![]() |
Pesawat Batavia Air jenis Airbus A320, photo by planespotter.net |
M. Tahir Saleh
RESAH dalam ketidakpastian, Nurbaiti
akhirnya berangkat menuju Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II
Pekanbaru pada Kamis (31/1) pagi sekitar pukul delapan. Pegawai swasta ini ingin
memastikan nasib tiket Batavia Air yang terlanjur dibeli untuk suaminya.
Sejak Rabu malam, kabar pailitnya
Batavia Air membuatnya tidak tenang padahal ibu satu anak ini sudah merogok
Rp850.000 saat membeli tiket Jakarta-Pekanbaru pergi pulang tertanggal 19 Januari untuk penerbangan 1 Februari dan 4 Februari
2013.
Nurbaiti membeli tiket itu di Central
Tiket, salah satu agen tiket di Batam yang bekerja sama dengan perusahaan penjual tiket
penerbangan Thera Buana Travel.
Dari rumahnya di Kelurahan Labuh Baru
Barat, Payung Sekaki, Pekanbaru, dia menempuh perjalanan sekitar 30 menit menuju bandara
dengan sepeda motor, tapi sungguh kecewa saat tiba di loket Batavia Air di
bandara itu, tak ada petugas resmi yang bisa ditanyakan.
“Saya ke loket mereka di bandara,
dijagain sama petugas, sedangkan kantor Batavia di Jalan Sudirman juga tutup,
tapi calon penumpang yang datang banyak sekali,” katanya Kamis (31/1).
Dia sudah mencoba menghubungi Thera
Buana sejak Rabu (30/1) malam tetapi perusahaan
travel itu mengarahkan calon penumpang supaya menghubungi perwakilan Batavia
Air terdekat. Tidak ada kepastian, timbul kekecewaan karena konsumen nihil
informasi resmi dari manajemen, informasi justru diperoleh dari pemberitaan
media.
“Kasihan penumpang lain, juga agen—agen
kecil, mereka ditanyain penumpang terus, sementara si agennya juga engga tahu
nasib uang deposit-nya di Batavia gimana,” katanya.
Nasib Nurbaiti, juga menimpa ribuan
calon penumpang maska pai itu di sejumlah daerah. Di Malang, calon penumpang Batavia
mendatangi kantor perwakilan maskapai itu di Jalan Panglima Sudirman Kota Malang,
Jawa Timur, menuntut pengembalian uang pembelian ti ket.
“Kami kecewa karena di pengumuman
disebutkan jika calon penumpang agar menghubungi kurator di Jakarta untuk
refund,” kata Zainal Abidin salah satu calon penumpang asal Kecamatan Sukun
Kota Malang.
Silvia Eka S, Manager Yubi Tour &
Travel Malang menyatakan biro perjalanan ternyata sudah menghentikan pemesanan tiket
maskapai penerbangan Batavia Air sejak 2 bulan lalu.
Dia sudah mendapatkan isu terkait
kepailitan maskapai penerbangan tersebut sejak 2 bulan yang lalu dan langsung menghentikan
pemesanan tiket.
“Kami sudah mendengar gosipnya sejak 2
bulan yang lalu, sudah tidak menggunakan BataviaAir lagi, daripada kami nanti
mendapat komplain. Penumpang juga lebih memilih menggunakan Lion Air, Sriwijaya
atau Garuda Indonesia,” ujarnya.
Puluhan calon penumpang Batavia Air
juga mendatangi manajemen Batavia Air Cabang Me dan. Mereka menuntut pengembalian
tiket dilakukan saat itu.
Anggiat Situmorang, seorang calon
penumpang Batavia Air tujuan Batam meminta agar uang tiket dikembalikan atau dialihkan
dengan penerbangan lain. Sementara dari Balikpapan dilaporkan ganti rugi tiket penumpang Batavia
Air masih menggantung seiring dengan belum adanya kepastian tindakan yang
dilakukan oleh perusahaan tersebut.
Kepala Kantor Otorita Bandara Sepinggan
Wilayah VII Rustino Prawiro mengatakan pihaknya berupaya menyosialisasikan, mendata
dan mengarahkan penumpang Batavia air yang telah memiliki tiket.
“Untuk sementara kami arahkan agar bisa
mencari maskapai lain yang masih memiliki seat kosong,” ujarnya Kamis (31/01).
Di Jakarta, lain lagi dengan Pauline
Suharno. Ketua Bidang Tiket Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia
(Astindo) ini sudah sejak Selasa (29/1) uringuringan mengkhawatirkan nasib anggotanya.
Pemberitaan gugatan pailit maskapai itu
oleh perusahaan lessor pesawat International
Lease Finance Corporation (ILFC) sejak Desember membuatnya khawatir. Dia
takut nasib Batavia sama dengan Adam Air dan ketakutan itu pun akhrinya menjadi
nyata; Batavia Air resmi stop beroperasi per 31 Januari 2013.
“Tolong tanyakan nasib travel agent.”
Pauline tentu tak mau anggotanya
bernasib sama ketika Adam Air tutup karena saat itu duit kumulatif seluruh travel angggoa
Astindio mencapai Rp16 miliar sebagai deposit tiket tersangkut.
“Kami ingin uang kami dipisahkan dari
aset Batavia, pengalaman yang dulu [Adam Air], aset mereka udah abis jadi kami tidak
dapat,” paparnya.
Manajemen PT Metro Batavia, operator
Batavia Air, akhirnya menyatakan tutup beroperasi setelah perseroan menjalankan
bisnis sejak 2002.
Awalnya maskapai ini mampu membangun reputasi
sebagai maskapai lokal. Sempat mengoperasikan armada hingga 33 pesawat, bahkan melayani
42 rute penerbangan domestik dan rute internasional dari Singapura, Jeddah,
Riyadh, Kuching, Dili, Guangzhou, hingga Hangzhou.
Berawal dari keinginan mengambil Airbus
330 untuk angkutan haji, akhirnya Batavia menyerah pada akhir Januari ini. Selama
3 tahun berturut-turut mereka tak mendapatkan proyek haji, padahal tunggakan
pembayaran jalan terus.
“Manajemen menerima putusan pailit
itu,” ujar Elly Simanjuntak, Manajer Humas Batavia Air.
TIGA KEMUNGKINAN
Dosen Manajemen Transportasi STMT
Trisakti Soeharto Abdul Majid menilai alasan angkutan jemaah haji itu cenderung
bermakna kesalahan Kementerian Agama.
“Yang jadi pertanyaan mengapa mereka sudah
yakin dapat tender.”
Di luar itu, dia menyimpulkan tiga
kemungkinan penyebab bangkrutnya maskapai penerbangan. Kesimpulan itu baginya memang
patut diteliti lebih jauh mengingat sampai saat ini belum ada pola serupa, termasuk
terhadap Batavia Air.
Pertama, manajemen. Orang di
belakang kendali maskapai semestinya mumpuni. Kedua, kemungkinan salah urus keuangan sehingga timbul pertanyaan
seberapa kuat keuangan setiap maskapai di Indonesia.
Apalagi belum ada instrumen jelas
bagaimana mengetahui keuangan suatu maskapai sehat atau tidak padahal instrument peringatan dini
itu sudah disebutkan dalam UU No.1/2009 tentang Penerbangan, misalnya kewajiban
berkala laporan keuangan.
“Jangan-jangan, sebagian besar
[keuangan airlines] itu rapuh, padahal di UU sudah diatur airline itu wajib
melapor, diaudit, itu rutin misalnya 6 bulan, nah itu dipraktikkan engga oleh pemerintah?
Jadi ada instrument early warning,” tegasnya
Ketiga, berdasarkan
pengalaman tutupnya Sempati Air pada 1998, dia menduga bangkrutnya bisnis
airlines bisa jadi karena campur tangan orang penting di luar manajemen dan
berkuasa di belakang itu semua. Oknum itu mengeruk keuntungan dari maskapai
itu, tapi kesimpulan ini baginya masih misteri.
Jika ada penelitian soal faktor utama
bangkrutnya maskapai, bisa ditarik kesimpulan pola peringatan awal sehingga ada
mekanisme antisipasi agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi mengingat
dampak turunan begitu besar, termasuk pengangguran. Berapa banyak karyawan yang
diberhentikan.
Di sisi lain, salah seorang pelaku
industri penerbangan menduga, prestise-nya bisnis penerbangan membuat pemilik maskapai
rentan terpengaruh menjajaki bisnis lain seperti properti. Berbekal kepercayaan
bank, pemilik punya keleluasaan mengelola bisnis baru dengan dana yang
semestinya untuk bisnis pesawat.
Soeharto tak menampik kemungkinan itu.
Namun, dia menegaskan bahwa bisnis pesawat tak boleh main—main.
“Ini bisnis kepercayaan karena
mengangkut nyawa manusia yang tidak ternilai harganya, wajib prudent, engga ada toleransi kesalahan
apapun,” tegasnya.
Dirjen Perhubungan Udara Ke menhub
Herry Bakti S. Gumay mengakui pihaknya sudah berkali—kali memanggil manajemen
Batavia Air sebelum adanya gugatan pailit. Ketika itu, manajemen maskapai itu berjanji
merestrukturisasi perusahaan.
“Pada 2011 hasil cash flow mereka bagus,
audited lho. Sedangkan hasil keuangan mereka tahun lalu kami belum tahu, kami sebetulnya
sudah memanggil mereka, sudah ada antisipasi dari kami,” katanya dalam
konferensi pers Rabu (30/1) malam.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia
(MTI) Darmaningtyas mendesak Kemenhub harus mengawal keputusan pailit itu. Dia
membandingkan keputusan MK soal ditutupnya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional tidak serta
merta langsung ditutup, tetapi ada transisi sampai tahun ajaran berakhir.
“Mestinya putusan pengadilan yang
menyangkut kepentingan publik itu efektif ketika segala urusan yang terkait dengan publik sudah
terselesaikan dulu,” katanya.
Baginya direksi perusahaan semestinya
diberi kewenengan menyelesaikan segala urusan yang berkaitan dengan pelayanan
konsumen.
“Ini kan permasalahan banyak konsumen
sudah terlanjur beli tiket, engga bisa terbang, dan tidak bisa refund karena sudah
ditangani oleh kurator.”
Selain itu, dia mendesak pemerintah
juga sebaiknya mengontrol penjualan tiket secara jangka panjang misalnya 3 bulan-6
bulan ke depan sehingga kejadian pailitnya Batavia Air ini bisa diminimalisasi dampaknya.
Pendapat itu sepertinya mewakili
perasaaan Nurbaiti pagi itu. Dia merasa tak ada harapan baginya untuk mendapatkan refund meskipun
informasi dari travel agent bisa terealisasi dalam 1 bulan
“Saya engga bisa nunggu lagi, saya
terpaksa nyari penerbangan lain buat suami untuk besok, si ayah sudah kangen banget
sama anaknya,” kata Nurbaiti. (/k10/k14/k17/k24/k25/Rachmad Subiyanto/Dewi
Andriani/Siti Nuraisyah Dewi).
Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi Jumat,
1 Februari 2013 dengan judul Elegi di Akhir Januari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar