Jumat, 24 April 2015

SINYAL MERGER DARI YANG TERSISA

Tiga tahun berturut-turut mencetak rugi, dua operator telekomunikasi berbasis CDMA ini menggabungkan jaringan, indikasi awal merger kedua perusahaan.

Oleh M. Tahir Saleh dan Ratna Wahyuningsih

Anindya, photo by flickr
RABU sore, 14 Maret 2012, Anindya Novyan Bakrie menggelar konferensi pers di sebuah hotel ternama di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Komisaris Utama PT Bakrie Telecom Tbk.—yang kala itu menjabat direktur utama perseroan—membeberkan kerja sama bisnis dengan mitranya, PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI). Hadir pula Michael Sampoerna, anak dari taipan Putera Sampoerna, mewakili pihak STI.

Kemitraan yang dimaksud adalah perjanjian jual beli bersyarat. Bakrie Telecom, operator Esia, akan mengakuisisi 35% saham STI, operator Ceria, dengan harga US$21,5 juta. Dalam 3 tahun ke depan, emiten berkode saham BTEL itu bisa menambah kepemilikan hingga 100%. Lantaran belum dapat uang tunai, aksi korporasi akan direalisasikan melalui skema tukar guling saham atau share swap BTEL kepada pemegang saham STI: Sampoerna Strategic dan Polaris Mobile Pte. Ltd. Lewat jual beli bersyarat ini, Sampoerna Strategic dan Polaris akan menggenggam saham Bakrie Telecom.

Tapi kemitraan tersebut hingga kini belum terealisasi penuh. Anindya belum memberi penjelasan berarti. “Kerja sama dengan STI belum terjadi, saat ini kami fokus internal dulu. Setelah kuat, baru kami akan melakukan apa yang sudah direncanakan,” tulis manajemen Bakrie Telecom dalam dokumen paparan publik, 20 Desember tahun lalu.

Setelah aksi korporasi dengan STI belum terealisasi, Bakrie Telecom kembali menempuh strategi baru untuk lebih menggenjot kinerja perseroan. Akhir bulan lalu, Bakrie meneken perjanjian penggabungan usaha penyelenggaraan dan sewa menyewa jaringan telekomunikasi dengan PT Smartfren Telecom Tbk., kompetitornya di bisnis telekomunikasi berbasis code division multiple access (CDMA). Tujuannya menghemat pengeluaran dan efisiensi operasional bagi kedua perusahaan. Penggabungan jaringan ini mencakup base tranceiver station (BTS) hingga spektrum frekuensi 5 MHz di pita 800 MHz. Dengan demikian, Bakrie tak lagi mengoperasikan jaringan, melainkan menyewa ke Smartfren. Di sisi lain, Smartfren menerima tambahan alokasi frekuensi selebar 5 MHz milik Bakrie di pita 800 Mhz.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah merestui aksi tersebut dengan menerbitkan surat izin buat Smartfren. Menariknya, dari perjanjian ini, Bakrie akan menjadi salah satu pemegang saham emiten berkode FREN itu. Besaran saham Bakrie di Smartfren kabarnya bisa mencapai 10-15%. Tapi, manajemen Bakrie enggan mengungkap detailnya. Pihak Smartfren mengatakan komposisi saham baru kelihatan akhir tahun ini. “Besarannya belum tahu secara detail, ada nanti di laporan akhir tahun,” kata Direktur Smartfren Merza Fachys kepada Bloomberg Businessweek Indonesia, Kamis (13/11).

Photo by artistarefill.com
Bakrie Telecom menunjuk PT Asuransi Sinarmas sebagai penjamin (surety) atas pembayaran kewajiban perseroan kepada Kemenkominfo untuk pembayaran biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dan BHP telekomunikasi. Seandainya jaringan teknologi Smartfren bermigrasi ke teknologi 4G Long Term Evolution (4G LTE), Bakrie Telecom juga diberikan hak ikut serta sehingga membuka peluang bisnis baru melalui teknologi baru tersebut pada frekuensi 850 MHz.

Kendati jaringannya bergabung, Direktur dan Sekretaris Perusahaan Bakrie Telecom Harya Mitra Hidayat, dalam keterbukaan informasi 3 November, menegaskan kedua emiten tetap menjadi entitas terpisah. Tidak ada penggabungan perusahaan, tak ada pula perubahan aktivitas usaha jasa telekomunikasi.

Sejumlah pelaku pasar menduga, merger jaringan tersebut adalah indikasi awal terjadi konsolidasi antara Bakrie dan Smartfren, sinyal kuat merger menjadi satu entitas bisnis. Namun, manajemen Bakrie seolah mengunci akses informasi soal ini. Direktur Utama Bakrie Telecom Jastiro Abi enggan merespons pesan singkat dan telepon, begitu pula Anindya Bakrie ketika dikontak melalui pesan singkat, telepon, dan surat elektronik. Harya juga belum memberi tanggapan. “Maaf, saya sedang sibuk luar biasa untuk mengatur run operasional perusahaan, tidak bisa merespons segera,” katanya lewat pesan singkat. “Saya lagi perjalanan dinas ke luar negeri.” Surat elektronik yang dikirimkan kepadanya juga bertepuk sebelah tangan.


**

Saat ini bisnis telekomunikasi berbasis CDMA tinggal menyisakan tiga pemain: Smartfren, Bakrie Telecom, dan STI dengan brand Ceria. Smartfren dan Bakrie masing-masing memiliki 5 MHz di frekuensi 850 MHz, sedangkan Ceria di 450 Mhz. Operator CDMA yang sudah tereliminasi ialah Flexi milik PT Telekomunikasi Indonesia Tbk.—dialihkan ke Kartu AS dan Kartu Halo—dan StarOne kepunyaan PT Indosat Tbk.

Kinerja Ceria belum terungkap karena perusahaan tertutup, sedangkan performa bisnis Smartfren dan Bakrie masih negatif. Berdasarkan laporan keuangan yang dikompilasi Bloomberg Businessweek Indonesia, Bakrie terakhir mencatat laba pada 2010 Rp9,98 miliar, tapi seterusnya mulai 2011 merugi seiring dengan pendapatan yang terus tergerus. Pada kuartal kedua tahun ini—laporan September belum dirilis di Bursa Efek Indonesia (BEI)—rugi Bakrie Telecom mencapai Rp316,83 miliar.

Sejak tahun lalu, emiten yang dikuasai mayoritas oleh PT Bakrie & Brothers Tbk. ini juga mengalami defisiensi modal, alias ekuitas negatif. Itu artinya, jika seluruh aset dijual, lalu uangnya dipakai untuk membayar semua utangnya, tidak akan cukup. Kondisi Smartfren tak jauh beda, terakhir mencatatkan laba pada 2007 sebesar Rp50,35 miliar. Setelah itu ruginya terus membengkak mulai dari 2008 hingga tahun lalu. Per September tahun ini, rugi perusahaan Grup Sinarmas ini tercatat Rp939,93 miliar meski pendapatannya naik. Smartfren sudah merugi dalam lima tahun terakhir, sedangkan Bakrie rugi terus dalam 3 tahun terakhir.

Harga saham keduanya juga stagnan. Harga saham BTEL pekan lalu masih Rp50—bertahan sejak 1 November 2012. Smartfren? Sama saja, setali tiga uang. Harganya Rp68 per saham dibandingkan dengan awal November tahun lalu Rp50 per saham. Di mata investor dan analis, saham dua perusahaan ini kurang menarik.  “Kami tidak cover dua emiten ini, ibarat restoran, kalau tidak laku, sulit menawarkannya,” kata seorang kepala riset perusahaan sekuritas.

Model-model Smartfren, photo by Tribunnews
Pendapatan Smartfren paling banyak disokong dari data, sedangkan kontributor terbesar Bakrie masih dari layanan voice dan SMS. Baik Smartfren maupun Bakrie juga terus berupaya meningkatkan kinerja keuangan. Dalam paparan publik 6 Juni lalu, Djoko Tata Ibrahim, Commercial Group Head Smartfren, dan Direktur Keuangan Antony Susilo mengatakan aktivasi smartphone mereka sudah mencapai 500.000 pada kuartal pertama tahun ini. Perseroan juga masih menjajal kerja sama dengan Lenovo dan Xiaomi. Hingga saat ini jaringan Smartfren menjangkau hampir semua pusat populasi Tanah Air dengan jumlah BTS mencapai 5.708, terdiri dari Jawa dan Bali (4.225), Sumatra Utara (689), Sumatra Selatan (403), Kalimantan (117), dan Sulawesi (274).

Manajemen Smartfren berupaya meningkatkan kapasitas dan teknologi jaringan serta menyiapkan dana untuk membayar utang jatuh tempo 2015. Penambahan dana bukan lewat tambahan pinjaman, tapi dengan obligasi wajib konversi guna memperbaiki struktur permodalan dan tidak menambah beban bunga. Meski kerap menggondol penghargaan a.l The Most Wanted Android Phone 2014 dari Lazada dan Indonesia Customes Satisfaction Award, performa bisnis mereka belum terangkat.

Bakrie juga menerapkan sejumlah upaya, di antaranya optimalisasi kapasitas untuk percakapan dan data serta fokus ke Jakarta, Banten, dan Jawa Barat (JBJB)— pasar utama Esia. Bakrie juga memperkuat kemitraan dengan beberapa distributor untuk menjamin ketersediaan handset, meremajakan merek Esia, fokus memperkuat layanan percakapan, dan mendorong pertumbuhan data melaui smart devices. Kolaborasi dengan vendor untuk pengadaan perangkat cerdas LTE juga dijajaki. Selain itu, Bakrie mengontrol ketat biaya, mengendalikan operasi, dan meningkatkan struktur modal melalui re-profil atau penjadwalan kembali kewajiban. Hanya saja, beban kewajiban yang terus naik—sebagian besar karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar—berimbas pada utang dan pinjaman dalam mata uang asing.

Bahkan, baru-baru ini mereka digugat kreditor global bond di Amerika. Dalam penjelasannya ke BEI, Bakrie tengah memproses proposal re-profil pembayaran kupon obligasi. Institusi yang paling besar memegang US Global Bond Bakrie ialah JP Morgan Chase Bank National Association US$184,68 juta (48,6%), Citibank US$141,12 juta (37,1%), dan State Street Bank and Trust Company US$11,50 juta (3,0%). Bakrie Telecom belum membayar kupon obligasi jatuh tempo pada November 2013, Mei 2014, dan 7 November 2014 masing-masing US$21,85 juta.

Di luar persoalan utang Bakrie, peluang perusahaan untuk bertumbuh masih besar di tengah prediksi industri telekomunikasi berbasis CDMA yang belum membaik. Hadirnya teknologi baru seperti 4G LTE membuat emiten telekomunikasi tak bisa menampik untuk menyesuaikan diri. Dalam public expose-nya, manajemen Bakrie optimistis prospek bisnis tetap lantaran penetrasi smartphone di Indonesia baru sekitar 20%. Hanya saja pertumbuhan traffic data tidak sejalan dengan pertumbuhan pendapatan karena tren tarif layanan yang menurun.

Menurut pengamat telekomunikasi Budi Raharja, optimistis itu wajar didengungkan oleh operator. Apalagi teknologi CDMA sebetulnya cukup baik dibandingkan dengan, misalnya, GSM—global system for mobile communication. “Ini masalah persepsi saja, padahal CDMA baik, kalau kita lihat 3G-nya bisa lebih tinggi, tapi entry masuknya itu ke middle class ke bawah,” katanya, pekan lalu. “Jadi bagaimana membangun kembali persepsi teknologi ini saja.”

Satu persoalan lain, yakni bisnis telekomunikasi butuh bujet besar. “Nanti ada 4G LTE, setelah itu ada lagi teknologi lain. Selalu berubah. Maka perusahaan harus punya ‘kantong semar’. Ceruk pasar CDMA, kata Budi, masih besar mengingat teknologi yang saat ini ada pun belum sepenuhnya menunjang aktivitas. “Kadang kita punya teknologi hebat, tapi secara bisnis jelek. Sebetulnya masih ada peluang. Fokus pada coverage dan kualitas. Layanan saat ini saja kurang reliable. Saya saja pakai empat modem dari empat operator karena kualitas parah.”

Analis Trimegah Securities, Gina Novrina Nasution juga menilai sejauh ini sektor CDMA memang belum membaik. Tapi ke depannya teknologi ini akan ditunjang dengan gadget-gadget baru yang dirilis sejumlah merek ponsel terbaru, salah satunya Xiaomi dengan dua kartu SIM—GSM dan CDMA. Apalagi, Gina melihat karakteristik pengguna saat ini yang belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi 3G dan 4G. “Masyarakat memang memakai 3G atau 4G, tapi untuk voice dan video, orang belum banyak memanfaatkannya. Penetrasi CDMA di berbagai daerah yang jauh juga belum besar. Peluang tetap ada.”


**

JP Morgan memprediksi setidaknya butuh waktu 13 tahun untuk mencapai titik impas belanja modal bagi operator telekomunikasi. Sebab itu, kerja sama jaringan antar-operator atau konsolidasi mesti didorong agar investasi lebih menguntungkan.  Estimasi JP Morgan ini dikutip Bakrie Telecom dalam dokumen paparannya di BEI dan benar-benar mereka tempuh.

Kerja sama Bakrie Telecom dan Smartfren disebut penggabungan jaringan—yang menjadi satu di bawah operasi Smartfren. “Dalam bahasa aksi korporasi bisa saja disebut ‘Smartfren mengakuisisi jaringan milik Bakrie Telecom,’ tapi yang jelas bukan akuisisi perusahaan,” kata Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono, pekan lalu.

Proses semacam itu menurutnya boleh demi menyehatkan kedua perusahaan. Proposal yang diajukan keduanya ke Direktorat Jenderal Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika Kemenkominfo juga sudah disetujui. Sang dirjen belum bisa berkomentar jauh soal sewa menyewa jaringan ini dan kebijakan baru pemerintah. “Saya masih meeting di Tokyo,” katanya singkat.

Kejelasan hukum ini penting agar jangan sampai kasus dugaan penyalahgunaan kerja sama frekuensi 3G antara Indosat dan PT Indosat Mega Media (IM2)—yang masuk ke ranah hukum—terjadi pada Bakrie dan Smartfren. Dalam kasus Indosat-IM2, mereka dianggap bersalah karena merugikan negara. IM2, sebagai penyelenggara layanan internet, memakai frekuensi milik Indosat untuk jasa internet mobile. Tapi, IM2 tak membayar BHP frekuensi dan hanya membayar sewa penggunaan frekuensi kepada Indosat.

Menurut Nonot, penggabungan jaringan membuat Bakrie Telecom tak lagi terbebani BHP frekuensi, tapi hanya membayar BHP jasa telekomunikasi. BTEL pun tak lagi memiliki lisensi Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) karena sudah dicabut pemerintah. Konsolidasi semacam ini memang sejak lama didorong pemerintah. “Itu cara terbaik untuk menyehatkan industri,” kata Nonot.

Seorang sumber mengungkapkan merger Bakrie dan Smartfren bisa saja terjadi, tetapi masih mencari mekanisme yang tepat mengingat peraturan merger dan akuisisi di industri telekomunikasi belum detail. Ditambah lagi ada izin-izin dan lisensi yang diberikan kepada perusahaan. “Memang sedang dicari mekanisme konsolidasi yang pas,” katanya.

Gandi, by lintas.me
Gandi Sulistiyanto Soeherman, Presiden Komisaris Smartfren dan Managing Director Grup Sinar Mas, belum menjelaskan apakah merger jaringan itu pertanda awal Sinarmas akan mengakuisisi Bakrie atau melakukan merger. “Hubungi Pak Merza, saya masih di luar negeri,” katanya. Direktur Smartfren Merza Fachys menjelaskan ada macam-macam izin, mulai dari izin penyelenggaraan jaringan, penyelenggaraan jasa, dan nilai tambah. Kemitraan dengan Bakrie baru sebatas izin penyelenggaraan jaringan sehingga tidak dicampuradukkan dengan merger korporasi. “Contoh, BTEL punya izin penyelenggaraan SLI [Sambungan Lansung Internasional], nah itu tetap mereka pegang.”

Prinsip kerja sama itu lahir atas dasar keinginan memperbaiki kinerja kedua emiten dan tidak menghilangkan salah satu dari keduanya. “Saya tidak tahu [apakah akan merger secara korporasi], maksudnya kita lihat progress-nya dahulu setelah penggabungan jaringan ini agar sama-sama sehat,” katanya. “Kalau memang apa yang kami inginkan tidak terjadi [atau masih rugi]. Yah polanya harus berubah.” Di sisi lain, Smartfren juga tidak akan mematikan teknologi CDMA meski terus hadir teknologi anyar. “Ada 4G. Ya harus diikuti, tapi apakah yang lama dimatikan? Buktinya 3G masih ada. Kalau masih menguntungkan, misalnya 4G bisa meledak dan bisa untung gede dan sudah saatnya CDMA dimatikan, yah kami tidak ada keharusan mematikan CDMA.”

Analis PT First Asia Capital David Nathanael Sutyanto menilai proses merger yang kemungkinan terjadi bakal memakan waktu lama dan alot. Pasalnya, utang kedua emiten sangat besar. “Merger agak susah karena kondisi keuangan BTEL parah,” katanya. “Kalaupun ada aksi akuisisi, secara logika ya Smartfren akan mencaplok Bakrie Telecom. Jika demikian, BTEL harus memasang harga murah agar Smartfren mau mengakuisisi salah satu anak usaha grup Bakrie tersebut. “Pertimbangannya mau atau enggak FREN caplok BTEL, mengingat BTEL utangnya masih menggunung. Kalau melalui skema akuisisi, harus ditawarkan dengan harga yang sangat miring.”

Namun bagi William Suryawijaya, analis PT Asjaya Indosurya Securities, merger akan menguntungkan kedua belah pihak. Smartren didukung jaringan di daerah, sedangkan Bakrie Telecom punya saham di media sosial Path. Keuntungan ini bagus untuk menyasar kalangan remaja yang tengah menggandrungi jejaring sosial. “Utang BTEL dan FREN masih besar. Kalau mereka merger, harus memikirkan win-win solution. Terkait isu merger, itu kembali lagi ke emiten masing-masing.”

BEI juga belum mendengar jelas kabar ini. Direktur Penilaian Efek BEI Hoesen hanya mengatakan isu tersebut baru sebatas rencana dari kedua belah pihak, tapi belum terealisasi. Jika terjadi akuisisi saham dari emiten tanpa harus merger, memungkinkan asal ada kejelasan keterbukaan kepada publik.

Kepala Eksekutif Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida menolak berkomentar sebab dokumen terkait aksi korporasi dari pihak Bakrie dan Smartfren belum masuk. Ia hanya menegaskan semua aksi korporasi emiten sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan pasar modal. Sebagai pengawas pasar modal yang pertama, OJK wajib mengetahui secara jelas dan rinci soal aksi korporasi emiten.

Apalagi, katanya, OJK mengetahui bahwa pada 12 November, Bakrie Telecom kembali melayangkan keterbukaan informasi perihal keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Isinya memberi tenggat 30 hari kepada BTEL untuk merestrukturisasi utang jatuh tempo atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) kepada PT Netwave Multi Media selaku kreditor. Informasi ini menjadi tambahan bagi OJK untuk melakukan pengawasan.

Total kewajiban Bakrie Telecom per Juni 2014 yang menembus Rp10,20 triliun—kewajiban jangka panjang dan jangka pendek—bisa menjadi satu kendala merger atau akuisisi yang tentu butuh pertimbangan serius. Merza tidak menjawab secara pasti soal ini. “Mudah-mudahan, masalah obligasi mereka akan segera solved.”—Bersama dengan Iwan Supriyatna dan Purjono Agus Suhendro.

Words:2.343
Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, edisi 17 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu