Jumat, 01 Februari 2013

Elegi Batavia Air di Akhir Januari

Pesawat Batavia Air jenis Airbus A320, photo by planespotter.net
M. Tahir Saleh

RESAH dalam ketidakpastian, Nurbaiti akhirnya berangkat menuju Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru pada Kamis (31/1) pagi sekitar pukul delapan. Pegawai swasta ini ingin memastikan nasib tiket Batavia Air yang terlanjur dibeli untuk suaminya.

Sejak Rabu malam, kabar pailitnya Batavia Air membuatnya tidak tenang padahal ibu satu anak ini sudah merogok Rp850.000 saat membeli tiket Jakarta-Pekanbaru pergi pulang tertanggal 19  Januari untuk penerbangan 1 Februari dan 4 Februari 2013.

Nurbaiti membeli tiket itu di Central Tiket, salah satu agen tiket di Batam yang  bekerja sama dengan perusahaan penjual tiket penerbangan Thera Buana Travel.

Dari rumahnya di Kelurahan Labuh Baru Barat, Payung Sekaki, Pekanbaru, dia menempuh  perjalanan sekitar 30 menit menuju bandara dengan sepeda motor, tapi sungguh kecewa saat tiba di loket Batavia Air di bandara itu, tak ada petugas resmi yang bisa ditanyakan.

“Saya ke loket mereka di bandara, dijagain sama petugas, sedangkan kantor Batavia di Jalan Sudirman juga tutup, tapi calon penumpang yang datang banyak sekali,” katanya Kamis (31/1).

Dia sudah mencoba menghubungi Thera Buana sejak Rabu (30/1) malam  tetapi perusahaan travel itu mengarahkan calon penumpang supaya menghubungi perwakilan Batavia Air terdekat. Tidak ada kepastian, timbul kekecewaan karena konsumen nihil informasi resmi dari manajemen, informasi justru diperoleh dari pemberitaan media.

“Kasihan penumpang lain, juga agen—agen kecil, mereka ditanyain penumpang terus, sementara si agennya juga engga tahu nasib uang deposit-nya di Batavia gimana,” katanya.

Nasib Nurbaiti, juga menimpa ribuan calon penumpang maska pai itu di sejumlah daerah. Di Malang, calon penumpang Batavia mendatangi kantor perwakilan maskapai itu di Jalan Panglima Sudirman Kota Malang, Jawa Timur, menuntut pengembalian uang pembelian ti ket.

“Kami kecewa karena di pengumuman disebutkan jika calon penumpang agar menghubungi kurator di Jakarta untuk refund,” kata Zainal Abidin salah satu calon penumpang asal Kecamatan Sukun Kota Malang.

Silvia Eka S, Manager Yubi Tour & Travel Malang menyatakan biro perjalanan ternyata sudah menghentikan pemesanan tiket maskapai penerbangan Batavia Air sejak 2 bulan lalu.

Dia sudah mendapatkan isu terkait kepailitan maskapai penerbangan tersebut sejak 2 bulan yang lalu dan langsung menghentikan pemesanan tiket.

“Kami sudah mendengar gosipnya sejak 2 bulan yang lalu, sudah tidak menggunakan BataviaAir lagi, daripada kami nanti mendapat komplain. Penumpang juga lebih memilih menggunakan Lion Air, Sriwijaya atau Garuda Indonesia,” ujarnya.

Puluhan calon penumpang Batavia Air juga mendatangi manajemen Batavia Air Cabang Me dan. Mereka menuntut pengembalian tiket dilakukan saat itu.

Anggiat Situmorang, seorang calon penumpang Batavia Air tujuan Batam meminta agar uang tiket dikembalikan atau dialihkan dengan penerbangan lain. Sementara dari Balikpapan  dilaporkan ganti rugi tiket penumpang Batavia Air masih menggantung seiring dengan belum adanya kepastian tindakan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.

Kepala Kantor Otorita Bandara Sepinggan Wilayah VII Rustino Prawiro mengatakan pihaknya berupaya menyosialisasikan, mendata dan mengarahkan penumpang Batavia air yang telah memiliki tiket.

“Untuk sementara kami arahkan agar bisa mencari maskapai lain yang masih memiliki seat  kosong,” ujarnya Kamis (31/01).

Di Jakarta, lain lagi dengan Pauline Suharno. Ketua Bidang Tiket Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia (Astindo) ini sudah sejak Selasa (29/1) uringuringan mengkhawatirkan nasib anggotanya.

Pemberitaan gugatan pailit maskapai itu oleh perusahaan lessor pesawat International  Lease Finance Corporation (ILFC) sejak Desember membuatnya khawatir. Dia takut nasib Batavia sama dengan Adam Air dan ketakutan itu pun akhrinya menjadi nyata; Batavia Air resmi stop beroperasi per 31 Januari 2013.

“Tolong tanyakan nasib travel agent.”

Pauline tentu tak mau anggotanya bernasib sama ketika Adam Air tutup karena saat itu  duit kumulatif seluruh travel angggoa Astindio mencapai Rp16 miliar sebagai deposit tiket tersangkut.

“Kami ingin uang kami dipisahkan dari aset Batavia, pengalaman yang dulu [Adam Air], aset mereka udah abis jadi kami tidak dapat,” paparnya.

Manajemen PT Metro Batavia, operator Batavia Air, akhirnya menyatakan tutup beroperasi setelah perseroan menjalankan bisnis sejak 2002.

Awalnya maskapai ini mampu membangun reputasi sebagai maskapai lokal. Sempat mengoperasikan armada hingga 33 pesawat, bahkan melayani 42 rute penerbangan domestik dan rute internasional dari Singapura, Jeddah, Riyadh, Kuching, Dili, Guangzhou, hingga Hangzhou.

Berawal dari keinginan mengambil Airbus 330 untuk angkutan haji, akhirnya Batavia menyerah pada akhir Januari ini. Selama 3 tahun berturut-turut mereka tak mendapatkan proyek haji, padahal tunggakan pembayaran jalan terus.

“Manajemen menerima putusan pailit itu,” ujar Elly Simanjuntak, Manajer Humas Batavia Air.

TIGA KEMUNGKINAN
Dosen Manajemen Transportasi STMT Trisakti Soeharto Abdul Majid menilai alasan angkutan jemaah haji itu cenderung bermakna kesalahan Kementerian Agama.

“Yang jadi pertanyaan mengapa mereka sudah yakin dapat tender.”

Di luar itu, dia menyimpulkan tiga kemungkinan penyebab bangkrutnya maskapai penerbangan. Kesimpulan itu baginya memang patut diteliti lebih jauh mengingat sampai saat ini belum ada pola serupa, termasuk terhadap Batavia Air.

Pertama, manajemen. Orang di belakang kendali maskapai semestinya mumpuni. Kedua, kemungkinan salah urus keuangan sehingga timbul pertanyaan seberapa kuat keuangan setiap maskapai di Indonesia.

Apalagi belum ada instrumen jelas bagaimana mengetahui keuangan suatu maskapai sehat  atau tidak padahal instrument peringatan dini itu sudah disebutkan dalam UU No.1/2009 tentang Penerbangan, misalnya kewajiban berkala laporan keuangan.

“Jangan-jangan, sebagian besar [keuangan airlines] itu rapuh, padahal di UU sudah diatur airline itu wajib melapor, diaudit, itu rutin misalnya 6 bulan, nah itu dipraktikkan engga oleh pemerintah? Jadi ada instrument early warning,” tegasnya

Ketiga, berdasarkan pengalaman tutupnya Sempati Air pada 1998, dia menduga bangkrutnya bisnis airlines bisa jadi karena campur tangan orang penting di luar manajemen dan berkuasa di belakang itu semua. Oknum itu mengeruk keuntungan dari maskapai itu, tapi kesimpulan ini baginya masih misteri.

Jika ada penelitian soal faktor utama bangkrutnya maskapai, bisa ditarik kesimpulan pola peringatan awal sehingga ada mekanisme antisipasi agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi mengingat dampak turunan begitu besar, termasuk pengangguran. Berapa banyak karyawan yang diberhentikan.

Di sisi lain, salah seorang pelaku industri penerbangan menduga, prestise-nya bisnis penerbangan membuat pemilik maskapai rentan terpengaruh menjajaki bisnis lain seperti properti. Berbekal kepercayaan bank, pemilik punya keleluasaan mengelola bisnis baru dengan dana yang semestinya untuk bisnis pesawat.

Soeharto tak menampik kemungkinan itu. Namun, dia menegaskan bahwa bisnis pesawat tak boleh main—main.

“Ini bisnis kepercayaan karena mengangkut nyawa manusia yang tidak ternilai harganya, wajib prudent, engga ada toleransi kesalahan apapun,” tegasnya.

Dirjen Perhubungan Udara Ke menhub Herry Bakti S. Gumay mengakui pihaknya sudah berkali—kali memanggil manajemen Batavia Air sebelum adanya gugatan pailit. Ketika itu, manajemen maskapai itu berjanji merestrukturisasi perusahaan.

 “Pada 2011 hasil cash flow mereka bagus, audited lho. Sedangkan hasil keuangan mereka  tahun lalu kami belum tahu, kami sebetulnya sudah memanggil mereka, sudah ada antisipasi dari kami,” katanya dalam konferensi pers Rabu (30/1) malam.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Darmaningtyas mendesak Kemenhub harus  mengawal keputusan pailit itu. Dia membandingkan keputusan MK soal ditutupnya Rintisan  Sekolah Bertaraf Internasional tidak serta merta langsung ditutup, tetapi ada transisi sampai  tahun ajaran berakhir.

“Mestinya putusan pengadilan yang menyangkut kepentingan publik itu efektif ketika segala  urusan yang terkait dengan publik sudah terselesaikan dulu,” katanya.

Baginya direksi perusahaan semestinya diberi kewenengan menyelesaikan segala urusan yang berkaitan dengan pelayanan konsumen.

“Ini kan permasalahan banyak konsumen sudah terlanjur beli tiket, engga bisa terbang, dan tidak bisa refund karena sudah ditangani oleh kurator.” 

Selain itu, dia mendesak pemerintah juga sebaiknya mengontrol penjualan tiket secara jangka panjang misalnya 3 bulan-6 bulan ke depan sehingga kejadian pailitnya Batavia Air ini bisa diminimalisasi dampaknya.

Pendapat itu sepertinya mewakili perasaaan Nurbaiti pagi itu. Dia merasa tak ada harapan  baginya untuk mendapatkan refund meskipun informasi dari travel agent bisa terealisasi dalam 1 bulan

“Saya engga bisa nunggu lagi, saya terpaksa nyari penerbangan lain buat suami untuk besok, si ayah sudah kangen banget sama anaknya,” kata Nurbaiti. (/k10/k14/k17/k24/k25/Rachmad Subiyanto/Dewi Andriani/Siti Nuraisyah Dewi).

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi Jumat, 1 Februari 2013 dengan judul Elegi di Akhir Januari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu