Minggu, 19 Mei 2013

Wajah 17 Tahun Otonomi Daerah di Negeri Angkot

Oleh M Tahir Saleh

SUATU ketika pada 2003, Presiden Megawati Soekarno Putri yang kini sudah lengser bertanya kepada G.T Soerbakti, Ketua Umum Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) periode itu, soal transportasi publik.

“Pak Soerbakti, di Bogor itu kok angkotnya banyak sekali yah?” tanya presiden seperti ditirukan Soerbakti saat bercerita di Terminal Kampung Rambutan Jakarta, September tahun lalu.

Angkutan kota di Depok, photo by ronisetiyawan.com
Pendiri dan pemilik perusahaan transportasi Lorena Group itu persisnya lupa apa jawabannya kepada presiden, tapi inti jawaban terkait dengan penerapan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

UU otonomi daerah yang disahkan oleh Presiden BJ Habibie pada 7 Mei 1999 itu mengatur soal desentralisasi atau penyerahan wewenang pemerintahan pusat kepada daerah otonom. Sejak regulasi itu ada, bergulirlah otonomi daerah ditambah dengan muncul UU No.25/2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Pemda pun punya kekuatan modal karena pembangunan tak lagi berpijak pada pusat, melainkan pada kebutuhan dan kepentingan daerah.

Undang—undang ini sebetulnya bukan pionir karena soal otonomi daerah lebih dulu diperkenalkan dalam Keppres No.11/1996 tentang Hari Otonomi Daerah, tapi lantaran kuatnya gerakan reformasi era 1998—1999, UU No.22 pun lahir.

Setelah itu, regulasi ini diperbaiki dengan UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang disahkan oleh Presiden Megawati pada 15 Oktober 2004. Penyempurnaan ini dalam upaya mensinkronkan dengan pengembangan demokrasi lokal; pilkada langsung.

Otonomi daerah diberikan seluasnya kepada pemkab atau pemkot, kecuali enam urusan yang tetap menjadi kewenangan pusat seperti termaktub dalam Pasal 10 Ayat 3 UU No.32 itu yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.

Namun Ayat 4 pasal itu menyatakan pusat bisa menyelenggarakan sendiri atau melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah.

Sejak otonomi daerah itu berjalan, memang perekonomian daerah bergairah. Namun ironisnya, setelah 17 tahun Keppres No.11 nongol, 14 tahun setelah UU No.22 lahir, dan 9 tahun pasca UU No.32 muncul, beberapa bidang, salah satunya pengelolaan transportasi publik masih jauh panggang dari api.

Alihalih otonomi daerah menciptakan pengelolaan transportasi massal memadai, terintegrasi antar daerah dan provinsi, justru otonomi daerah menciptakan pengkotak—kotakan wewenang sehingga belum mampu menjawab persoalan transportasi publik.

Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Azas Tigor Nainggolan menilai kebijakan transportasi yang dicanangkan pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan nyatanya belum selaras dengan pemda atau pemkot.

Pemerintah pusat, katanya, jangan malu mencontoh apa yang dilakukan oleh negara lain soal transportasi misalnya Roma, Italia dan Bogota, Kolombia dengan mensubsidi pemda yang menawarkan program bagus.

“Indonesia ini lucu, kan desentralisasi, otonomi daerah. Tapi dilepas tuh semuanya ke daerah. Istilahnya kau urus sendiri, kau mati, mati sendiri. Harusnya kita belajar begini. Di Roma, pemda kalau punya program bagus, itu di-support pusat 60%,” katanya ditemui di Jakarta, (1/4).

Keberadaan otonomi daerah itu sebetulnya positif tapi mesti dilihat dalam konteks tidak melepas seluruh tanggung jawab pemerintah pusat kepada daerah soal transportasi.

“Pusat harusnya support juga agar daerah bisa berkembang. Kalau soal dishub [dinas perhubungan] yang katanya lebih takut ke walikota atau bupati daripada pemerintah pusat, itu soal komunikasi saja saya kira,” katanya.

Bagi Tigor, paling penting adalah bagaimana pemerintah pusat bisa menempatkan diri sebagai pelayan pemda sehingga tercipta komunikasi dan pengelolaan transportasi berkembang dengan baik.
“Sekarang ada otonomi daerah, tapi jalan sendiri—sendiri. Daerah bikin proyek sendiri, Kemenhub juga sendiri,” imbuhnya.
Ketidakselarasan ini secara sederhana nampak dari bagaimana pertumbuhan angkutan umum di Jakarta sebagai ibu kota dan kota—kota luar Jakarta yang begitu cepat tanpa memperhitungkan tata kota dan pertumbuhan jalan raya.

Situs resmi Institut Studi Transportasi atau Intrans mencatat jumlah angkutan kota (angkot) kecil di Jakarta mencapai lebih dari 16.000 unit pada 2010 dan parahnya sebagiannya tidak layak beroperasi.

Pada tahun yang sama, data Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat jumlah kendaraan bermotor di Jakarta kurang lebih 7,3 juta unit terdiri dari kendaraan pribadi 7,25 juta (98,8%) dan angkutan umum 89.270 (1,2%).

Adapun di Bogor, kota yang disebut sebagai Kota Angkot, jumlah angkot kecil mencapai 3.412 unit dan 30 unit bus sedang pada 2011 seperti tercatat dalam situs Dishub Kota Depok. Angkot kecil dibagi dalam 24 trayek, 30 unit bus sedang dibagi dalam dua trayek.

Di Depok, jumlah angkot per Februari lalu, mencapai 4.238 kendaraan dengan luas daerah mencapai 200,29 km persegi seperti terungkap dalam situs Dishub Kota Depok.

KONTROL REGULASI
Menteri Perhubungan E.E Mangindaan buka suara. Mantan Gubernur Sulawesi Utara ini mengatakan terpenting dari hadirnya UU otonomi daerah ialah pemerintah pusat wajib mengontrol regulasi dan mesti dijalankan meskipun beberapa kebijakan dikeluarkan pemda.

“Contoh uji kelayakan, karena UU [otonomi daerah] pada waktu itu [2004] diketok itu soal daerah. jadi tidak apa—apa [daerah]. Yang penting kontrol regulasi yang kami buat harus jalan,” kata Menhub.

Dia membantah selentingan kabar bahwa kepala dishub ternyata lebih manut kepada walikota atau bupati yang mengangkatnya ketimbang nurut kepada menteri perhubungan.

“Menhub enggak perlu ditakutin. Kepala dinas itu, dia jalannya, anak buahnya [walikota/bupati]. Memang beberapa anggaran dari kami dikelola di sana, yang penting adalah jangan keluar dari aturan dan tetap pada sasaran dari kami itu berjalan,” katanya.

Sugihardjo, Direktur Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub, mengatakan pihaknya mendukung pelaksanaan otonomi daerah di bidang LLAJ. Bahkan sebelum era reformasi, terbit PP No.22/1990 tentang Penyerahan Sebagian Urusan LLAJ kepada Daerah Provinsi (10 urusan) dan Daerah Kabupaten/Kota (13 urusan).

Kendati begitu, pascareformasi dengan terbitnya UU No.32, yang dijabarkan dalam PP No.38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, pengelolaan LLAJ justru makin menurun.

“Memang ada daerah tertentu yang justru lebih baik, tapi mayoritas daerah dapat dikatakan menurun,” kata Sugihardjo.

Sebagai gambaran, beberapa fakta di antaranya, lemahnya pengawasan administrasi dan teknis dalam pelayanan angkutan di terminal dan pelaksanaan uji kendaraan berkala yang tidak professional. Lalu terjadi penurunan kualitas SDM pejabat dan staf teknis di daerah yang semakin menurun.

“Contoh, dari 14 kabupaten atau kota di Kalimantan Tengah, hanya tiga daerah yang punya alat uji, sisanya memberikan tanda lulus uji tanpa dilengkapi alat dan lainnya. Masih banyak contoh lain,” katanya.

Analisisnya, penurunan kinerja penyelenggaraan LLAJ karena pejabat daerah lebih mengutamakan pendapatan asli daerah (PAD) ketimbang tanggung jawab profesi. Alhasil, lebih diutamakan kewenangan meski urusannya tak bisa diselenggarakan dengan baik dan profesional.

Namun di sisi lain, pihaknya sebagai pembina teknis tak bisa melakukan tindakan korektif. Jika pun diberikan bimbingan teknis atau teguran, hanya akan efektif apabila bimbingan teknis itu sejalan dengan kepentingan daerah.

Hal senada juga diungkai Tigor. Contoh ketidakselarasan pendelegasian wewenang ke daerah misalnya dalam hal uji kendaraan bermotor atau biasa disebut uji kir. Pihaknya berkali—kali meminta Kemenhub memeriksa penyelenggaraan uji kir di daerah. Sayang, pemerintah pusat dinilai belum memiliki mekanisme pengontrolan.

“Itu [uji kir] kan banyak masalah, kecelakaan akibat kendaraan engga layak uji kir-nya engga bener itu, rem blong. Dievaluasi tuh daerah yang uji kir-nya engga benar. Engga usah jauh—jauh, Jabodetabek-lah, Surabaya, harusnya diperiksa, cabut bila perlu,” tegas pengusaha Metromini ini.

Sudah saatnya, katanya, Kemenhub bersama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah di bidang LLAJ.

Usulan itu mengingat pada dasarnya transportasi tak mengenal batas wilayah administratif sehingga tidak bisa terkotak-kotak. Selain itu, dalam rangka memberikan kontribusi terhadap terwujudnya Indonesia Emas 2020, perlu layanan transportasi yang aman, handal dan berkualitas.

Ketua Umum Organda Eka Sari Lorena belum bicara banyak soal ini. Namun soal pengelolaan transportasi, putri sulung G.T Soerbakti ini meminta pemerintah bekerja sama menyusun ulang trayek angkutan umum sekaligus menyelaraskan kebijakan setiap dishub di seluruh pemda.

“Ada tiga, revitalisasi atau sederhananya penyusunan ulang trayek angkutan umum, disinsentif kendaraan pribadi, dan penyamarataan persepsi dan kompetensi untuk menerapkan kebijakan dari tiap dishub di pemda manapun,” katanya.

Sepanjang tahun lalu, belum adanya sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha transportasi karena saking banyaknya teori dan aksi birokrat yang semu di lapangan. Hal yang kembali terjadi seperti tahun—tahun sebelumnya.

Djohermansyah Djohan, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, mengakui selama periode 17 tahun penyelenggaraan otonomi daerah, terjadi dinamika sangat tinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Bahkan, katanya, dalam beberapa hal justru muncul lompatan—lompatan besar di luar perkiraan penyusun UU itu sehingga tanpa diharapkan justru menghadirkan goncangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

“Misalnya, kecenderungan hadirnya raja-raja kecil di daerah, pembangkangan bupati atau walikota terhadap gubernur yang terjadi secara merata. Bahkan, secara perlahan-lahan namun pasti, berkembang politik dinasti di daerah,” katanya dikutip dari situs resmi Kemendagri (11/4).

Oleh karena itu pemerintah mengajukan revisi UU No.32 dan tengah dibahas oleh bersama DPR. Sayang, revisi ini fokus soal daerah otonomi baru (DOB) atau pemekaran. Soal pengelolaan transportasi, belum terbaca.

Otonomi daerah bukan faktor tunggal kendala pengelolaan transportasi publik karena berdiri faktor lain seperti globalisasi ekonomi, perubahan perilaku permintaan jasa transportasi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan soal SDM.

Tentu dalam mengantisipasi kendala ini, sistem transportasi perlu ditata dan disempurnakan dengan didukung semua aspek. Jika tidak, sistem transportasi nasional handal, terpadu, tertib, lancar, aman, nyaman dan efisien sulit rasanya terwujud.

Jangan—jangan jika Organda menggelar audiensi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, barangkali pertanyaan soal banyaknya angkot di negeri ini bisa menjadi topik pembicaraan lagi oleh presiden seperti pertanyaan Presiden Megawati dahulu kepada Soerbakti.

“Wah soal jawaban pertemuan dengan presiden, saya sudah lupa yah ke Ibu Mega,” kata Soerbakti yang kini berusia 73 tahun saat dihubungi pekan lalu. (faa)

Editor : Fahmi Achmad
Words: 1.476
Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, Kamis, 18 April 2013 dengan judul “Ruwetnya Angkutan Kota Kita” dan edisi online di www.bisnis.com, 16 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu