Minggu, 14 Juli 2013

Karena Air Begitu Berharga

Gempa bumi itu mengguncang Flores. Saya baru delapan tahun ketika lindu berkekuatan 7,8 skala richter di lepas pantai Flores itu ikut menggoyangkan desa kami di Pulau Adonara.

Usia yang tak begitu mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Suasana begitu kalut. Guncangan hebat itu memaka orang-orang berlarian keluar rumah menuju lapangan, di sana sudah banyak pula berjongkok menjaga keseimbangan.

“Barero, barero,” teriak orang-orang dengan Bahasa Adonara. Histeria itu masih terngiang sampai kini. Pilu rasanya. Puluhan rumah di desa kami, Desa Waiburak, retak, miring, bahkan roboh. Beberapa kawan dan saudara kehilangan rumah, tapi saya bersyukur rumah hanya retak.

Gempa pada 12 Desember 1992 itu juga menyebabkan gelombang tsunami setinggi 36 meter, menghabiskan rumah di pesisir pantai Flores. Tsunami itu tak mengenai desa kami tapi korban tewas dalam bencana alam itu mencapai 2.100 orang, 500 orang hilang, 447 orang luka-luka, dan 5.000 orang menjadi pengungsian. Kami termasuk di antara pengungsi.

Tiap malam, rasanya tak enak karena tidur di bawah tenda terpal, persediaan makanan juga tak banyak. Air bersih pun terbatas apalagi kampung kami di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) memang terkenal dengan sulitnya air bersih.

Sebelum gempa terjadi warga mesti turun ke bawah dekat dengan pantai untuk mengambil air, tapi saat gempa siapa yang mau turun? Jadinya dengan terbatasya air minum pun tidak boleh sembarangan, kami mesti memikirkan yang lain.

Saya berupaya melupakan bencana alam itu setelah pindah sekolah ke Bekasi, Jawa Barat, sampai kuliah di Ciputat. Tapi salah satu kegiatan kampus yang mengajar ke daerah-daerah terpencil di Pulau Jawa membuat ingatan itu terngiang lagi.

Ingatan susahnya air bagi masyarakat, susahnya sarana yang disediakan oleh pemerintah setempat agar warga dengan mudah bisa terhindar dari kesulitan air bersih.

Ditjen Sumber Daya Air Kemeterian Pekerjaan Umum dalam situs resminya punya catatan soal kekurangan air di Indonesia.

Disebutkan bahwa Jawa, Bali, dan Papua merupakan daerah yang kekurangan air baku, sedangkan Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Kalimantan adalah daerah dengan surplus air baku.

 Air baru maksudnya air yang berasal dari sumber air pemukaan, cekungan air tanah dan atau air hujan yang memenuhi ketentuan baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum.

Adapun Total kebutuhan air baku di Indonesia mencapai 175 juta m3/tahun, dari jumlah itu sebesar 6,4 juta m3/tahun merupakan kebutuhan domestik, 141 juta m3/tahun kebutuhan sektor pertanian, dan 27,7 juta m3/tahun kebutuhan industri.

Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik mengemukakan di Indonesia, pemenuhan air minum yang aman baru 55,04% dan masih 80 juta masyarakat belum terpenuhi. Kondisi itu diperkirakan meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk.

Kalau datanya demikian, bagaimana negara ini mencapai target millenium development goals (MDGs)? Bagaimana mencetak sumber daya mumpuni kalau kebutuhan dasar manusia dalam kehidupan belum terpenuhi atau terpenuhi tapi tak layak?

Maka ketika Aqua Danone beberapa tahun lalu membuat iklan soal sulitnya air di NTT membuat bangsa ini seperti tergelitik sekaligus miris.

“Sekarang sumber air sudekat. Beta sonde pernah terlambat lagi. Lebih mudah bantu mamak ambil air untuk mandi adik. Karna mudah ambil air, katong bisa hidup sehat,” begitu sepenggal kalimat berlogat Kupang itu meluncur dari seorang anak.

Pariwara itu bukan hanya sebagai bukti pelaporan kepada masyarakat bahwa mereka, Aqua, sebagai salah satu perusahaan besar telah melakukan suatu bentuk program kepeduliannya.

Lebih dalam lagi pesan itu mendedahkan secara gamblang bagaimana sebuah kekurangan negara ini dipertontonkan; daerah Timur Indonesia masih kekurangan air bersih. Mengapa pemerintah tak bisa mengentaskannya sejak Indonesia merdeka.

Padahal tiap tahun anggaran pemerintah daerah naik, target penerimaan pajak juga naik. Bahkan jumlah orang kaya di Indonesia yang masuk daftar majalah Forbes terus bertambah tapi kepedulian soal hajat hidup manusia itu kurang mendapat jaminan, terutama di daerah-daerah terpencil.

Saya tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah semata. Pernah saya membaca tulisan Sarwono Kusumaatmatja, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup era 1993-1998, dalam buku Manajemen Presiden Soeharto penuturan 17 Menteri terbitan 1996.

Menurut dia, dalam pengelolaan lingkunan hidup, bukan hanya peran pemerintah tapi dunia ekonomi secara umum, swasta, dan BUMN.

Mesti ada peranan yang lebih besar dari sektor swasta. Baginya tak ada pekerjaan yang bisa didorong sendiri karena pemerintah punya kemampuan dalam hal akses dan pengetahuan tetapi keunggulan itu bahkan kini juga dimiliki oleh swasta.

Bagi Sarwono, Indonesia jangan menutup diri jika ada kekurangan soal lingkungan. “Kita tidak boleh defensif. Kalau ada kekurangan diakui tapi yang harus disodorkan ke dunia luar itu bahwa kita bekerja keras untuk memenuhi komitmen global kita,” katanya.

Kendati demikian, tentu saja sudah menjadi kelaziman bahwa pemerintah punya kewajiban khusus untuk menuntaskan kemiskinan di mana kesehatan merupakan satu satu aspeknya dan kesehatan pun berkaitan dengan kebutuhan air minum bersih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu