![]() |
Sidang kedua Mahkamah Pelayaran soal tabrakan KM Bahuga Jaya dan Norgas Cathinka, 22/11/12 by Merdeka.com |
M. Tahir Saleh
SUARA
Sahat Marulitua Manurung mendadak berat. Perlahan suara nakhoda Kapal Motor
Bahuga Jaya ini makin pelan lalu akhirnya menghilang. Matanya mulai berkaca-kaca
sampai bulir air matanya pun jatuh.
Seorang
wanita menghampirinya sambil membawa kertas tisu.
Kenangan saat kapal penumpang jurusan Merak--Bakauheni yang tenggelam pada 26 September silam dan menewaskan tujuh penumpang itu membuatnya tak sanggup menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Mahkamah Pelayaran Kapten Utoyo Hadi. Bahuga tenggelam usai terjadi tabrakan dengan kapal tanker asal Norwegia, Norgas Cathinka di perairan Selat Sunda.
Kenangan saat kapal penumpang jurusan Merak--Bakauheni yang tenggelam pada 26 September silam dan menewaskan tujuh penumpang itu membuatnya tak sanggup menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Mahkamah Pelayaran Kapten Utoyo Hadi. Bahuga tenggelam usai terjadi tabrakan dengan kapal tanker asal Norwegia, Norgas Cathinka di perairan Selat Sunda.
“Apakah
saudara Tersangkut ingin menyampaikan sesuatu sebelum sidang ini ditutup, agar
menjadi pesan—pesan sehingga kejadian ini tidak terulang?” tanya Utoyo dalam
sidang kedua di Mahkamah Pelayaran soal tabrakan KM Bahuga Jaya dan Norgas
Cathinka, Kamis, (22/11).
“Ada,”
jawabnya.
Tapi
perlahan suaranya hilang, suasana menjadi hening dan dia pun menangis.
“Tenangkan
diri dulu, wah sedih yah, kalau memang berat untuk menyampaikan, jangan
disampaikan, nanti tertulis saja, atau tolong penasehat ahli dari Tersangkut
bisa memberikan pesan,” kata Utoyo.
Penasehat
ahli Hengky Lumenta yang mendampingi Sahat akhirnya maju menyampaikan pesan
bahwa majelis hakim perlu mempertimbangkan aspek psikologis mengapa Sahat tidak
membunyikan alarm saat tabrakan terjadi. Dia takut penumpang menjadi lebih
panik dan nekat melompat ke laut.
“Dia
[Sahat] yang paling mengerti kondisi psikologis penumpang, jadi mohon
dipertimbangkan alasan ketika tak menyalakan alarm,” kata Hengky.
Ketidakpatuhan
terhadap prosedur membunyikan alarm tanda bahaya itu terungkap saat Mahkamah
Pelayaran menggelar sidang kedua pada Kamis (22/11) bertempat di Jalan
Boulevard Gading Timur, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Sidang
pertama sudah digelar pada 20 November yang menghadirkan pihak Norgas Cathinka,
sedangkan sidang ketiga akan dilakukan pada 27 November mendatang dengan mendatangkan
pihak di luar awak kapal.
Sesuai
dengan jadwal, Mahkamah Pelayaran yang merupakan pengadilan profesi ini akan merilis
keputusan pada 11 Desember 2012 dengan hukuman bersifat administratif.
Pada
sidang Kamis itu, hadir awak Bahuga yakni Sahat Marulitua (nakhoda, ditetapkan
sebagai tersangkut) Ujang Nanang Suryana (kepala kamar
mesin, saksi,), Wahiman (masinis I, saksi), Imam Syafii (juru mudi,
saksi), Anton Harahap (juru mudi, saksi), dan Dedi
Irawan (juru minyak, saksi).
Sebanyak
empat awak dari Norgas yakni Lat Ernesto Jr Silvina (master, Tersangkut), Su
Jibing (perwira jaga, Tersangkut), He Xiao Feng (first engineer, Saksi), dan
Sioson Christian Bryan (ordinary seamen, Saksi) sudah hadir pada sidang
sebelumnya.
Dalam
sidang yang berlangsung sekitar 6 jam itu Sahat mengatakan dirinya memenuhi
prosedur pelayaran tindakan kecelakaan atau collision
regulation saat peristiwa naas itu terjadi.
“Saya
tidak menggunakan alarm karena takut penumpang nambah panik, saya ambil tiup
suling tujuh kali pendek, satu kali panjang artinya siap meninggalkan kapal
segera,” katanya.
Saat
kejadian, dirinya berada di kamar mandi. Dia merasakan benturan keras, lalu langsung
berlari ke anjungan kapal mengambilalih komando karena saat itu telah terjadi
peralihan komando ke mualim I.
Menurut
dia Bahuga layak jalan karena 3 bulan sebelumnya masuk dok untuk perbaikan. Seluruh
kelengkapan kapal sesuai dengan standar. Jumlah lifjacket, jaket pelampung, tersedia
hingga 1.110, lebih dari cukup.
Selain
itu terdapat delapan sekoci dengan kapasitas 52 orang per sekoci meski cuma hanya
satu yang bisa diturunkan di sebelah kiri kapal karena Bahuga berbenturan
dengan Norgas di sebelah kanan. Kapal tenggelam, katanya, karena ditabrak
Norgas Cathinka.
Tekanan
psikologis dan memori kejadian naas bak kapal Titanic itu juga dirasakan oleh Imam
Syafii. Saat ditanya oleh Hakim Anggota Chief Engineer Rusman Hoesein dan
Supardi, pandangan matanya kosong. Dia melamun dan sempat tidak fokus, Utoyo
akhirnya memotong pertanyaan.
“Tunggu—tunggu,
kok saudara melamun?”
“Bingung?
Inget kejadian? Kok matanya ke mana--mana kaya orang stress?
Utoyo
memintanya berdiri.
“Tarif
nafas tiga kali, tarik lagi,” kata Utoyo. Imam hanya mengikuti tanpa suara dan
anggukan kepala.
Dalam
kesaksiannya Imam bercerita sebelum tabrakan terjadi dia naik ke anjungan kapal
sekitar pukul 03.45 sebagai juru mudi pengganti Anton Harahap yang bertugas
sebelumnya, gantian.
Tugas
Imam mengemudikan kapal atas perintah nakhoda. Sesaat sebelum tabrakan terjadi
sekitar 04.45, mualim I tiba—tiba kaget adanya kapal mendekat lalu langsung berteriak
“Kiri 20, kiri Cikar [belok mendadak], tapi langkah antisipasi itu nyatanya
terlambat karena tabrakan akhirnya terjadi.
Dari
kamar mandi, Sahat yang naik ke anjungan akhirnya mengambilalih komando dari mualim
I lalu berteriak di radio sambil memberi perintah teramsuk ke Imam. Sang juru
mudi yang sudah 5 tahun bekerja di Bahuga itu akhirnya turun ke bawah member
perintah penggunakan lifejacket setelah dirinya memakai lebih dahulu.
Pascatubrukan
di haluan kanan Bahuga itu, kapal miring ke kiri, sempat kembali lagi stabil lalu
akhirnya kembali miring 20 derajat—25 derajat. Tubrukan Bahuga dan Norgas di pagi buta itu akhirnya
membuat kapal milik PT Atosim Lampung Pelayaran itu pun tenggelam.
Itulah
terakhir kalinya baik Imam dan Sahat melihat mualim I yang ikut tewas
tenggelam. (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Terbit
di Harian Bisnis Indonesia, edisi Sabtu, 24 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar