Jumat, 19 Juli 2013

Untung Rugi Menjual Merpati

Pesawat B727-200 Merpati, photo by indoflyer
Oleh M. Tahir Saleh

PADA Oktober 2006, secarik surat dilayangkan mantan Dirut Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan kepada Menteri BUMN kala itu Soegiharto

Isinya, soal rencana revitalisasi perusahaan penerbangan pelat merah yang dibangun pada 1962. Tidak berapa lama, rencana penyelamatan operator penerbangan dari kebangkrutan itu disetujui Soegiharto dengan tiga strategi yakni penambahan armada baru, restrukturisasi SDM, dan restrukturisasi utang.

Sayangnya, saat rencana itu direalisaikan, Merpati belum bisa men dapatkan pesawat Boeing 737. Iklan yang dipasang melalui situs www.speednews.com, 13 kali gagal menarik minat perusahaan penyewaan atau leasing dunia.

“Reputasi keuangan Merpati yang sangat buruk, lessor besar seperti GECAS, ILFC, atau pun Sumitomo menutup pintu,” katanya dalam buku Jangan Pidanakan Perdata  (2012).

Utang hingga Rp6 triliun tentu menjadi bahan pertimbangan bagi siapa pun pihak yang ingin menggandeng Merpati sebagai mitra bisnis. Utang itu seakan menjadi batu sandungan Merpati terbang setinggi maskapai BUMN lain yakni Garuda Indonesia.

Tak heran jika Kamis (11/7) pekan lalu, Menteri BUMN Dahlan Iskan kecewa dengan  perkembangan Mer pati dan akhirnya terpaksa akan menjual saham maskapai itu ke investor strategis lantaran kondisi keuangan makin memburuk.

Setengah utang itu memang diperoleh dari kerja sama dengan PT Angkasa Pura (AP) II, PT Pertamina, dan PT Bank Mandiri Tbk. Dengan restrukturisasi, ketentuan utang akan berganti baik dari sisi bunga maupun konversi utang menjadi saham.

Namun, restrukturisasi tak berjalan baik kendati masih berlanjut. Perta nyaannya, apakah ketiga BUMN itu mau begitu saja menjadi pemegang saham di Merpati yang tengah babak belur?

Bisnis inti ketiga kreditur itu ialah menjual jasa atau produk, tentu mereka menginginkan cuan bukan dibebani masuk ke perusahaan dengan utang besar.

Apalagi rating Merpati jelek, masuk dalam urutan 20 maskapai terburuk di dunia versi Skytrax bersama dengan Turkmenistan Airlines, Sudan Airways, Air Algerie, dan Ryanair.

Armada Merpati juga termasuk uzur seperti seri Boeing 737 classic yakni 737-200,  737-300, 737-400, dan 737-500.Bandingkan dengan armada Ga ruda, Sriwijaya, dan Lion Air di antaranya Boeing 737-800NG dan Boeing 737-900ER, atau AirAsia yang diperkuat Airbus A320.

Sulit bagi Merpati mengejar ketertinggalan meski saat ini manajemen menyatakan load factor sudah di atas 89%.

Semua kompetitor Merpati kini didukung pesawat modern, sedangkan maskapai pelat merah itu hanya memiliki pesawat lama ditambah pesawat baru buatan China yang masih asing di dunia penerbangan yakni MA-60.

Patut disyukuri, Merpati belum bangkrut di tengah banyak masalah, terakhir kecelakaan di Bali, padahal Batavia Air sudah lebih dahulu gulung tikar dengan utang yang lebih rendah yakni Rp2,5 triliun.

Merpati sebetulnya layak di pertahankan. Ini sama halnya dengan upaya mempertahankan perusahaan pelayaran nasional PT Djakarta Lloyd.

Pemerintah juga pernah melakukan restrukturisasi mulai dari suntikan dana,  pengurangan karyawan, revita lisasi armada, pemindahan kantor pusat, hingga penjualan aset tak pro duktif. Namun, belum berhasil juga.

OPSI PAILIT
Upaya masuknya operator jalan tol Citra Marga Nusaphala Persada gagal. Konversi  utang juga berpotensi gagal, sementara beberapa anggota DPR menginginkan Merpati dipailitkan saja karena dianggap banyak merongrong anggaran negara daripada memperkuatnya.

Pernyataan Dahlan bakal melego maskapai ini ke investor strategis menjadi pertanda pemerintah hampir putus asa. Potret Merpati adalah kegagalan direksi, kementerian terkait, dan negara yang gagal mengelola aset dan sumber daya.

Entah karena inefisiensi atau korupsi di tubuh Merpati karena masih da lam ingatan bagaimana pengadaan MA-60 yang tidak transparan hingga tak baiknya pengelolaan  manajemen.

Padahal Merpati mulai berbenah. Misalnya, mereka bakal mendatangkan Airbus A320 atau Embraer guna ekspansi ke wilayah barat Indonesia.

Selama ini, mereka melayani rute terpencil terutama bagian timur. Bila segala upaya pembenahan ini tak dukung, sulit rasanya membuat maskapai ini bertahan.

Toh jauh sebelum rencana konversi, Merpati juga pernah mengonversi utang menjadi saham dengan Garuda, besarannya 4,21% saham seperti tercatat dalam laporan keuangan Garuda.

Pada 1989, Merpati dan Garuda bah kan pernah menggelar operasi terpadu guna meningkatkan efisiensi.  Sebanyak 37 pesawat Garuda, DC-9 dan F-28 dialihkan, beberapa rute domestik  Garuda pun dialihkan ke Merpati.

Perlukah seluruh BUMN dipaksa menggunakan Merpati untuk angkutan pegawai dan kargo? Bila pembelian oleh investor strategis merupakan satu-satunya jalan keluar bagi masa depan Merpati, perlu ada sokongan pemerintah da lam bentuk penawaran tertentu.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia pada 2011 melalui PM Mahathir bin Mohammad ba rangkali patut jadi contoh dalam menjaga aset maskapai penerbangan AirAsia milik BUMN Malaysia, DRB-Hicom.Maskapai itu ditawarkan kepada Tony Fernandes, pendiri Tune Air Sdn Bhd, seharga RM1 atau setara dengan US$0,25 dengan beban utang AirAsia saat itu mencapai RM40 juta.

Kini, tak bisa ditampik AirAsia menjadi maskapai LCC yang ber kembang signifikan  di bawah Tony Fernandes.

Sejarah mencatat pada era 1985-1986, pemerintah juga pernah mengintervensi BUMN yang merugi, ketika itu PT Perkebunan (kini PTPN) IV di Sumatra Utara harus diselamatkan melalui intervensi Menteri Pertanian Achmad Affandi.

Di China, BUMN bukan hanya kendaraan mencari keuntungan, melainkan juga perpanjangan politik mereka dalam menggeser kendali BUMN di belahan bumi ke Asia dan Pasifik dari AS.

Di Singapura, negara memprakarsai pendirian BUMN yang memang dirancang memenuhi kebutuhan domestik dan pasar dunia.

Miris rasanya jika Merpati bangkrut, padahal kontribusi maskapai itu cukup besar menerbangi sejumlah daerah perintis yang tidak dilakukan maskapai komersial lain. Tentu dukungan tak cukup bila Merpati  secara internal tak termotivasi meningkatkan efisiensi dan inovasi.

Barangkali menarik apa yang dikemukakan, Nabiel Makarim, bekas anggota YLKI era 1980-an dan mantan Menteri Lingkungan Hidup, bahwa swastanisasi itu bukan menjual BUMN kepada swasta, melainkan memperkuat rule of game struktur tanggung jawab antara pengelola dan pemilik.

Bila setelah swastanisasi tapi sebuah BUMN terkait masih juga belum bergerak, di sinilah baru diperlukan pemecahan manajemen dan kesempatan pasar.

Seperti halnya pada perusahaan swasta, bila Merpati tetap tidak berkembang pascaswastanisasi jawabannya adalah menyuntik mati maskapai itu. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, Senin, 15 Juli 2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu