![]() |
Pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT-960 rute Bandung-Denpasar tergelincir di Bandara Ngurah Rai saat mendarat sehingga menyebabkan ratusan penumpang cedera ANTARA/xHO-BASARNAS |
Oleh
Hendrykus F. N. Wedo & M. Tahir Saleh
“MAAF
saya tak bisa mengikuti rapat sampai selesai karena harus terbang ke Batam.
Saya naik Garuda, bukan Lion Air. Maaf Pak Edo [Edward Sirait, Direktur Umum
Lion Air], ini hanya joke,” ujar Yoseph Nai Soi.
Itu
kalimat yang diucapkan anggota Komisi V DPR Yoseph Nai Soi di tengah berlangsungnya
rapat dengar pendapat (RDP) Komisi V DPR dengan jajaran direksi maskapai
penerbangan nasional, Selasa (9/4).
Candaan
politisi Fraksi Partai Glokar terjadi saat berpamitan meninggalkan ruang rapat
yang dihadiri oleh hampir semua direktur utama maskapai penerbangan nasional.
CEO Lion Air Group Rusdi Kirana tidak terlihat hadir dan diwakili Direktur Umum
Edward Sirait.
Tak
jelas apakah Yoseph ingin pamer bahwa standar layanan penerbangan bagi anggota
parlemen adalah full service bukan maskapai low cost carrier (LCC), ataukah
memang sengaja menyindir Edward agar Lion Air tetap mengutamakan keselamatan
meski bertarif murah.
Terlepas
dari candaan dan sindiran Yoseph tadi, manajemen Lion Air memang harus kembali
mengevaluasi kegiatan operasionalnya terkait dengan aspek keselamatan menyusul
terjadinya kecelakaan pesawat Lion Air di Bali, Sabtu (13/4).
Pesawat
Boeing 737-800 NG dengan kode penerbangan JT-904 rute Bandung-Denpasar tersebut
gagal mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali dan tercebur ke Pantai
Segara sekitar 10 meter dari ujung barat landasan pacu. Peristiwa ini merupakan
insiden ke-13 yang dialami Lion Air, setidaknya sejak 2002. Patut disyukuri
seluruh 101 penumpang dan 7 awak pesawat selamat.
Berbagai
insiden tadi menjadi sangat ironis dengan upaya menajemen Lion yang sedang
membangun kepercayaan publik dan agresif ekspansi dengan memborong 234 unit
pesawat Airbus A320 tipe lorong tunggal dengan nilai pembelian US$24 miliar
atau setara Rp232,80 triliun.
Sejauh
ini Edward belum bisa memperkirakan faktor penyebab jatuhnya pesawat itu dan
menyerahkan sepenuhnya kepada investigasi tim Komite Nasional Keselamatan
Transportasi (KNKT).
Dia
justru memastikan bahwa pesawat nahas itu laik terbang karena baru beroperasi
Maret dan menjadi pesawat ke-11 yang dimiliki perseroan untuk tipe terbaru itu.
“Pesawat
ini masih baru dan pilot Kapten Mahlup Ghozali sudah mengantongi jam terbang
lebih dari 10.000 jam di Lion Air. Belum lagi dia [Ghozali] juga pernah bekerja
di maskapai lain,” katanya.
Edward
enggan berbicara soal asuransi pesawat tersebut termasuk kemungkinan
mengevaluasi kontrak kerja sama dengan Boeing. “Kami masih fokus pada
penanganan penumpang.”
Yasril Y. Rasyid, Presiden Direktur PT
Tugu Pratama Indonesia (TPI)-perusahaan asuransi yang menangani maskapai Lion
Air-mengaku masih menunggu hasil perhitungan kerugian dari lost adjuster
terkait dengan kecelakaan itu.
Manejemen,
lanjutnya, mengaku telah menunjuk loss adjuster yakni Charles Taylor Adjusting
(CTA) yang akan menghitung nilai kerugian akibat kecelakaan tersebut.
"Kalau
dilihat dari pemberitaan memang sepertinya total loss," katanya, Minggu
(14/4).
Nilai
pertanggungan satu unit pesawat terbang adalah sekitar US$45 juta-US$46 juta,
akan tetapi nilai tersebut tidak ditanggung sendiri karena sebagian besar
risiko telah dialihkan kepada perusahaan reasuransi.
Dalam
hal ini, katanya, sekitar 99% premi reasuransi untuk lini bisnis asuransi
pesawat terbang TPI telah ditangani oleh reasuransi di dalam dan luar negeri.
Adapun, penempatan reasuransi ditangani broker Jardine Lloyd Thompson (JLT).
Pascakecelakaan
ini, Yasril memperkirakan rate premi asuransi pesawat terbang akan naik
meskipun dia belum dapat memperkirakan besarannya. Selain terpengaruh pada
klaim yang terjadi di dalam negeri, rate premi juga ditentukan oleh kondisi
pasar di wilayah regional dan internasional.
Ketua
Komisi V DPR Laurensius B. Dama
mengatakan pertumbuhan industri penerbangan saat ini semestinya perlu diimbangi
dengan peningkatan keselamatan penerbangan nasional. "Jangan sampai
keselamatan penerbangan dinomor duakan," ujarnya.
Kerisauan
itu politisi Senayan itu muncul karena pertambahan jumlah pesawat dari maskapai
penerbangan nasional tidak diikuti dengan ketersediaan infrastruktur bandara
dan tenaga pilot yang memadai sehingga meningkatkan potensi kecelakaan.
Salah
satu faktor yang membahayakan keselamatan adalah jumlah pergerakan pesawat di
bandara yang semakin melebihi kapasitas tampung. Sebagai contoh, di Bandara
Internasional Soekarno-Hatta-bandara terbesar di Indonesia-kini sudah mencapai
72 penerbangan per jam dari kapasitas 49 penerbangan per jam.
BEKUKAN
LISENSI
Soal
kekurangan jumlah pilot, Ketua Federasi Pilot Indonesia Hasfrinsyah mengungkapkan selama ini banyak pilot melanggar batas
maksimal jam terbang yang ditetapkan Kementerian Perhubungan.
Batas
maksimal jam terbang pilot adalah 30 jam per minggu, 110 jam per bulan, dan
1.050 jam per tahun. Namun, faktanya banyak pilot yang melanggar ketentuan ini.
“Perusahaan penerbangan harus mem-protect pilot dan tidak boleh melebihi jam
terbang. Pilot juga harus melakukan koreksi bila melebihi jam terbang,”
katanya.
Faktor
keselamatan lain yang juga perlu diperhatikan adalah infrastruktur bandara yang
terkadang terdapat gangguan seperti genangan air, gangguan burung serta hewan
liar sehingga memaksa pesawat harus berputar-putar sebelum mendarat. Gangguan
seperti ini kadang terjadi di sejumlah bandara seperti Yogyakarta, Pekanbaru,
Pontianak, dan Semarang.
Dirjen
Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti
S. Gumay mengakui semua aspek terkait dengan keselamatan penerbangan
tersebut telah menjadi perhatiannya.
Sepanjang
tahun lalu, Kemenhub telah membekukan 16 lisensi penerbang Lion Air gara-gara
melanggar batasan jam terbang. Tak cuma Lion Air, 29 lisensi penerbang dari
maskapai Batavia-kini telah dinyatakan pailit-juga telah dibekukan dengan
alasan serupa.
Selain
alasan pelanggaran jam terbang, terdapat dua penerbang yang dibekukan
lisensinya karena terlibat penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang
pada tahun lalu.
Meskipun
belum ada penjelasan dari KNKT mengenai sebab-musabab kecelakaan, musibah
kecelakaan pesawat Lion Air di Bali tersebut harus menjadi cermin bersama
betapa faktor keselamatan harus menjadi prioritas dan harus ada sanksi tegas
bagi siapapun yang mengabaikannya. Tarif penerbangan boleh murah dan standar
pelayanan bisa disesuaikan dengan harga, namun keselamatan tidak boleh
diabaikan.
Kepala
Sub Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara Komite Nasional Keselamatan
Transportasi (KNKT) Masruri menduga
kecelakaan pesawat Lion Air JT-904 dengan nomor registrasi PK-LKS tersebut terjadi
akibat undershoot.
“Namun
untuk kemungkinan mengapa terjadi undershoot, masih akan dipelajari lebih
lanjut dengan meneliti black box di Jakarta,” katanya. (FAA, Ashari
Purwo/Farodlilah Muqoddam/Chamdan Purwoko).
Tulisan ini terbit di
edisi Senin, 15 April 2013, setelah terjadi kecelakaan Lion Air pada Sabtu, 13
April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar