Minggu, 09 Juni 2013

MUSIBAH LION: Tarif Murah vs Keselamatan

Pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT-960
rute Bandung-Denpasar tergelincir di Bandara Ngurah Rai
saat mendarat sehingga menyebabkan ratusan penumpang cedera
ANTARA/xHO-BASARNAS
Oleh Hendrykus F. N. Wedo & M. Tahir Saleh

“MAAF saya tak bisa mengikuti rapat sampai selesai karena harus terbang ke Batam. Saya naik Garuda, bukan Lion Air. Maaf Pak Edo [Edward Sirait, Direktur Umum Lion Air], ini hanya joke,” ujar Yoseph Nai Soi.

Itu kalimat yang diucapkan anggota Komisi V DPR Yoseph Nai Soi di tengah berlangsungnya rapat dengar pendapat (RDP) Komisi V DPR dengan jajaran direksi maskapai penerbangan nasional, Selasa (9/4).

Candaan politisi Fraksi Partai Glokar terjadi saat berpamitan meninggalkan ruang rapat yang dihadiri oleh hampir semua direktur utama maskapai penerbangan nasional. CEO Lion Air Group Rusdi Kirana tidak terlihat hadir dan diwakili Direktur Umum Edward Sirait.

Tak jelas apakah Yoseph ingin pamer bahwa standar layanan penerbangan bagi anggota parlemen adalah full service bukan maskapai low cost carrier (LCC), ataukah memang sengaja menyindir Edward agar Lion Air tetap mengutamakan keselamatan meski bertarif murah.

Terlepas dari candaan dan sindiran Yoseph tadi, manajemen Lion Air memang harus kembali mengevaluasi kegiatan operasionalnya terkait dengan aspek keselamatan menyusul terjadinya kecelakaan pesawat Lion Air di Bali, Sabtu (13/4).

Pesawat Boeing 737-800 NG dengan kode penerbangan JT-904 rute Bandung-Denpasar tersebut gagal mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali dan tercebur ke Pantai Segara sekitar 10 meter dari ujung barat landasan pacu. Peristiwa ini merupakan insiden ke-13 yang dialami Lion Air, setidaknya sejak 2002. Patut disyukuri seluruh 101 penumpang dan 7 awak pesawat selamat.

Berbagai insiden tadi menjadi sangat ironis dengan upaya menajemen Lion yang sedang membangun kepercayaan publik dan agresif ekspansi dengan memborong 234 unit pesawat Airbus A320 tipe lorong tunggal dengan nilai pembelian US$24 miliar atau setara Rp232,80 triliun.

Sejauh ini Edward belum bisa memperkirakan faktor penyebab jatuhnya pesawat itu dan menyerahkan sepenuhnya kepada investigasi tim Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

Dia justru memastikan bahwa pesawat nahas itu laik terbang karena baru beroperasi Maret dan menjadi pesawat ke-11 yang dimiliki perseroan untuk tipe terbaru itu.

“Pesawat ini masih baru dan pilot Kapten Mahlup Ghozali sudah mengantongi jam terbang lebih dari 10.000 jam di Lion Air. Belum lagi dia [Ghozali] juga pernah bekerja di maskapai lain,” katanya.

Edward enggan berbicara soal asuransi pesawat tersebut termasuk kemungkinan mengevaluasi kontrak kerja sama dengan Boeing. “Kami masih fokus pada penanganan penumpang.”

Yasril Y. Rasyid, Presiden Direktur PT Tugu Pratama Indonesia (TPI)-perusahaan asuransi yang menangani maskapai Lion Air-mengaku masih menunggu hasil perhitungan kerugian dari lost adjuster terkait dengan kecelakaan itu.

Manejemen, lanjutnya, mengaku telah menunjuk loss adjuster yakni Charles Taylor Adjusting (CTA) yang akan menghitung nilai kerugian akibat kecelakaan tersebut.

"Kalau dilihat dari pemberitaan memang sepertinya total loss," katanya, Minggu (14/4).

Nilai pertanggungan satu unit pesawat terbang adalah sekitar US$45 juta-US$46 juta, akan tetapi nilai tersebut tidak ditanggung sendiri karena sebagian besar risiko telah dialihkan kepada perusahaan reasuransi.

Dalam hal ini, katanya, sekitar 99% premi reasuransi untuk lini bisnis asuransi pesawat terbang TPI telah ditangani oleh reasuransi di dalam dan luar negeri. Adapun, penempatan reasuransi ditangani broker Jardine Lloyd Thompson (JLT).

Pascakecelakaan ini, Yasril memperkirakan rate premi asuransi pesawat terbang akan naik meskipun dia belum dapat memperkirakan besarannya. Selain terpengaruh pada klaim yang terjadi di dalam negeri, rate premi juga ditentukan oleh kondisi pasar di wilayah regional dan internasional.

Ketua Komisi V DPR Laurensius B. Dama mengatakan pertumbuhan industri penerbangan saat ini semestinya perlu diimbangi dengan peningkatan keselamatan penerbangan nasional. "Jangan sampai keselamatan penerbangan dinomor duakan," ujarnya.

Kerisauan itu politisi Senayan itu muncul karena pertambahan jumlah pesawat dari maskapai penerbangan nasional tidak diikuti dengan ketersediaan infrastruktur bandara dan tenaga pilot yang memadai sehingga meningkatkan potensi kecelakaan.

Salah satu faktor yang membahayakan keselamatan adalah jumlah pergerakan pesawat di bandara yang semakin melebihi kapasitas tampung. Sebagai contoh, di Bandara Internasional Soekarno-Hatta-bandara terbesar di Indonesia-kini sudah mencapai 72 penerbangan per jam dari kapasitas 49 penerbangan per jam.

BEKUKAN LISENSI
Soal kekurangan jumlah pilot, Ketua Federasi Pilot Indonesia Hasfrinsyah mengungkapkan selama ini banyak pilot melanggar batas maksimal jam terbang yang ditetapkan Kementerian Perhubungan.

Batas maksimal jam terbang pilot adalah 30 jam per minggu, 110 jam per bulan, dan 1.050 jam per tahun. Namun, faktanya banyak pilot yang melanggar ketentuan ini. “Perusahaan penerbangan harus mem-protect pilot dan tidak boleh melebihi jam terbang. Pilot juga harus melakukan koreksi bila melebihi jam terbang,” katanya.

Faktor keselamatan lain yang juga perlu diperhatikan adalah infrastruktur bandara yang terkadang terdapat gangguan seperti genangan air, gangguan burung serta hewan liar sehingga memaksa pesawat harus berputar-putar sebelum mendarat. Gangguan seperti ini kadang terjadi di sejumlah bandara seperti Yogyakarta, Pekanbaru, Pontianak, dan Semarang.

Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti S. Gumay mengakui semua aspek terkait dengan keselamatan penerbangan tersebut telah menjadi perhatiannya.

Sepanjang tahun lalu, Kemenhub telah membekukan 16 lisensi penerbang Lion Air gara-gara melanggar batasan jam terbang. Tak cuma Lion Air, 29 lisensi penerbang dari maskapai Batavia-kini telah dinyatakan pailit-juga telah dibekukan dengan alasan serupa.

Selain alasan pelanggaran jam terbang, terdapat dua penerbang yang dibekukan lisensinya karena terlibat penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang pada tahun lalu.

Meskipun belum ada penjelasan dari KNKT mengenai sebab-musabab kecelakaan, musibah kecelakaan pesawat Lion Air di Bali tersebut harus menjadi cermin bersama betapa faktor keselamatan harus menjadi prioritas dan harus ada sanksi tegas bagi siapapun yang mengabaikannya. Tarif penerbangan boleh murah dan standar pelayanan bisa disesuaikan dengan harga, namun keselamatan tidak boleh diabaikan.

Kepala Sub Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Masruri menduga kecelakaan pesawat Lion Air JT-904 dengan nomor registrasi PK-LKS tersebut terjadi akibat undershoot.

“Namun untuk kemungkinan mengapa terjadi undershoot, masih akan dipelajari lebih lanjut dengan meneliti black box di Jakarta,” katanya. (FAA, Ashari Purwo/Farodlilah Muqoddam/Chamdan Purwoko).

Tulisan ini terbit di edisi Senin, 15 April 2013, setelah terjadi kecelakaan Lion Air pada Sabtu, 13 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu