![]() |
Pegunungan Karst, Maros, By Paulus Tandi Bone
|
Oleh M Tahir Saleh
AWALNYA hanya rencana ke tempat wisata
terkenal di Sulawesi Selatan, tepatnya ke Taman Wisata Alam Air Terjun
Bantimurung, Kabupaten Maros. Jaraknya sekitar 40 km atau 60 menit dari
Makassar, sekitar 30 menit dari Bandara Hasanuddin.
Tapi di tengah perjalanan, pemandu kami,
fotografer Paulus Tandi Bone menantang kami berfikir ulang sebelum melanjutkan
perjalanan.
“Sebelum ke Bantimurung mau nda ke dusun
kecil menyusuri jalur sungai itu?" kata Paulus sambil menunjuk sungai di
sisi kiri jalan, dekat sebuah jembatan. Namanya Sunga Pute, Ada beberapa perahu
kecil tanpa awak bersandar di bibir sungai.
Ternyata jalur tempuh menuju Bantimurung itu juga melewati sebuah dusun kecil di wilayah Sungai Pute itu. Jalurnya searah menuju Pabrik Semen Bosowa di Maros milik keluarga Aksa Mahmud.
“Kalau air terjun sih biasalah, tapi
kalau ke desa wah ini boleh juga, ini yang kita cari, kapan lagi," celoteh
Anto, salah satu rekan dari Jakarta yang punya ide jalan-jalan siang itu. Kami
berenam menunjuk Paulus sebagai pemandu.
Akhirnya kami turun, memarkir mobil di
dekat sebuah warung. Paulus sibuk menelpon kawannya soal sewa perahu.
Pengalamannya hunting foto membuat pria berdarah Toraja ini pahak jejak, tahu
banyak tempat elok, dan kenal dengan masyarakat pemilik perahu. Yah siapa tahu
bisa dapat harga miring.
Sejurus kemudian, perahu datang. Tapi
membawa rombongan dari luar Sulawesi sepertinya. Seorang perempuan paruh baya
bergegas melombat dari perahu, lalu menyapa kami dengan senyum. Kami balas
melempar senyum. Raut wajahnya nampak sumringah sekali.
![]() |
Sungai Pute, Maros By Paulus Tandi Bone |
Kami menyewa perahu seharga Rp150.000
untuk jasa pulang pergi. Estimasi perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit,
itu kata Paulus.
Di perahu itu ada dua orang. Satu juru
kemudi di belakang, satu lagi penyeimbang, namanya Pak Idris. Tugas penyeimbang
ini barulah kami tahu setelah perahu membelah sungai menuju dusun tujuan.
Beberapa kali perahu agak miring karena
membawa enam orang dengan bobot babon. Anto sekitar 85 kg, Nuno 80 kg,
Riantirahma proporsional sekitar 45 kg, Juanda 50 kg, sementara Paulus mengaku
70 kg, itu belum dihitung berat dua kameranya, Canon EOS 30D dan 40D. Saya
sendiri ringanlah.
Sesekali Pak Idris belokan badannya agar
perahu tak oleng, seperti disihir kami ikut-ikutan memiringkan badan. Seru
juga.
Sungai ini belum terlihat ujungnya,
airnya juga tidak begitu jernih. Begitu kedalaman air mulai pendek, mesin
dipelankan, posisi perahu agak ketepian mendekati daun-daun pohon palem di sisi
Sungai Pute. Kadang Pak Idris menarik—narik dedaunan itu sekedar mendorong
tenaga gerak perahu.
Sepanjang perjalanan kami hanya melongo.
Tempat seelok ini ada terpencil di Indonesia. Tebing-tebing batuan kapur atau
Karts mengitari aliran sungai, indah nian.
Gugusan Karst menjulang tinggi di antara
aliran sungai. Unik bentuknya, seperti dipahat oleh alam di atas sungai dan
memberi pemandangan begitu eksotis. Di atas perahu itu juga terlihat goa—goa
karena Karst juga dikenal menjadi habitat kelelawar.
Menurut informasi, Jalur Maros—Kabupaten
Pangkajene Kepulauan (Pangkep) ini dikenal kaya keanekaragaman hayati
(biodiversitas) dan menjadi salah satu hotspot biodiversitas dunia. Bagi
penduduk desa, Karst biasa disebut Bulu Barakka, berarti gunung penuh berkah
dalam bahasa Bugis.
Paulus benar, sekitar 20 menit kami
sampai di dermaga kecil. Di dekat situ sebuah plakat tertulis: “Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya 18 Unit Dengan Total Dana Rp103,69 Juta di
Dusun Rammang, Rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros.”
Dusun Rammang ini ternyata masuk Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Lingkungan Mandiri Perdesaan (PNPM LMP)
Kurang
pengelolaan
Dusun ini termasuk wilayah Desa
Salenrang, salah satu dari sembilan desa di Kecamatan Bontoa.
Di dusun yang belum dialiri listri ini,
tak banyak aktivitas penduduk siang itu, nampak sunyi. Kami hanya memotret
gugusan Karts, rumah penduduk, sungai, rumput—rumput, padi, dan sapi. Beberapa
penduduk keluar rumah, melihat kami yang tak jelas lompat—lompat kegirangan sambil
difoto oleh Paulus.
Dari obrolan kami dengan Pak Idris,
sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani, dan yang mencengangkan adalah
transportasi utama ialah perahu atau sampan. Setiap rumah biasanya ada satu
perahu.
![]() |
Wisatawan di Sungai Pute, Maros By Paulus Tandi Bone |
Sebetulnya jika pemerintah setempat mau
dan punya visi ke depan, dusun atau desa itu bisa diberdayakan menjadi tempat
wisata unggulan dan sangat bisa. Misalnya dengan membangun penginapan,
mengkomersilkan penyewaan perahu, jajanan bagi turis, dan jasa guide. Toh
potensi itu ada karena saat itu kami juga berpapasan dengan beberapa wisatawan
asing.
Melihat keindahan panorama alamnya,
pikiran kami lebih segar, semuanya masih alami. Daya tarik tempat ini utamanya
pada lanskap atau pemandangan alam karena keberadaan Karst itu.
Asik berkeliling sekitar 30 menit,
akhirnya kami pulang, melanjutkan perjalanan ke Bantimurung.
Di perjalanan pulang di sungai itu, kami
berpapasan dengan anak-anak SD yang baru pulang sekolah. Ada yang sendiri
mendayung perahu, ada pula ditemani orang dewasa. Mereka melambai—lambai,
beberapa malu-malu dan melempar senyum. Paulus sigap langsung membidik momen
itu.
Tak hanya anak sekolah, kami juga bersua
dengan ibu—ibu di atas perahu dengan membawa hasil belanjaan dari pasar. Desa
yang indah. Keunikannya membuat pengunjung merasa betah berlama-lama di situ. “Sayang ini nda dikelola, padahal potensi ada,” keluh Paulus.
Tulisan ini terbit di Tabloid Bisnis Indonesia Minggu, 5 Agustus 2012
Words: 812
Words: 812
Tidak ada komentar:
Posting Komentar