Gempa bumi itu mengguncang Flores. Saya baru
delapan tahun ketika lindu berkekuatan 7,8 skala richter di lepas pantai Flores
itu ikut menggoyangkan desa kami di Pulau Adonara.
Usia yang tak begitu mengerti apa yang
sesungguhnya terjadi. Suasana begitu kalut. Guncangan hebat itu memaka
orang-orang berlarian keluar rumah menuju lapangan, di sana sudah banyak pula
berjongkok menjaga keseimbangan.
“Barero, barero,” teriak orang-orang dengan
Bahasa Adonara. Histeria itu masih terngiang sampai kini. Pilu rasanya. Puluhan
rumah di desa kami, Desa Waiburak, retak, miring, bahkan roboh. Beberapa kawan
dan saudara kehilangan rumah, tapi saya bersyukur rumah hanya retak.
Gempa pada 12 Desember 1992 itu juga menyebabkan
gelombang tsunami setinggi 36 meter, menghabiskan rumah di pesisir pantai
Flores. Tsunami itu tak mengenai desa kami tapi korban tewas dalam bencana alam
itu mencapai 2.100 orang, 500 orang hilang, 447 orang luka-luka, dan 5.000
orang menjadi pengungsian. Kami termasuk di antara pengungsi.
Tiap malam, rasanya tak enak karena tidur di
bawah tenda terpal, persediaan makanan juga tak banyak. Air bersih pun terbatas
apalagi kampung kami di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) memang terkenal
dengan sulitnya air bersih.
Sebelum gempa terjadi warga mesti turun ke bawah
dekat dengan pantai untuk mengambil air, tapi saat gempa siapa yang mau turun?
Jadinya dengan terbatasya air minum pun tidak boleh sembarangan, kami mesti memikirkan
yang lain.
Saya berupaya melupakan bencana alam itu setelah
pindah sekolah ke Bekasi, Jawa Barat, sampai kuliah di Ciputat. Tapi salah satu
kegiatan kampus yang mengajar ke daerah-daerah terpencil di Pulau Jawa membuat
ingatan itu terngiang lagi.
Ingatan susahnya air bagi masyarakat, susahnya
sarana yang disediakan oleh pemerintah setempat agar warga dengan mudah bisa
terhindar dari kesulitan air bersih.
Ditjen Sumber Daya Air Kemeterian Pekerjaan Umum
dalam situs resminya punya catatan soal kekurangan air di Indonesia.
Disebutkan bahwa Jawa, Bali, dan Papua merupakan
daerah yang kekurangan air baku, sedangkan Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara,
Maluku, dan Kalimantan adalah daerah dengan surplus air baku.
Air baru
maksudnya air yang berasal dari sumber air pemukaan, cekungan air tanah dan
atau air hujan yang memenuhi ketentuan baku mutu tertentu sebagai air baku
untuk air minum.
Adapun Total kebutuhan air baku di Indonesia
mencapai 175 juta m3/tahun, dari jumlah itu sebesar 6,4 juta m3/tahun merupakan
kebutuhan domestik, 141 juta m3/tahun kebutuhan sektor pertanian, dan 27,7 juta
m3/tahun kebutuhan industri.
Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik
mengemukakan di Indonesia, pemenuhan air minum yang aman baru 55,04% dan masih
80 juta masyarakat belum terpenuhi. Kondisi itu diperkirakan meningkat seiring
dengan pertumbuhan penduduk.
Kalau datanya demikian, bagaimana negara ini
mencapai target millenium development goals (MDGs)? Bagaimana mencetak sumber
daya mumpuni kalau kebutuhan dasar manusia dalam kehidupan belum terpenuhi atau
terpenuhi tapi tak layak?
Maka ketika Aqua Danone beberapa tahun lalu membuat
iklan soal sulitnya air di NTT membuat bangsa ini seperti tergelitik sekaligus
miris.
“Sekarang sumber air sudekat. Beta sonde pernah
terlambat lagi. Lebih mudah bantu mamak ambil air untuk mandi adik. Karna mudah
ambil air, katong bisa hidup sehat,” begitu sepenggal kalimat berlogat Kupang
itu meluncur dari seorang anak.
Pariwara itu bukan hanya sebagai bukti pelaporan
kepada masyarakat bahwa mereka, Aqua, sebagai salah satu perusahaan besar telah
melakukan suatu bentuk program kepeduliannya.
Lebih dalam lagi pesan itu mendedahkan secara gamblang
bagaimana sebuah kekurangan negara ini dipertontonkan; daerah Timur Indonesia
masih kekurangan air bersih. Mengapa pemerintah tak bisa mengentaskannya sejak
Indonesia merdeka.
Padahal tiap tahun anggaran pemerintah daerah
naik, target penerimaan pajak juga naik. Bahkan jumlah orang kaya di Indonesia
yang masuk daftar majalah Forbes terus bertambah tapi kepedulian soal hajat
hidup manusia itu kurang mendapat jaminan, terutama di daerah-daerah terpencil.
Saya tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah
semata. Pernah saya membaca tulisan Sarwono Kusumaatmatja, mantan Menteri
Negara Lingkungan Hidup era 1993-1998, dalam buku Manajemen Presiden Soeharto
penuturan 17 Menteri terbitan 1996.
Menurut dia, dalam pengelolaan lingkunan hidup, bukan
hanya peran pemerintah tapi dunia ekonomi secara umum, swasta, dan BUMN.
Mesti ada peranan yang lebih besar dari sektor
swasta. Baginya tak ada pekerjaan yang bisa didorong sendiri karena pemerintah
punya kemampuan dalam hal akses dan pengetahuan tetapi keunggulan itu bahkan
kini juga dimiliki oleh swasta.
Bagi Sarwono, Indonesia jangan menutup diri jika
ada kekurangan soal lingkungan. “Kita tidak boleh defensif. Kalau ada
kekurangan diakui tapi yang harus disodorkan ke dunia luar itu bahwa kita
bekerja keras untuk memenuhi komitmen global kita,” katanya.
Kendati demikian, tentu saja sudah menjadi
kelaziman bahwa pemerintah punya kewajiban khusus untuk menuntaskan kemiskinan
di mana kesehatan merupakan satu satu aspeknya dan kesehatan pun berkaitan
dengan kebutuhan air minum bersih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar