Jumat, 31 Oktober 2014

MOGE KLASIK DARI INGGRIS

Tom Cruise in Mission Imposible 2, by superseries.kr
Komplet secara desain, kualitas mesin, dan kenyamanan berkendara, namun branding motor besar tertua di dunia ini belum kuat di Tanah Air.

Oleh M. Tahir Saleh

SALAH SATU adegan film Mission Imposible 2 yang menegangkan ialah aksi kejar-kejaran Ethan Hunt dengan sepeda motor. Ethan, diperankan Tom Cruise, memacu kencang motornya sambil melepaskan tembakan ke arah Sean, agen IMF yang menguber di belakang. Kejar-kejaran di jalanan pun berpindah ke medan off-road. Puncaknya, kedua motor itu beradu dan meledak di udara.

Tom mengendarai Triumph Street Triple warna hitam; sedangkan Dougray Scott, pemeran Sean, menunggangi Triumph Daytona warna merah. Kesuksesan film yang dirilis pada 2000 itu kian memperkuat merek Triumph yang memang sudah menguasai 19% pasar motor gede (moge) di sana. Dua motor tipe roadster 675 cc itu dibuat Triumph Motorcycles, pabrikan motor yang didirikan oleh Siegfried Bettman pada 1884.

Daytona, by motorcycle-usa.com
Secara historis, perusahaan ini baru berproduksi pada 1902 di Coventry, Inggris. Mereka memisahkan unit mobil, lalu fokus membuat motor pada 1935. Dua tahun berselang, motor twin engine Speed Twin dirilis. Tapi dampak Perang Dunia II—yang menghancurkan pabrik Triumph—memaksa mereka pindah ke Meriden, kota di luar Birmingham pada 1940. Setelah itu, Bonneville dirilis pada 1958.

“Varian ini sangat legendaris, ada yang enggak tahu tentang Triumph, tapi kenal Bonneville,” kata Manajer Umum PT Triumph Motorcycle Indonesia Paulus B. Suranto di Jakarta, Selasa pekan lalu. Perusahaan sempat menelurkan motor bermesin 1.200 cc dengan empat silinder, tapi kembali fokus ke tiga silinder karena dinilai lebih komplet, mudah dikendarai, dan memberi pengalaman mengesankan. “Ketika di-gir empat, tiba tiba melambat, ingin overtake, enggak perlu turun gigi rendah, langsung saja kita gas, dia akan dapat torsi akselerasi dan itu sangat diapresiasi,” kata Paulus.

Pada 1982, resesi ekonomi Eropa membuat pabrik tutup. Setahun kemudian Triumph bangkit lagi setelah konglomerat properti John Bloor mengambil alih. Selepas itu, pada 1990 perusahaan ini lahir kembali dan varian-varian kerennya—dari Speed Triple hingga New Bonneville yang dimiliki pesepakbola David Beckham—dijual ke pasar dunia.

Kini Triumph punya 7 pabrik: 2 di Inggris, 3 di Thailand, masing-masing 1 di Brasil dan India. Sampai 2011, total mereka memproduksi 500.000 unit, terjual di 54 negara dengan 26 varian motor. Tahun lalu, ketika pasar moge Eropa anjlok 52%, Triumph malah naik 22% dengan total penjualan 53.000 unit. Tahun ini perseroan membidik target penjualan 57.000 unit di beberapa negara yang diincar, di antaranya China, Yordania, Arab Saudi, Oman, India, dan Indonesia.

Secara kualitas motor bongsor ini sudah teruji karena setiap model dites hingga 35.000 kilometer dan tiap bagian mesin dirampungkan hingga 10 kali agar presisinya sempurna. Desain pun mempertahankan gaya British-nya. Namun, branding motor ini di Indonesia belum sekuat merek ‘bar and shield’ macam Harley-Davidson dari Amerika. “Karena itu kami berupaya meningkatkan brand,” kata Tito Sulistio, Direktur Utama PT Gerai Motor Terpadu, diler resmi Triumph di Indonesia.

Bonneville, by silodrome.com
Mengawali distribusinya di Tanah Air, Triumph bakal meluncurkan 12 model pada 17 September dengan banderol harga antara Rp307-575 juta. Gerai Motor mengincar 10% dari total penjualan moge di Indonesia yang diperkirakan 3.500-4.000 unit per tahun. Paulus optimistis dengan penjualan mengingat keunggulannya. Setiap motor yang keluar dari pabrik, dijamin membuat pengendara nyaman. “Experience penting karena mereka membeli moge, bukan functional bike, tapi emotional bike.

Itu pula yang dirasakan Rudy Sugono, Manajer Bisnis Triumph yang saking sukanya dengan merek itu memodifikasi Triumph Truxton 865 cc. “Dibantu teman, saya modifikasi sendiri, desain sendiri,” katanya seraya menunjuk motornya. Keunggulan lainnya adalah lengkapnya jenis Triumph, yakni Urban Sport (roadster–supersport), Adventure (adventure–touring), dan Icon (classic–cruiser)—meski beberapa kritikus mencermati Triumph kurang fokus pada jenis tertentu sebagaimana merek moge lain. Dengan alokasi 50% SDM di riset, Triumph bahkan memproduksi motor ber-cc terbesar di dunia, yakni Rocket III (2.300 cc), jauh di atas mobil keluarga semacam Avanza dan Ertiga yang hanya 1.300-1.500 cc.

Menyadari kelemahan branding, Tito bakal merangkul pemilik moge melalui komunitas. Semua pembeli langsung menjadi anggota klub Rider Association of Triumph (RAT) yang sudah eksis di beberapa negara. Gerai Motor juga mengalokasikan 1.000 meter persegi untuk lahan safety riding saban Sabtu dan Minggu. “Showroom kami akan menjadi salah satu dari lima terbesar di dunia dengan 420 meter persegi, belum lagi ditambah bengkel dan lahan safety riding,” kata pria berkumis pendiri Harley Owners Group (HOG) Indonesia ini.

Tentu tak mudah, akan terjadi persaingan sengit memperebutkan pasar moge yang cukup kecil dan sangat tersegmentasi ini. Selain Triumph, telah bercokol Harley-Davidson, lalu Indian Motorcycle, pabrikan Amerika yang juga baru masuk. Tapi Tito optimistis, apalagi daya beli masyarakat terus meningkat. “Prioritas kami membangun komunitas. Prinsipnya, orang beli moge bukan untuk dipakai sehari-hari. Dia pengen bergaul kok,” katanya. “Saya bisa klaim rata-rata pembeli moge itu sudah punya rumah dan mobil. Kalau enggak punya, tapi malah beli moge bisa-bisa digebukin sama istri lho.” □

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 25 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu