Merapi's track, doc |
'Untuk Anda yang terhindar dari bencana, maka
syukurilah hidupmu'
Oleh M. Tahir Saleh
DERU mesin Jeep Willys keluaran 1944 mulai
terdengar nyaring. Dari balik kemudi, Mesran (30), siap tancap gas membawa saya
menyusuri kawasan bekas erupsi Gunung Merapi. Sebuah wisata yang disebut
Volcano Tour, menjadi salah satu alternatif pelesiran di Yogyakarta.
Untuk menuju ke sini, butuh sekitar 30-45 menit
dari pusat kota menggunakan kendaraan pribadi. Ada pula angkutan umum, tapi
harus beberapa kali naik turun. Ketika sampai, saya langsung diberi tiga
pilihan. Mau rute pendek, menengah, atau panjang. Inginnya sih langsung rute panjang, tapi karena
hari sudah siang, saya pilih rute pendek bertarif Rp250.000 (tarif turis bule
Rp300.000). Harga ini bukan perorangan melainkan per satu jip. Sempat kaget
juga karena mode transportasinya mobil bekas Perang Dunia II. Namun, begitu
tahu medannya penuh liku dan batu, rasanya ini memang ‘makanan’ jip. Di 86
Merapi Jeep Tour Community, salah satu penyedia jasa, juga tersedia mobil four-wheel
drive lain seperti Daihatsu Taft, Landcruiser, Suzuki Jimny, dan Land
Rover.
Mesran, doc |
Mesran mulai menggerakkan kemudi setir ke arah
barat kaki Gunung Merapi. Jip beratap terbuka ini memberi sensasi unik karena
penumpang bebas menghirup udara, adrenalin pun kian terpacu saat melewati
bebatuan besar. Para penyuka petualangan ekstrem mesti mencobanya.
Tujuan pertama kami bekas Dusun Jambu. Kampung ini
merupakan salah satu wilayah terdampak erupsi cukup parah. Tak ada lagi sisa
'bangkai' rumah. Hanya tampak sebuah batu besar mirip wajah seorang kakek yang
dinamai Batu Alien. “Bagi yang percaya, batu ini dianggap keramat. Sejak muncul
pasca-erupsi sudah berbentuk wajah kakek-kakek dan ndak bisa
dipindahkan,” cerita Mesran. “Pakai alat apa pun, tetap ndak bisa
dipindahkan.” Malahan beberapa penganut kepercayaan tertentu kerap mendatangi
lokasi ini untuk berdoa dan menaruh sesajen. Mereka percaya batu tersebut
'hidup' dan wujud penghuni Merapi. “Ya, ada yang meyakini seperti itu. Tapi,
diambil sisi positifnya saja bahwa Batu Alien ini kemudian menjadi salah satu
objek menarik dalam Volcano Tour.”
Perjalanan dilanjutkan ke bekas bungker di Kampung
Kaliadem. Letaknya tak jauh dan masih melewati jalanan curam penuh batu besar.
Di tengah jalan, kami sempat berhenti melihat uap panas abadi yang keluar
alami. Saya menjajalnya. Ternyata benar. Dari dalam pasir muncul uap halus,
terasa hangat. “Sejak erupsi terakhir 2010 lalu, uap ini keluar terus, ndak
pernah berhenti. Kalau ditaruh telur, lama-lama matang sendiri,” tuturnya.
Pemandangan di dekat uap itu pun sangat indah karena tempat ini paling dekat
dari puncak gunung. Banyak orang memanfaatkan spot tersebut untuk berbagai keperluan seperti syuting film atau
foto pranikah.
Tak lama kemudian, kami tiba di bekas bungker yang
selesai dibuat pada 2005. Bungker ini dulunya digunakan warga untuk berlindung
dari ganasnya erupsi Merapi. Namun, sejak 2006 berhenti difungsikan lantaran
tak sanggup menahan panas. "Waktu itu ada dua relawan yang tewas karena
terjebak di dalamnya. Bungker ini menjadi tempat yang tidak aman karena
ternyata panas Merapi bisa tembus,” ujar Mesran.
Kondisi bungker gelap gulita. Ada beberapa bagian
ruangan, salah satunya kamar mandi. Ada pula meja bundar berukuran besar, di
atasnya ada sesajen. Hawa di dalam terasa dingin dan lembab. Sedikit
memunculkan kesan mistis yang menjadi daya tarik banyak orang. “Di sini sering
dipakai lokasi uji nyali juga buat acara di televisi. Ya, bagi yang percaya,
tempat ini dianggap mistis atau keramat, tapi bagi yang ndak percaya,
biasa saja,” katanya. Di sekitar bungker, beberapa warga yang dulu bermukim di
kaki Merapi mencoba berwirausaha dengan menyewakan toilet, menjajakan dagangan
dari minuman, makanan, hingga bunga Edelweis.
“Saya sama kayak warga
lain, sempat mengungsi. Hewan ternak saya mati semua. Saya dapat pinjaman bank
Rp1 juta buat usaha,” cerita Yamirah, 42 tahun, penjual bunga Edelweis. “Kalau
sedang ramai pengunjung, saya bisa dapat Rp300.000. Kalau sedang sepi, ya
seadanya saja sudah alhamdulillah.”
Lokasi tersebut tidak begitu ramai, tapi menjadi
pos peristirahatan bagi peserta Volcano Tour. Menjelang siang, Mesran lalu
mengarahkan kami ke jalan pulang, tapi bukan langsung kembali ke pos awal,
melainkan singgah di Museum Sisa Hartaku. Kalau mengambil rute menengah atau
panjang, peserta tur bisa mampir di bekas rumah mendiang Mbah Maridjan, kuncen
Gunung Merapi, dan lokasi menarik lain.
Museum, doc |
Museum Sisa Hartaku ini unik, bisa dilihat dari
struktur bangunan rumah yang dibiarkan asli dan seluruh barang di sana. Rumah
yang dijadikan museum ini sebetulnya milik warga korban Merapi, keluarga
Riyanto. Isinya berupa barang-barang yang menjadi saksi bisu dahsyatnya erupsi
2010. Tengoklah di bagian teras. Di situ, ada bangkai sapi yang tinggal tulang
belulang, motor Suzuki yang hangus terbakar, patahan tembok bertuliskan 'Merapi
tak pernah ingkar janji', juga kursi kayu yang tertutup debu.
Masuk ke dalam, pemandangan menyayat hati
meninggalkan kesan mendalam. Diiringi lagu Ebiet G. Ade, semua sisa harta warga
dibiarkan 'bicara'. Ada jam dinding yang berhenti pada angka 00.05 (waktu
erupsi terjadi), sisa pakaian, foto-foto keluarga, alat-alat dapur, radio,
televisi yang hangus, dan banyak lagi. Berada di sana seolah mengajak
pengunjung kembali ke masa lalu, ketika erupsi dahsyat memorakporandakan
kehidupan warga, saat kehangatan keluarga berubah sirna hanya dalam hitungan
detik.
Rute pendek Volcano Tour yang
hanya sekitar satu jam itu bukan wisata ekstrem semata. Selain dimanjakan
panorama Merapi nan indah, beberapa lokasi justru menghadirkan renungan
spiritual. Misalnya tulisan di salah satu tembok Museum Sisa Hartaku: 'Untuk
Anda yang terhindar dari bencana, maka syukurilah hidupmu'. Erupsi Merapi
memang terlalu menyakitkan bagi mereka yang kehilangan, baik keluarga maupun
harta benda.
Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia,
16 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar