![]() |
Sebuah dump truck tengah mengeruk lahan #Ilustrasi, Photo by dakta |
M. Tahir Saleh
SEBUAH
truk pengangkut tanah miring ke kiri terjebak di kubangan saat melaju keluar
menuju jalan utama milik kantor Balai Pengujian Laik Jalan dan Sertifikasi
Kendaraan Bermotor, Cibitung, Bekasi.
Sontak
sopir dump truck berplat buram itu
turun, memeriksa kondisi truk jangan sampai terguling. Beban angkutan membuat
truk tak bisa melaju, padahal gas sudah diinjak.
“Coba
periksa lagi itu bannya,” kata sopir kepada kernetnya, Senin (28/1).
Tiga pria yang awalnya berteduh dari kejauhan karena hujan sejurus kemudian mengerumuni truk miring itu, mencoba membantu.
Tiga pria yang awalnya berteduh dari kejauhan karena hujan sejurus kemudian mengerumuni truk miring itu, mencoba membantu.
Hujan
sepekan terakhir ini memang membuat tanah di depan kantor Balai Pengujian Laik
Jalan dan Sertifikasi Kendaraan Bermotor (BPLJSKB) menjadi basah sehingga truk
sulit bermanuver.
Tanah
merah yang diangkut ke truk itu berada persis di depan kantor balai uji
kendaraan yang berada di bawah Ditjen Perhubungan Darat Kementerian
Perhubungan. Di tanah seluas 93 hektar itu jelas tertulis patok putih Tanah
Milik Negara.
Agak
jauh dari dari truk itu, sebuah eskavator aktif mengeruk lahan berbukit itu
dengan enam truk menunggu giliran angkut.
Di
jalan beraspal menuju kantor balai, sembilan truk berjejer mengantri. Puluhan
pria berbaju gelap juga mengawasi aktivitas itu dari jauh sembari duduk di atas
sepeda motor.
“Bang,
ini tanah punya siapa?” tanya saya.
“Engga
tahu, saya mah cuman disuruh jaga, ngawasin aja?” Jawab seorang pria. Di lengan
baju lorengnya tertulis Laskar Merah Putih, salah satu ormas yang cukup punya
nama.
Tak
satu pun berani mengungkapkan siapa pemilik proyek pengerukan tanah siang itu.
Mereka mengakui hanya diminta mengawasi, tapi enggan memberi informasi lebih. Seorang
sopir truk yang mengantre, bernomor polisi B 9683 YQ, bilang tanah itu akan
dibawa ke Marunda, dijual.
Daryoso
dan Toto, dua petugas keamanan balai uji kendaraan Ditjen Perhubungan Darat,
mengatakan sejak Minggu (27/1) puluhan truk mengangkut tanah, keduanya tak bisa
berbuat apa—apa.
“Bukan
cuma satu ormas, ada 27 ormas, jadi kuat mereka, garis polisi dah dicabut,”
katanya.
Lokasi
lahan perkara itu memang berada tepat di kompleks balai, Jalan Raya Setu,
Gandamekar, Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Pengambilan
tanah sepihak ini dimulai sejak Juli 2012. Saat itu, pihak yang mengklaim
pemilik lahan itu mengangkut tanah sebanyak 6.000 rit—ukuran sekali antar truk dengan
perkiraan sekali rit 20 ton. Tapi aksi itu berhasil dihentikan polisi pada 23
Juli dengan garis kuning (police line).
Selang
5 bulan kemudian, kembali terjadi. Kali ini diperkirakan 20 rit tanah diangkut,
pelakunya diduga sama.
Polres
Bekasi Kabupaten kembali turun tangan, aksi itu berhenti. Namun, pada 21
Januari 2013, police line itu digunting. Puncaknya pada Minggu (27/1),
pengerukan dan pengangkutan tanah terjadi lagi.
Aksi
ilegal itu membuat bentang alam di kawasan itu berubah drastis dari awalnya
berbukit kini menjadi dataran. Ditengarai, tanah yang diangkut itu dijual
antara Rp1 juta—Rp 2 juta per truk.
Kepala
BPLJSKB Dewanto Purnacandra mengatakan tanah itu salah satunya diklaim milik
dari Fatchi Esmar. Dewanto tak tahu persis siapa Fatchi yang mengklaim punya
eigendom verponding atau semacam bukti kepemilikan terhadap lahan.
“[Dia]
yang mengaku ahli waris pemilik eigendom,” kata Dewanto.
Dia
juga belum pernah bertemu dengan Facthi, tetapi dirinya terus berkoordinasi
dengan Polres setempat.
Ditemui
di Cikarang, Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bekasi Kabupaten AKP
Suriyat mengungkapkan ada tiga pihak bersengketa dan mengklaim sebagai pemilik
lahan di Setu itu.
Ketiganya
yakni BPLJSKB, Fatchi Esmar, dan Yohanna De Meyer. Seluruh laporan atas
kepemilikan lahan itu hingga tengah diproses mengingat kedua pihak perorangan
itu memiliki eigendom.
Pengaturan
eigendom yang dimiliki oleh pewaris tanah itu sebenarnya diatur dalam Pasal 570
Buku ke-2 Kitab UU Hukum Perdata tapi pasal itu dicabut oleh UU No.5/1960
tentang Peraturan Dasar Pokok—Pokok Agraria.
Pasal
1 Ayat 1 Bagian Kedua UU itu mengatur kewajiban konversi hak atas tanah
eigendom menjadi hak milik. Sayang, aturan ini tak membahas definisi konversi
hak atas tanah.
Pelaksanaan
justru ada dalam PP No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Syarat konversi lahan
di antaranya mesti ada bukti tertulis, keterangan saksi, atau dari pernyataan
yang bersangkutan dengan catatan ada kadar kebenaran dari Panitia Ajudikasi
atau Kepala Kantor Pertanahan.
Lalu
siapa Fatchi dan Yohanna? Mengapa keduanya bisa mengantongi eigendom tanah itu?
Unit
Harta Benda Polres Bekasi Kabupaten mencatat, Fatchi bukan pemilik sebenarnya,
melainkan hanya mengantongi surat tanah atas nama Nyi Mas Entjhe, pemilik
eigendom.
Sementara
Yohanna ialah pribumi yang diangkat anak oleh pengusaha berkebangsaan Jerman
yang punya bisnis perkebunan di Jawa yakni Samuel De Meyer, Yohanna juga sama
mengklaim tanah itu.
Berbekal
alamat dalam data Unit Harda Polres itu, saya mencari alamat Facthi. Alamatnya
tertulis Al-Fatqih Foundation, Jalan Raya Jati Waringin No.99, Pondok Gede,
Jakarta Timur.
Namun
alamat tanpa detil RT/RW atau patokan lain itu menyulitkan saya mencari dari
pertigaan Kali Malang hingga ujung Jalan Raya Jati Waringin, ditambah lagi
nomor sepanjang jalan itu tak beraturan. Saya tak bisa menemukannya.
“Wah
di sini nomornya ngacak Mas, ada RT-nya engga?” ujar tukang ojek yang manggal
dekat Universitas Islam As-Syafi’iyah.
Adapun
Yohanna tercatat bermukim di Bogor, Jalan Semboja, Kelurahan Kebon Kalapa.
Atas
laporan BPLJSKB, masing—masing terhadap Yohanna dan Fatchi, polisi lalu
memproses itu. Laporan pertama, seorang ditetapkan menjadi tersangka yakni
Gusti. Tersangka itu menyalahgunakan surat kuasa pengurusan tanah dari Yohanna
untuk mengeruk keuntungan. Laporan kedua atas Fatchi kini masuk tahap
penyidikan polisi setelah rampung penyelidikan.
“Prosesnya
[laporan BPLJSKB terhadap Fatchi] masih lama,” kata Suriyat, Selasa (29/1).
Sekalipun
belum ada angka yang pasti tapi diduga banyak tanah awalnya lahan perkebunan
terlantar secara fisik tetapi belum jelas status hukumnya. Kondisi ini menyulut
masalah, memicu sindikat tanah bermain.
Sengketa
lahan di Setu yang kini menjadi perkara lahan—meski belum sampai pada konflik
lahan—terjadi karena beberapa hal di antaranya warisan kebijaksanaan negara
masa lalu, kesenjangan sosial. Selain itu lemahanya penegakan hukum, karena
tanah terlantar, dan reclaiming sebagai tanah adat.
Divisi
Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bahkan memiliki data
sengketa lahan yang berujung pada konflik lahan.
Sebut
saja sengketa antara PT Perkebunan Nusantara VII Cinta Manis dan warga Limbang
Jaya, Ogan Ilir, Sumatra Selatan. Konflik ini berujung pada bentrokan maut pada
27 Juli tahun lalu.
Organisasi
ini juga mencatat hingga Juli tahun lalu,
terdapat 115 kasus agraria dengan luas tanah sengketa mencapai 377.159
hektar dan menelan empat korban jiwa, belum ada data hingga akhir tahun lalu.
KPA
juga mengungkapkan terjadi 25 konflik agrarian antara warga dan TNI per
November tahun lalu. Terbanyak dari antara petani dengan TNI Angkatan Laut (12
kasus), lalu Angkatan Darat (7), dan Angkatan Udara (6). Total tanah yang
disengketakan mencapai 15.374 hektar.
Di
luar sengketa lahan negara dan warga, Direktur Lalu Lintas Angkutan Jalan
Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub Sugiharjo mengatakan bagi siapa pun pemilik
eigendom, selama proses hukum masih berlangsung dilarang berbuat kriminal
termasuk mengeruk tanah menggunakan dump truck.
Tanah
di Setu itu, katanya, milik negara karena berdasarkan BPN tanah itu sejak 1978
menjadi hak pakai Ditjen Perhubungan Darat. Penggunaan dan pengelolaan aset
negara itu dikuasakan ke Kementerian Perhubungan.
Sebab
itu, pihaknya berharap Polisi dapat melindungi tanah yang sudah dinyatakan
sebagai aset negara itu.
“Ini
bukan tanah milik Kemenhub tapi milik negara,” katanya.
Suriyat
menegaskan pihaknya sudah menghentikan aksi pengerukan tanah sepihak itu.
Pihaknya berjanji tetap melindungi tanah itu, tidak akan terjadi lagi selama
proses hukum berlangsung.
“Kami
sudah pasang police line,” katanya.
“Beberapa
anggota juga sudah terjun ke lapangan untuk menjaga status quo tanah itu,”
tegasnya lagi.
Namun,
tidak ada yang bisa menjamin aksi penyerobotan lahan sepihak tidak akan terjadi
lagi meskipun sudah dipasang garis polisi. (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Tulisan ini terbit di Harian
Bisnis Indonesia, edisi Jumat, 1 Februari 2013
tulisan yang menarik...semoga aksi premanisme dinegara ini dapat segera diatasi..amiin..
BalasHapusaminn..trimakasih sdh mampir
Hapussetahu saya pemilik aset tanah di jawa barat ini adalah samuel de meyer hanya banyak yg di manfaatkan penggunaan awalnya dan ketika akan di ambil alih oleh ahli waris hak kelolanya bertahan untuk memiliki, kasus kasus seperti ini juga banyak di daerah depok dan bogor, terima kasih sudah berbagi, jika berkenan islahkan mampir siapa tahu punya rejeki dan bisa punya rumah.
BalasHapusjaman skr gk musim klaim meng klaim (kuno) kalo merasa hak nya ajukan gugat aja ke pengadilan gk usah bertindak dulu......(kalo memang benar tujuanya mau meng klaim tp kalo tujuannya cm memanfaatkan.......ke laut aj)
BalasHapus