, Ada beberapa perahu kecil tanpa awak bersandar di bibir sungai.

Ternyata jalur tempuh menuju Bantimurung itu juga melewati sebuah dusun kecil di wilayah Sungai Pute itu. Jalurnya searah menuju Pabrik Semen Bosowa di Maros milik keluarga Aksa Mahmud.

Kalau dari Makassar, perjalanan bisa ditempuh dengan mobil atau sepeda motor ke arah Kabupaten Maros. Bisa juga menumpang pete-pete semacam angkot di sana tetapi mesti lanjut dengan motor.

“Kalau air terjun sih biasalah, tapi kalau ke desa wah ini boleh juga, ini yang kita cari, kapan lagi," celoteh Anto, salah satu rekan dari Jakarta yang punya ide jalan-jalan siang itu. Kami berenam menunjuk Paulus sebagai pemandu.

Akhirnya kami turun, memarkir mobil di dekat sebuah warung. Paulus sibuk menelpon kawannya soal sewa perahu. Pengalamannya hunting foto membuat pria berdarah Toraja ini pahak jejak, tahu banyak tempat elok, dan kenal dengan masyarakat pemilik perahu. Yah siapa tahu bisa dapat harga miring.

Sejurus kemudian, perahu datang. Tapi membawa rombongan dari luar Sulawesi sepertinya. Seorang perempuan paruh baya bergegas melombat dari perahu, lalu menyapa kami dengan senyum. Kami balas melempar senyum. Raut wajahnya nampak sumringah sekali.
Sungai Pute, Maros By Paulus Tandi Bone
Kami menyewa perahu seharga Rp150.000 untuk jasa pulang pergi. Estimasi perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit, itu kata Paulus.

Di perahu itu ada dua orang. Satu juru kemudi di belakang, satu lagi penyeimbang, namanya Pak Idris. Tugas penyeimbang ini barulah kami tahu setelah perahu membelah sungai menuju dusun tujuan.

Beberapa kali perahu agak miring karena membawa enam orang dengan bobot babon. Anto sekitar 85 kg, Nuno 80 kg, Riantirahma proporsional sekitar 45 kg, Juanda 50 kg, sementara Paulus mengaku 70 kg, itu belum dihitung berat dua kameranya, Canon EOS 30D dan 40D. Saya sendiri ringanlah.

Sesekali Pak Idris belokan badannya agar perahu tak oleng, seperti disihir kami ikut-ikutan memiringkan badan. Seru juga.

Sungai ini belum terlihat ujungnya, airnya juga tidak begitu jernih. Begitu kedalaman air mulai pendek, mesin dipelankan, posisi perahu agak ketepian mendekati daun-daun pohon palem di sisi Sungai Pute. Kadang Pak Idris menarik—narik dedaunan itu sekedar mendorong tenaga gerak perahu.

Sepanjang perjalanan kami hanya melongo. Tempat seelok ini ada terpencil di Indonesia. Tebing-tebing batuan kapur atau Karts mengitari aliran sungai, indah nian.

Gugusan Karst menjulang tinggi di antara aliran sungai. Unik bentuknya, seperti dipahat oleh alam di atas sungai dan memberi pemandangan begitu eksotis. Di atas perahu itu juga terlihat goa—goa karena Karst juga dikenal menjadi habitat kelelawar.

Menurut informasi, Jalur Maros—Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) ini dikenal kaya keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan menjadi salah satu hotspot biodiversitas dunia. Bagi penduduk desa, Karst biasa disebut Bulu Barakka, berarti gunung penuh berkah dalam bahasa Bugis.

Paulus benar, sekitar 20 menit kami sampai di dermaga kecil. Di dekat situ sebuah plakat tertulis: “Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya 18 Unit Dengan Total Dana Rp103,69 Juta di Dusun Rammang, Rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros.”

Dusun Rammang ini ternyata masuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Lingkungan Mandiri Perdesaan (PNPM LMP)

Kurang pengelolaan
Dusun ini termasuk wilayah Desa Salenrang, salah satu dari sembilan desa di Kecamatan Bontoa.

Di dusun yang belum dialiri listri ini, tak banyak aktivitas penduduk siang itu, nampak sunyi. Kami hanya memotret gugusan Karts, rumah penduduk, sungai, rumput—rumput, padi, dan sapi. Beberapa penduduk keluar rumah, melihat kami yang tak jelas lompat—lompat kegirangan sambil difoto oleh Paulus.

Dari obrolan kami dengan Pak Idris, sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani, dan yang mencengangkan adalah transportasi utama ialah perahu atau sampan. Setiap rumah biasanya ada satu perahu.

Wisatawan di Sungai Pute, Maros By Paulus Tandi Bone
Sebetulnya jika pemerintah setempat mau dan punya visi ke depan, dusun atau desa itu bisa diberdayakan menjadi tempat wisata unggulan dan sangat bisa. Misalnya dengan membangun penginapan, mengkomersilkan penyewaan perahu, jajanan bagi turis, dan jasa guide. Toh potensi itu ada karena saat itu kami juga berpapasan dengan beberapa wisatawan asing.

Melihat keindahan panorama alamnya, pikiran kami lebih segar, semuanya masih alami. Daya tarik tempat ini utamanya pada lanskap atau pemandangan alam karena keberadaan Karst itu.

Asik berkeliling sekitar 30 menit, akhirnya kami pulang, melanjutkan perjalanan ke Bantimurung.

Di perjalanan pulang di sungai itu, kami berpapasan dengan anak-anak SD yang baru pulang sekolah. Ada yang sendiri mendayung perahu, ada pula ditemani orang dewasa. Mereka melambai—lambai, beberapa malu-malu dan melempar senyum. Paulus sigap langsung membidik momen itu.

Tak hanya anak sekolah, kami juga bersua dengan ibu—ibu di atas perahu dengan membawa hasil belanjaan dari pasar. Desa yang indah. Keunikannya membuat pengunjung merasa betah berlama-lama di situ. “Sayang ini nda dikelola, padahal potensi ada,” keluh Paulus.

Tulisan ini terbit di Tabloid Bisnis Indonesia Minggu, 5 Agustus 2012
Words: 812

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu