Oleh M Tahir Saleh
SUATU
ketika pada 2003, Presiden Megawati Soekarno Putri yang kini sudah lengser
bertanya kepada G.T Soerbakti, Ketua Umum Organisasi Pengusaha Angkutan Darat
(Organda) periode itu, soal transportasi publik.
“Pak
Soerbakti, di Bogor itu kok angkotnya banyak sekali yah?” tanya presiden
seperti ditirukan Soerbakti saat bercerita di Terminal Kampung Rambutan
Jakarta, September tahun lalu.
Angkutan kota di Depok, photo by ronisetiyawan.com |
Pendiri
dan pemilik perusahaan transportasi Lorena Group itu persisnya lupa apa jawabannya
kepada presiden, tapi inti jawaban terkait dengan penerapan UU No.22/1999
tentang Pemerintahan Daerah.
UU
otonomi daerah yang disahkan oleh Presiden BJ Habibie pada 7 Mei 1999 itu mengatur
soal desentralisasi atau penyerahan wewenang pemerintahan pusat kepada daerah
otonom. Sejak regulasi itu ada, bergulirlah otonomi daerah ditambah dengan muncul
UU No.25/2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pemda
pun punya kekuatan modal karena pembangunan tak lagi berpijak pada pusat, melainkan
pada kebutuhan dan kepentingan daerah.
Undang—undang
ini sebetulnya bukan pionir karena soal otonomi daerah lebih dulu diperkenalkan
dalam Keppres No.11/1996 tentang Hari Otonomi Daerah, tapi lantaran kuatnya
gerakan reformasi era 1998—1999, UU No.22 pun lahir.
Setelah
itu, regulasi ini diperbaiki dengan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah
yang disahkan oleh Presiden Megawati pada 15 Oktober 2004. Penyempurnaan ini
dalam upaya mensinkronkan dengan pengembangan demokrasi lokal; pilkada
langsung.
Otonomi
daerah diberikan seluasnya kepada pemkab atau pemkot, kecuali enam urusan yang
tetap menjadi kewenangan pusat seperti termaktub dalam Pasal 10 Ayat 3 UU No.32
itu yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan
fiskal nasional, dan agama.
Namun
Ayat 4 pasal itu menyatakan pusat bisa menyelenggarakan sendiri atau
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil
pemerintah di daerah.
Sejak
otonomi daerah itu berjalan, memang perekonomian daerah bergairah. Namun
ironisnya, setelah 17 tahun Keppres No.11 nongol, 14 tahun setelah UU No.22
lahir, dan 9 tahun pasca UU No.32 muncul, beberapa bidang, salah satunya
pengelolaan transportasi publik masih jauh panggang dari api.
Alihalih
otonomi daerah menciptakan pengelolaan transportasi massal memadai,
terintegrasi antar daerah dan provinsi, justru otonomi daerah menciptakan
pengkotak—kotakan wewenang sehingga belum mampu menjawab persoalan transportasi
publik.
Ketua
Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Azas Tigor Nainggolan menilai kebijakan
transportasi yang dicanangkan pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan
nyatanya belum selaras dengan pemda atau pemkot.
Pemerintah
pusat, katanya, jangan malu mencontoh apa yang dilakukan oleh negara lain soal
transportasi misalnya Roma, Italia dan Bogota, Kolombia dengan mensubsidi pemda
yang menawarkan program bagus.
“Indonesia
ini lucu, kan desentralisasi, otonomi daerah. Tapi dilepas tuh semuanya ke
daerah. Istilahnya kau urus sendiri, kau mati, mati sendiri. Harusnya kita
belajar begini. Di Roma, pemda kalau punya program bagus, itu di-support pusat
60%,” katanya ditemui di Jakarta, (1/4).
Keberadaan
otonomi daerah itu sebetulnya positif tapi mesti dilihat dalam konteks tidak
melepas seluruh tanggung jawab pemerintah pusat kepada daerah soal
transportasi.
“Pusat
harusnya support juga agar daerah bisa berkembang. Kalau soal dishub [dinas
perhubungan] yang katanya lebih takut ke walikota atau bupati daripada
pemerintah pusat, itu soal komunikasi saja saya kira,” katanya.
Bagi
Tigor, paling penting adalah bagaimana pemerintah pusat bisa menempatkan diri
sebagai pelayan pemda sehingga tercipta komunikasi dan pengelolaan transportasi
berkembang dengan baik.
“Sekarang ada otonomi daerah, tapi jalan sendiri—sendiri. Daerah bikin proyek sendiri, Kemenhub juga sendiri,” imbuhnya.
Ketidakselarasan
ini secara sederhana nampak dari bagaimana pertumbuhan angkutan umum di Jakarta
sebagai ibu kota dan kota—kota luar Jakarta yang begitu cepat tanpa
memperhitungkan tata kota dan pertumbuhan jalan raya.
Situs
resmi Institut Studi Transportasi atau Intrans mencatat jumlah angkutan kota
(angkot) kecil di Jakarta mencapai lebih dari 16.000 unit pada 2010 dan
parahnya sebagiannya tidak layak beroperasi.
Pada
tahun yang sama, data Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat jumlah kendaraan
bermotor di Jakarta kurang lebih 7,3 juta unit terdiri dari kendaraan pribadi
7,25 juta (98,8%) dan angkutan umum 89.270 (1,2%).
Adapun
di Bogor, kota yang disebut sebagai Kota Angkot, jumlah angkot kecil mencapai
3.412 unit dan 30 unit bus sedang pada 2011 seperti tercatat dalam situs Dishub
Kota Depok. Angkot kecil dibagi dalam 24 trayek, 30 unit bus sedang dibagi
dalam dua trayek.
Di
Depok, jumlah angkot per Februari lalu, mencapai 4.238 kendaraan dengan luas
daerah mencapai 200,29 km persegi seperti terungkap dalam situs Dishub Kota
Depok.
KONTROL
REGULASI
Menteri
Perhubungan E.E Mangindaan buka suara. Mantan Gubernur Sulawesi Utara ini
mengatakan terpenting dari hadirnya UU otonomi daerah ialah pemerintah pusat
wajib mengontrol regulasi dan mesti dijalankan meskipun beberapa kebijakan
dikeluarkan pemda.
“Contoh
uji kelayakan, karena UU [otonomi daerah] pada waktu itu [2004] diketok itu
soal daerah. jadi tidak apa—apa [daerah]. Yang penting kontrol regulasi yang
kami buat harus jalan,” kata Menhub.
Dia
membantah selentingan kabar bahwa kepala dishub ternyata lebih manut kepada
walikota atau bupati yang mengangkatnya ketimbang nurut kepada menteri
perhubungan.
“Menhub
enggak perlu ditakutin. Kepala dinas itu, dia jalannya, anak buahnya
[walikota/bupati]. Memang beberapa anggaran dari kami dikelola di sana, yang
penting adalah jangan keluar dari aturan dan tetap pada sasaran dari kami itu
berjalan,” katanya.
Sugihardjo,
Direktur Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub,
mengatakan pihaknya mendukung pelaksanaan otonomi daerah di bidang LLAJ. Bahkan
sebelum era reformasi, terbit PP No.22/1990 tentang Penyerahan Sebagian Urusan
LLAJ kepada Daerah Provinsi (10 urusan) dan Daerah Kabupaten/Kota (13 urusan).
Kendati
begitu, pascareformasi dengan terbitnya UU No.32, yang dijabarkan dalam PP
No.38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, pengelolaan LLAJ justru makin
menurun.
“Memang
ada daerah tertentu yang justru lebih baik, tapi mayoritas daerah dapat
dikatakan menurun,” kata Sugihardjo.
Sebagai
gambaran, beberapa fakta di antaranya, lemahnya pengawasan administrasi dan
teknis dalam pelayanan angkutan di terminal dan pelaksanaan uji kendaraan
berkala yang tidak professional. Lalu terjadi penurunan kualitas SDM pejabat
dan staf teknis di daerah yang semakin menurun.
“Contoh,
dari 14 kabupaten atau kota di Kalimantan Tengah, hanya tiga daerah yang punya
alat uji, sisanya memberikan tanda lulus uji tanpa dilengkapi alat dan lainnya.
Masih banyak contoh lain,” katanya.
Analisisnya,
penurunan kinerja penyelenggaraan LLAJ karena pejabat daerah lebih mengutamakan
pendapatan asli daerah (PAD) ketimbang tanggung jawab profesi. Alhasil, lebih
diutamakan kewenangan meski urusannya tak bisa diselenggarakan dengan baik dan
profesional.
Namun
di sisi lain, pihaknya sebagai pembina teknis tak bisa melakukan tindakan
korektif. Jika pun diberikan bimbingan teknis atau teguran, hanya akan efektif
apabila bimbingan teknis itu sejalan dengan kepentingan daerah.
Hal
senada juga diungkai Tigor. Contoh ketidakselarasan pendelegasian wewenang ke
daerah misalnya dalam hal uji kendaraan bermotor atau biasa disebut uji kir.
Pihaknya berkali—kali meminta Kemenhub memeriksa penyelenggaraan uji kir di
daerah. Sayang, pemerintah pusat dinilai belum memiliki mekanisme pengontrolan.
“Itu
[uji kir] kan banyak masalah, kecelakaan akibat kendaraan engga layak uji
kir-nya engga bener itu, rem blong. Dievaluasi tuh daerah yang uji kir-nya
engga benar. Engga usah jauh—jauh, Jabodetabek-lah, Surabaya, harusnya
diperiksa, cabut bila perlu,” tegas pengusaha Metromini ini.
Sudah
saatnya, katanya, Kemenhub bersama dengan Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara mengevaluasi pelaksanaan otonomi
daerah di bidang LLAJ.
Usulan
itu mengingat pada dasarnya transportasi tak mengenal batas wilayah
administratif sehingga tidak bisa terkotak-kotak. Selain itu, dalam rangka
memberikan kontribusi terhadap terwujudnya Indonesia Emas 2020, perlu layanan
transportasi yang aman, handal dan berkualitas.
Ketua
Umum Organda Eka Sari Lorena belum bicara banyak soal ini. Namun soal
pengelolaan transportasi, putri sulung G.T Soerbakti ini meminta pemerintah
bekerja sama menyusun ulang trayek angkutan umum sekaligus menyelaraskan
kebijakan setiap dishub di seluruh pemda.
“Ada
tiga, revitalisasi atau sederhananya penyusunan ulang trayek angkutan umum,
disinsentif kendaraan pribadi, dan penyamarataan persepsi dan kompetensi untuk
menerapkan kebijakan dari tiap dishub di pemda manapun,” katanya.
Sepanjang
tahun lalu, belum adanya sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha
transportasi karena saking banyaknya teori dan aksi birokrat yang semu di
lapangan. Hal yang kembali terjadi seperti tahun—tahun sebelumnya.
Djohermansyah
Djohan, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, mengakui selama periode 17 tahun
penyelenggaraan otonomi daerah, terjadi dinamika sangat tinggi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Bahkan,
katanya, dalam beberapa hal justru muncul lompatan—lompatan besar di luar
perkiraan penyusun UU itu sehingga tanpa diharapkan justru menghadirkan
goncangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
“Misalnya,
kecenderungan hadirnya raja-raja kecil di daerah, pembangkangan bupati atau
walikota terhadap gubernur yang terjadi secara merata. Bahkan, secara
perlahan-lahan namun pasti, berkembang politik dinasti di daerah,” katanya
dikutip dari situs resmi Kemendagri (11/4).
Oleh
karena itu pemerintah mengajukan revisi UU No.32 dan tengah dibahas oleh
bersama DPR. Sayang, revisi ini fokus soal daerah otonomi baru (DOB) atau
pemekaran. Soal pengelolaan transportasi, belum terbaca.
Otonomi
daerah bukan faktor tunggal kendala pengelolaan transportasi publik karena
berdiri faktor lain seperti globalisasi ekonomi, perubahan perilaku permintaan
jasa transportasi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan soal SDM.
Tentu
dalam mengantisipasi kendala ini, sistem transportasi perlu ditata dan
disempurnakan dengan didukung semua aspek. Jika tidak, sistem transportasi
nasional handal, terpadu, tertib, lancar, aman, nyaman dan efisien sulit
rasanya terwujud.
Jangan—jangan
jika Organda menggelar audiensi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat
ini, barangkali pertanyaan soal banyaknya angkot di negeri ini bisa menjadi
topik pembicaraan lagi oleh presiden seperti pertanyaan Presiden Megawati
dahulu kepada Soerbakti.
“Wah
soal jawaban pertemuan dengan presiden, saya sudah lupa yah ke Ibu Mega,” kata
Soerbakti yang kini berusia 73 tahun saat dihubungi pekan lalu. (faa)
Editor : Fahmi Achmad
Words: 1.476
Tulisan ini terbit di
Harian Bisnis Indonesia, Kamis, 18 April 2013 dengan judul “Ruwetnya Angkutan
Kota Kita” dan edisi online di www.bisnis.com,
16 April 2013