Jumat, 24 April 2015

MENCARI AMAN DI DUNIA MAYA

Ilustrasi, by wpchannel
Oleh M. Tahir Saleh

“DANA nasabah Rp30 miliar dibobol.” Begitu bunyi berita utama sebuah koran nasional di Jakarta pada Kamis pekan lalu. Para pelaku diduga sindikat peretas (hacker) internasional yang berbasis di Ukraina. Mereka membobol 300 rekening nasabah tiga bank besar di Indonesia lewat internet banking. Modusnya menyebarkan perangkat lunak perusak sistem komputer atau malicious software (malware). Kasus tersebut kini ditangani Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.

Tak hanya perusahaan di Indonesia, lembaga keuangan global juga tak luput dari usaha peretasan. Awal tahun ini, sempat terungkap bagaimana sepak terjang Carbanak, geng kriminal berisi orang-orang Rusia, Ukraina, dan China, yang membobol sekitar 100 lembaga keuangan di 30 negara sejak 2013. Tak tanggung-tanggung, Bloomberg mencatat, uang yang mereka gondol menembus US$1 miliar atau sekitar Rp12 triliun dalam dua tahun beroperasi.

Kejahatan dunia maya atau cybercrime yang dilakukan para hacker seperti itu adalah masalah yang terus-terusan muncul. Seiring dengan kecanggihan teknologi, para hacker pun tak kalah cerdik memanfaatkan celah sistem keamanan dunia maya.

Dua pekan sebelum kejadian di Jakarta tersebut, Fortinet, perusahaan global dalam solusi keamanan dunia maya, menggelar konferensi internasional soal cybersecurity di Seoul, Korea Selatan, selama hampir sepekan. Bloomberg Businessweek Indonesia berkesempatan hadir dalam acara tersebut guna mengetahui bagaimana perusahaan-perusahaan, khususnya di Asia-Pasifik, mengantisipasi serangan kejahatan dunia maya. Beberapa klien Fortinet seperti National Institute of Education Singapore dan Oakwood juga diundang untuk berbicara.

Fortinet juga bekerja sama dengan lembaga riset Frost & Sullivan untuk menghimpun informasi dan data soal kejahatan virtual. Hasilnya, tren serangan dunia maya makin marak. Peretas juga makin “cerdik” dan sudah tahu model bisnis perusahaan yang diincar. Lembaga riset itu mencatat, pada Desember 2014, fasilitas operasi nuklir di Korea Selatan dibobol. Serangan cyber di Jepang juga naik dengan menyasar kerentanan perangkat lunak. “Perusakan situs paling umum terjadi, diperkirakan 295.000 situs dirusak pada 2014,” kata Edison Yu, direktur untuk ICT Practice Frost & Sullivan Asia Pasifik, di Seoul.

Dengan fakta ini, serangan para hacker sebagaimana terjadi di dunia tak luput menjadi perhatian Fortinet. Menurut Country Manager Fortinet Indonesia Jeremy Andreas, peningkatan tren serangan peretas tak terelakkan dan makin berbahaya. Akibatnya, risiko baik finansial maupun reputasi bagi perusahaan menjadi tinggi karena pembobolan data perusahaan yang bersifat rahasia.

Gejala serangan yang kini marak terjadi ialah advanced persistent threat atau APT. Ancaman ini muncul seiring maraknya tren perangkat mobile dan smart-device pekerja yang terhubung dengan jaringan teknologi informasi (TI) perusahaan.

APT adalah serangan jaringan yang bertujuan mencuri data dari perusahaan tempat jaringan tersebut berada. Lazimnya, serangan APT membidik perusahaan seperti jasa keuangan, lembaga pertahanan, dan manufaktur yang punya informasi penting. Parahnya, APT sulit terdeteksi oleh antivirus. Kecanggihan serangan ini juga berkaitan dengan tujuan para peretas. “Dahulu para hacker ingin eksistensi, sekarang arahnya mengeruk keuntungan finansial dari serangan APT itu,” kata Glen Francis, Vice President IT Management  Association (ITMA), asosiasi TI di Singapura. “Di negara kami, hampir semua [organisasi] memakai sistem keamanan,” kata Glen yang mengestimasi bujet terendah untuk keamanan cyber antara 5-10% dari bujet TI perusahaan yang berkisar US$10 juta.

Lubang serangan juga makin menganga karena fragmentasi kelompok APT kian besar sehingga ada potensi bakal lebih banyak lagi perusahaan yang diserang. Bank-bank juga kini dibidik secara langsung. Bahkan, para hacker diprediksi memanfaatkan layanan komputasi awan (cloud) untuk mentransfer data dari komputer secara ilegal.

George Chang, by Fortinet
Fortinet menyadari serangan APT tersebut dan meluncurkan program ATP atau Advanced Threat Protection. Awal April ini, perusahaan yang berbasis di California, Amerika, ini juga merilis framework keamanan terbaru memakai platform teknologi ketiga. “Kami membedakan diri dalam pasar dengan memberi jasa konsultasi strategis yang tidak diberikan vendor lain,” kata George Chang, Vice President Fortinet untuk Asia Tenggara dan Hong Kong.

Tahun lalu, perusahaan yang didirikan oleh Ken Xie ini mencatatkan kinerja cukup baik sejak didirikan pada 2000. Fortinet mencatatkan pendapatan US$770 juta, melesat dari 2003 yang hanya US$13 juta. Saat ini Fortinet terbesar ketiga di dunia dengan market share 7,34% setelah Cisco (Sourcefire) 17,77%, dan Check Point 12,97%. Pesaing lain, yakni PAN, McAfee (Stonesoft), dan Juniper. Di Indonesia, mereka ada di urutan ketiga dengan market share 13,6%. Beberapa klien global mereka di antaranya Oracle, Coca Cola, Yahoo Japan, IBM, Microsoft, Apple, dan Salesforce.

Di tengah ancaman serangan tersebut, Derek Manky, Global Security Strategist Fortinet, mengatakan pihaknya juga bekerja sama lembaga keamanan di antaranya dengan MyCERT (Malaysia Computer Emergency Response Team), Interpol, dan San Francisco Electronic Crimes Task Force guna memitigasi ancaman.

Fortinet tetap mengimbau agar perusahaan memperhatikan betul soal cybersecurity ini. Apalagi, keamanan data telah berkembang pesat tak hanya perlindungan perimeter, tapi juga mencakup upaya penanggulangan malware yang kadung menyusup dan mengakar di jaringan TI perusahaan.

Di Indonesia, beberapa sektor seperti perbankan sudah menyadari serangan virtual. Tapi, kepatuhan perbankan juga didorong oleh regulasi Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Namun umumnya, perusahaan nasional baru sebatas mengandalkan software keamanan yang ditanamkan pada server, padahal mestinya dibuat sistem berlapis yang diperbarui secara berkala. “Tapi kami optimistis, dengan sosialisasi berkelanjutan, kesadaran perusahaan soal ini akan meningkat. Kalau di pasar modal sih hampir semua perusahaa efek mengerti,” kata Jeremy.

Selain minimnya kesadaran perusahaan, satu hal yang juga disayangkan ialah infrastruktur TI di Indonesia yang belum
sepenuhnya mendukung, terutama bandwidth. Edison dari Frost & Sullivan menambahkan langkah pencegahan serangan ialah memakai pendekatan teknologi holistik dan integrasi serta keahlian sumber daya manusia (SDM). Eric Chan, Solution Consulting Director Fortinet untuk Asia Tenggara, juga menekankan soal ini mengingat banyak perusahaan berskala global—seperti Adobe, Sony Picture, dan jaringan peritel Target—tak luput dari serangan. “Tentu peran SDM penting karena berkaitan juga dengan integritas,” kata Eric. 


Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, edisi 20 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu