Jumat, 23 November 2012

Perempuan, Judi, dan Bisnis Pesawat

Photo By Sindonews
JUMAT lalu, 23 November, saya bertemu dengan Pak Syafei, nama lengkapnya Syafei Hadi, Senior Marketing Executive OSO Jet yang dulu namanya Enggang Air. Awalnya saya janjian ngobrol dengan Pak Harry Priyono, commercial manager-nya tapi yang bersangkutan meminta Pak Syafei yang bicara saja prospek bisnis mereka.

Obrolan kami sebetulnya berkutat soal kerja sama perusahaan dengan salah satu provinsi di ujung timur Indonesia, Papua, tapi saking enaknya ngalor ngidul soal bagaimana pengalamannya di industri penerbangan.

Pak Syafei berperawakan agak kurus, usianya mungkin lebih dari 50 tahun. Siang itu dia memakai batik dan bercelana hitam. Di wajahnya, kerutan—kerutan kecil sudah nampak, bagi saya dia mestinya sudah pensiun tapi dia masih semangat bercerita.

Dulu, 1970-an, dia bekerja di Malaysia Singapore Airlines atau MAS. Maskapai ini gabungan milik Malaysia dan Singapura. Tepatnya pada 1972, MAS masuk ke Indonesia dan dia langsung bekerja di maskapai itu.

Lalu setahun kemudian sekitar 1973, maskapai itu terpisah menjadi dua maskapai penerbangan karena Singapura saat itu mulai maju pesat, katanya didukung pendanaan wah dari Amerika.

MAS terbagi dua menjadi Malaysia Airlines (MAL) sendiri dan Singapore Airlines (SQ). Pak Syafei bergabung dengan MAL hingga berhenti pada 2005, itu kalau engga salah dengar. Dia sempat bekerja di tempat lain lalu akhirnya berlabuh di Enggang Air, perusahaan carter milik pengusaha dan politisi Osman Sapta Odang (OSO Group).

Di MAL, jabatannya cukup tinggi di Indonesia saat itu. Dia adalah satu—satunya Airport Manager orang asli Indonesia di maskapai penerbangan asing yang beroperasi di Tanah Air. “Hebat juga Pak Syafei”, kata saya.

Saat bertugas di MAL, Pak Syafei yang asli Dayak ini pernah ditugaskan ke banyak negara termasuk ke Timur Tengah guna meneliti potensi pasar pembukaan rute MAL di negara—negara tersebut.  

Dari pengalamannya selama lebih dari 30 tahun, bisnis pesawat terbang khususnya regular itu baginya bukan bisnis gampangan, penuh dana besar, penuh risiko bisa-bisa berujung pada kebangkrutan. Contohnya itu dialami oleh Adam Air.

Mungkin masih ingat, Adam Air ini salah maskapai penerbangan yang menerapkan penerbangan biaya murah atau Low Cost Carrier atau LCC. Didirikan pada 2002 oleh pengusaha dan politisi Golkar, Agung Laksono dan Sandra Ang. Adhitya Suherman menjabat presiden director dan Gunawan Suherman sebagai CEO.

“Saya salah satu penasehat waktu Adam Air didirikan, itu kawan saya, cuma saya berkali—kali bilang jangan terlalu banyak buka rute dulu, jangan serakah, fokus pada rute yang ada dulu” katanya.

Sayangnya saya lupa tanyakan yang mana sahabat dari Pak Syafei di Adam Air itu. Tapi yang jelas, Pak Syafei mendapatkan kata—kata yang mengagetkan bagi saya.

“Ada tiga hal yang cepat habisin duit, pertama’ main’ perempuan, kedua main judi, dan ketiga bisnis pesawat, ini saya dapat dari kawan saya saat Adam Air bangkrut,” katanya.

“Kenapa begitu Pak? Tanya saya.

“Loh, coba dilihat, bisnis pesawat, itu yang regular, dia buka rute yang sepi perginya ada, tapi pulangnya engga ada penumpang. Itu nutupinnya dari mana coba duit operasionalnya? Yah dari rute—rute yang penuh,” katanya.

Saat ini dunia penerbangan kita memang menjamur bisnis pesawat LCC tadi. Garuda Indonesia punya perusahaan dengan tarif lebih murah yakni Citilink, lalu Batavia Air, AirAsia, Sriwijaya Air, dan pemimpin pasar penumpang domestik saat ini, Lion Air.

Kebutuhan akan pesawat terbang kini bukan lagi bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, tapi menengah ke bawah pun mulai menggunakan pesawat, harganya kadang lebih murah dari kapal laut atau kereta.

Dari pengalamannya itu, baginya kebanyakan kita di Indoensia menempatkan safety atau keselamatan di urutan nomor dua setelah keuntungan sebesar—besarnya. Itulah kenapa dia terkadang melihat pesawat saat sudah sampai di bandara tujuan dan akan kembali lagi, tim pembersih pesawat itu masih ada ketika penumpang akan naik ke pesawat itu. Padahal waktu membersihkan pesawat itu setidaknya 1 jam.

Contoh lainnya, di MAL, katanya, terjadi insiden kaca pecah sedikit saja kena benturan awan, pesawat itu engga akan berangkat sebelum kaca yang rusaknya kecil itu diperbaiki. Ini berbeda dengan maskapai di Indonesia.

Sekarang, katanya, maskapai penerbangan Timur Tengah yakni Emirares dan Etihad sangat—sangat memperhatikan keselamatan, bahkan pemeriksaan juga dilakukan di atas pesawat saking memenuhi prosedur standar mereka.

Dari obrolan dengan Pak Syafei saya jadi tahu mengapa bisnis penerbangan itu tidak mudah. Seorang eksekutif maskapai penerbangan regular pernah bilang kalau keuntungan mereka itu saat peak season, misalnya Lebaran, Natal, Liburan, dan Tahun Baru, sisanya tipis, bisa jadi merana.

Dalam bisnis penerbangan memang sulit bicara margin atau selisih keuntungan yang diperoleh.

Saya masih ingat saat Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar bilang bahwa bisnis airlines itu memang capital intensive dan human intensive sekaligus, marginnya kecil sekali cuma 4%-5% persen, hanya penerbangan murah yang margin profitnya bisa mencapai 10%.

“Wah kalau begitu lebih enak bisnis carter dong Pak? kata saya

“Iyah enakan bisnis carter,” kata Pak Syafei.

Obrolan kami pun beralih ke soal Syiah dan Sunni, bagaimana peran Amerika dalam menambah runcingnya konflik kedua sekte Islam tersebut, atau soal penetrasi masyarakat China, hingga Jokowi—Ahok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu