Rabu, 06 Februari 2013

Saling Klaim di Setu Cibitung

Sebuah dump truck tengah mengeruk lahan
#Ilustrasi, Photo by dakta
M. Tahir Saleh

SEBUAH truk pengangkut tanah miring ke kiri terjebak di kubangan saat melaju keluar menuju jalan utama milik kantor Balai Pengujian Laik Jalan dan Sertifikasi Kendaraan Bermotor, Cibitung, Bekasi.

Sontak sopir dump truck berplat buram itu turun, memeriksa kondisi truk jangan sampai terguling. Beban angkutan membuat truk tak bisa melaju, padahal gas sudah diinjak.

“Coba periksa lagi itu bannya,” kata sopir kepada kernetnya, Senin (28/1).

Tiga pria yang awalnya berteduh dari kejauhan karena hujan sejurus kemudian mengerumuni truk miring itu, mencoba membantu.

Hujan sepekan terakhir ini memang membuat tanah di depan kantor Balai Pengujian Laik Jalan dan Sertifikasi Kendaraan Bermotor (BPLJSKB) menjadi basah sehingga truk sulit bermanuver.

Tanah merah yang diangkut ke truk itu berada persis di depan kantor balai uji kendaraan yang berada di bawah Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan. Di tanah seluas 93 hektar itu jelas tertulis patok putih Tanah Milik Negara.

Agak jauh dari dari truk itu, sebuah eskavator aktif mengeruk lahan berbukit itu dengan enam truk menunggu giliran angkut.

Di jalan beraspal menuju kantor balai, sembilan truk berjejer mengantri. Puluhan pria berbaju gelap juga mengawasi aktivitas itu dari jauh sembari duduk di atas sepeda motor.

“Bang, ini tanah punya siapa?” tanya saya.

“Engga tahu, saya mah cuman disuruh jaga, ngawasin aja?” Jawab seorang pria. Di lengan baju lorengnya tertulis Laskar Merah Putih, salah satu ormas yang cukup punya nama.

Tak satu pun berani mengungkapkan siapa pemilik proyek pengerukan tanah siang itu. Mereka mengakui hanya diminta mengawasi, tapi enggan memberi informasi lebih. Seorang sopir truk yang mengantre, bernomor polisi B 9683 YQ, bilang tanah itu akan dibawa ke Marunda, dijual.

Daryoso dan Toto, dua petugas keamanan balai uji kendaraan Ditjen Perhubungan Darat, mengatakan sejak Minggu (27/1) puluhan truk mengangkut tanah, keduanya tak bisa berbuat apa—apa.

“Bukan cuma satu ormas, ada 27 ormas, jadi kuat mereka, garis polisi dah dicabut,” katanya.

Lokasi lahan perkara itu memang berada tepat di kompleks balai, Jalan Raya Setu, Gandamekar, Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Pengambilan tanah sepihak ini dimulai sejak Juli 2012. Saat itu, pihak yang mengklaim pemilik lahan itu mengangkut tanah sebanyak 6.000 rit—ukuran sekali antar truk dengan perkiraan sekali rit 20 ton. Tapi aksi itu berhasil dihentikan polisi pada 23 Juli dengan garis kuning (police line).

Selang 5 bulan kemudian, kembali terjadi. Kali ini diperkirakan 20 rit tanah diangkut, pelakunya diduga sama.

Polres Bekasi Kabupaten kembali turun tangan, aksi itu berhenti. Namun, pada 21 Januari 2013, police line itu digunting. Puncaknya pada Minggu (27/1), pengerukan dan pengangkutan tanah terjadi lagi.

Aksi ilegal itu membuat bentang alam di kawasan itu berubah drastis dari awalnya berbukit kini menjadi dataran. Ditengarai, tanah yang diangkut itu dijual antara Rp1 juta—Rp 2 juta per truk.

Kepala BPLJSKB Dewanto Purnacandra mengatakan tanah itu salah satunya diklaim milik dari Fatchi Esmar. Dewanto tak tahu persis siapa Fatchi yang mengklaim punya eigendom verponding atau semacam bukti kepemilikan terhadap lahan.

“[Dia] yang mengaku ahli waris pemilik eigendom,” kata Dewanto.

Dia juga belum pernah bertemu dengan Facthi, tetapi dirinya terus berkoordinasi dengan Polres setempat.

Ditemui di Cikarang, Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bekasi Kabupaten AKP Suriyat mengungkapkan ada tiga pihak bersengketa dan mengklaim sebagai pemilik lahan di Setu itu.

Ketiganya yakni BPLJSKB, Fatchi Esmar, dan Yohanna De Meyer. Seluruh laporan atas kepemilikan lahan itu hingga tengah diproses mengingat kedua pihak perorangan itu memiliki eigendom.

Pengaturan eigendom yang dimiliki oleh pewaris tanah itu sebenarnya diatur dalam Pasal 570 Buku ke-2 Kitab UU Hukum Perdata tapi pasal itu dicabut oleh UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok—Pokok Agraria.

Pasal 1 Ayat 1 Bagian Kedua UU itu mengatur kewajiban konversi hak atas tanah eigendom menjadi hak milik. Sayang, aturan ini tak membahas definisi konversi hak atas tanah.

Pelaksanaan justru ada dalam PP No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Syarat konversi lahan di antaranya mesti ada bukti tertulis, keterangan saksi, atau dari pernyataan yang bersangkutan dengan catatan ada kadar kebenaran dari Panitia Ajudikasi atau Kepala Kantor Pertanahan.

Lalu siapa Fatchi dan Yohanna? Mengapa keduanya bisa mengantongi eigendom tanah itu?

Unit Harta Benda Polres Bekasi Kabupaten mencatat, Fatchi bukan pemilik sebenarnya, melainkan hanya mengantongi surat tanah atas nama Nyi Mas Entjhe, pemilik eigendom.

Sementara Yohanna ialah pribumi yang diangkat anak oleh pengusaha berkebangsaan Jerman yang punya bisnis perkebunan di Jawa yakni Samuel De Meyer, Yohanna juga sama mengklaim tanah itu.

Berbekal alamat dalam data Unit Harda Polres itu, saya mencari alamat Facthi. Alamatnya tertulis Al-Fatqih Foundation, Jalan Raya Jati Waringin No.99, Pondok Gede, Jakarta Timur.

Namun alamat tanpa detil RT/RW atau patokan lain itu menyulitkan saya mencari dari pertigaan Kali Malang hingga ujung Jalan Raya Jati Waringin, ditambah lagi nomor sepanjang jalan itu tak beraturan. Saya tak bisa menemukannya.

“Wah di sini nomornya ngacak Mas, ada RT-nya engga?” ujar tukang ojek yang manggal dekat Universitas Islam As-Syafi’iyah.

Adapun Yohanna tercatat bermukim di Bogor, Jalan Semboja, Kelurahan Kebon Kalapa.

Atas laporan BPLJSKB, masing—masing terhadap Yohanna dan Fatchi, polisi lalu memproses itu. Laporan pertama, seorang ditetapkan menjadi tersangka yakni Gusti. Tersangka itu menyalahgunakan surat kuasa pengurusan tanah dari Yohanna untuk mengeruk keuntungan. Laporan kedua atas Fatchi kini masuk tahap penyidikan polisi setelah rampung penyelidikan.

“Prosesnya [laporan BPLJSKB terhadap Fatchi] masih lama,” kata Suriyat, Selasa (29/1).

Sekalipun belum ada angka yang pasti tapi diduga banyak tanah awalnya lahan perkebunan terlantar secara fisik tetapi belum jelas status hukumnya. Kondisi ini menyulut masalah, memicu sindikat tanah bermain.

Sengketa lahan di Setu yang kini menjadi perkara lahan—meski belum sampai pada konflik lahan—terjadi karena beberapa hal di antaranya warisan kebijaksanaan negara masa lalu, kesenjangan sosial. Selain itu lemahanya penegakan hukum, karena tanah terlantar, dan reclaiming sebagai tanah adat.

Divisi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bahkan memiliki data sengketa lahan yang berujung pada konflik lahan.

Sebut saja sengketa antara PT Perkebunan Nusantara VII Cinta Manis dan warga Limbang Jaya, Ogan Ilir, Sumatra Selatan. Konflik ini berujung pada bentrokan maut pada 27 Juli tahun lalu.

Organisasi ini juga mencatat hingga Juli tahun lalu,  terdapat 115 kasus agraria dengan luas tanah sengketa mencapai 377.159 hektar dan menelan empat korban jiwa, belum ada data hingga akhir tahun lalu.

KPA juga mengungkapkan terjadi 25 konflik agrarian antara warga dan TNI per November tahun lalu. Terbanyak dari antara petani dengan TNI Angkatan Laut (12 kasus), lalu Angkatan Darat (7), dan Angkatan Udara (6). Total tanah yang disengketakan mencapai 15.374 hektar.

Di luar sengketa lahan negara dan warga, Direktur Lalu Lintas Angkutan Jalan Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub Sugiharjo mengatakan bagi siapa pun pemilik eigendom, selama proses hukum masih berlangsung dilarang berbuat kriminal termasuk mengeruk tanah menggunakan dump truck.

Tanah di Setu itu, katanya, milik negara karena berdasarkan BPN tanah itu sejak 1978 menjadi hak pakai Ditjen Perhubungan Darat. Penggunaan dan pengelolaan aset negara itu dikuasakan ke Kementerian Perhubungan.

Sebab itu, pihaknya berharap Polisi dapat melindungi tanah yang sudah dinyatakan sebagai aset negara itu.

“Ini bukan tanah milik Kemenhub tapi milik negara,” katanya.

Suriyat menegaskan pihaknya sudah menghentikan aksi pengerukan tanah sepihak itu. Pihaknya berjanji tetap melindungi tanah itu, tidak akan terjadi lagi selama proses hukum berlangsung.

“Kami sudah pasang police line,” katanya.
“Beberapa anggota juga sudah terjun ke lapangan untuk menjaga status quo tanah itu,” tegasnya lagi.

Namun, tidak ada yang bisa menjamin aksi penyerobotan lahan sepihak tidak akan terjadi lagi meskipun sudah dipasang garis polisi. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi Jumat, 1 Februari 2013

4 komentar:

  1. tulisan yang menarik...semoga aksi premanisme dinegara ini dapat segera diatasi..amiin..

    BalasHapus
  2. setahu saya pemilik aset tanah di jawa barat ini adalah samuel de meyer hanya banyak yg di manfaatkan penggunaan awalnya dan ketika akan di ambil alih oleh ahli waris hak kelolanya bertahan untuk memiliki, kasus kasus seperti ini juga banyak di daerah depok dan bogor, terima kasih sudah berbagi, jika berkenan islahkan mampir siapa tahu punya rejeki dan bisa punya rumah.

    BalasHapus
  3. jaman skr gk musim klaim meng klaim (kuno) kalo merasa hak nya ajukan gugat aja ke pengadilan gk usah bertindak dulu......(kalo memang benar tujuanya mau meng klaim tp kalo tujuannya cm memanfaatkan.......ke laut aj)

    BalasHapus

Entri Populer

Penayangan bulan lalu