Tak lama lagi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pergadaian, yang kini digodok oleh Panitia Antar-Departemen (PAD) bentukan pemerintah, akan selesai.Jika disetujui Presiden dan akhirnya diamini parlemen dalam sidang paripurna, monopoli Perum Pegadaian sejak tahun 1901 akan segera berakhir.
Swasta, perseorangan, bahkan pihak asing pun punya kans yang sama untuk membentuk perusahaan jasa pergadaian, kondisi yang pernah terjadi ketika penjajah masih bercokol di bumi Indonesia.
Berakhirnya monopoli lembaga yang lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada 1 April 1901 itu barangkali sudah lama ditunggu-tunggu oleh sebagian pihak yang tak sabar mengeruk keuntungan.
Bukan saat ini saja usaha gadai dibidik swasta, melainkan saat zaman penjajahan swasta juga melirik usaha ini. Bahkan, sedari awal sebagaimana dalam buku Pegadaian dan Rakyat Kecil terbitan Perum Pegadaian, 2009, sejak pertama menjejakkan kaki di Nusantara, usaha gadai salah satu primadona bisnis Belanda melalui Bank Van Leening, lembaga bentukkan Vereenidge Oost Indische Compagnie (VOC) pada abad ke-17 ketika dia berkuasa.
Saat Inggris masuk ke Tanah Air(1811-1816), bank ini dibubarkan lalu sebagai gantinya, usaha gadai boleh dilakukan masyarakat (swastanisasi) asal mendapat izin namanya Licentie Stelsel.
Ketika Belanda masuk lagi, gadai tetap menjadi perhatian, tetapi karena banyak pengijon/rentenir, monopoli pemerintah atas gadai pun terjadi hingga saat ini oleh institusi bernama Pegadaian Negeri sampai berubah menjadi Perum Pegadaian.
Perusahaan yang kini dipimpin Chandra Purnama ini mampu mengeruk laba kotor Rp793,7 miliar pada kuartal III/2009. Fantastis memang, apalagi segmen bisnis pun mulai mengincar saham dengan dibukanya kembali produk investasi, gadai saham.
Kondisi inilah yang mendorong hipotesis bahwa sebuah bisnis kian berkembang apabila didukung perluasan regulasi. Singkatnya, menyesuaikan diri dengan perubahan kalau mau maju.
Ketertarikan mencicipi 'kue' ini juga sebenarnya sudah terlihat manakala M. Ihsanuddin, Kepala Biro Pembiayan dan Penjaminan Bapepam-LK, menyatakan sudah mengantongi sekitar 10 pihak dari pemda dan swasta yang mengajukan pendirian jasa gadai. Alamak betapa sengitnya nanti persaingan gadai.
Kepastian hukumKepala Bagian Hukum Jasa Keuangan dan Perjanjian Biro Hukum Departemen Keuangan Arif Wibisono menjelaskan RUU tersebut sebetulnya dilatari oleh kegiatan usaha gadai serupa yang berisiko jika tidak dipayungi.
Hal itu berpotensi menimbulkan masalah seperti kurang terlindunginya keamanan barang jaminan, tingginya sewa modal, tidak cermat menaksir nilai barang agunan, dan kurang transparannya lelang barang.
Lebih parahnya lagi jika tidak diatur dikhawatirkan pihak-pihak yang secara laten melakukan gadai tersebut menerapkan bunga yang di luar kemampuan konsumen."Ini supaya hal hal itu tidak terjadi, tidak ada praktik gelap. Gunanya untuk menciptakan usaha yang kondusif, lindungi nasabah dan kepastian hukum," tegas Arif.
Kepastian hukum itu juga yang menjadi perhatian M. Ihsanuddin yang mengatakan regulasi pergadaian selama ini masih mengacu pada Padhuis Reglement (Aturan Dasar Pegadaian) Staatsblad tahun 1928 No.81.
Dengan adanya RUU itu, katanya, praktik gadai gelap yang tidak sesuai dengan aturan bisa dihindari dan untuk merealisasikan itu pihaknya sangat membutuhkan saran dari sisi modal disetor atau masukan lain sehingga RUU bisa terlengkapi.
Direktur Utama Perum Pegadaian Chandra Purnama yang tak gentar dengan persaingan dari pemda atau swasta yang ingin masuk ke bisnis pergadaian hanya menekankan perlunya orientasi lembaga yang tak hanya bisnis, tetapi juga prorakyat.
Hal yang senada diungkapkan Direktur Keuangan Perum Pegadaian Budiyanto mengingat asing juga bisa masuk sebagaimana bank. Jika demikian, RUU Pergadaian tidak menempatkan Perum Pegadaian pada posisi sulit karena selama ini pihaknya mengedepankan fungsi sosial ketimbang bisnis.
"Kami masih saja memberi pinjaman Rp20.000 per nasabah dengan barang gadai seperti kain atau alat memasak. Untuk pinjaman itu kami hanya memperoleh penghasilan bunga 0,6% per 15 hari, atau Rp1.200, padahal biaya untuk kertas bukti kredit saja Rp2.000," ujarnya.
Tak heran, ada satu dua kantor cabang yang merugi dengan skema itu tetapi tak masalah karena kepercayaan tetap ada.
Maka, kebijakan swastanisasi ini mestinya bisa mencegah praktik gadai ilegal sekaligus menekan potensi pengijon yang berkedok institusi atau asing, tanpa mematikan keuntungan Perum Pegadaian. (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Ditulis M Tahir, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi Jumat, 20 November 2009
Swasta, perseorangan, bahkan pihak asing pun punya kans yang sama untuk membentuk perusahaan jasa pergadaian, kondisi yang pernah terjadi ketika penjajah masih bercokol di bumi Indonesia.
Berakhirnya monopoli lembaga yang lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada 1 April 1901 itu barangkali sudah lama ditunggu-tunggu oleh sebagian pihak yang tak sabar mengeruk keuntungan.
Bukan saat ini saja usaha gadai dibidik swasta, melainkan saat zaman penjajahan swasta juga melirik usaha ini. Bahkan, sedari awal sebagaimana dalam buku Pegadaian dan Rakyat Kecil terbitan Perum Pegadaian, 2009, sejak pertama menjejakkan kaki di Nusantara, usaha gadai salah satu primadona bisnis Belanda melalui Bank Van Leening, lembaga bentukkan Vereenidge Oost Indische Compagnie (VOC) pada abad ke-17 ketika dia berkuasa.
Saat Inggris masuk ke Tanah Air(1811-1816), bank ini dibubarkan lalu sebagai gantinya, usaha gadai boleh dilakukan masyarakat (swastanisasi) asal mendapat izin namanya Licentie Stelsel.
Ketika Belanda masuk lagi, gadai tetap menjadi perhatian, tetapi karena banyak pengijon/rentenir, monopoli pemerintah atas gadai pun terjadi hingga saat ini oleh institusi bernama Pegadaian Negeri sampai berubah menjadi Perum Pegadaian.
Perusahaan yang kini dipimpin Chandra Purnama ini mampu mengeruk laba kotor Rp793,7 miliar pada kuartal III/2009. Fantastis memang, apalagi segmen bisnis pun mulai mengincar saham dengan dibukanya kembali produk investasi, gadai saham.
Kondisi inilah yang mendorong hipotesis bahwa sebuah bisnis kian berkembang apabila didukung perluasan regulasi. Singkatnya, menyesuaikan diri dengan perubahan kalau mau maju.
Ketertarikan mencicipi 'kue' ini juga sebenarnya sudah terlihat manakala M. Ihsanuddin, Kepala Biro Pembiayan dan Penjaminan Bapepam-LK, menyatakan sudah mengantongi sekitar 10 pihak dari pemda dan swasta yang mengajukan pendirian jasa gadai. Alamak betapa sengitnya nanti persaingan gadai.
Kepastian hukumKepala Bagian Hukum Jasa Keuangan dan Perjanjian Biro Hukum Departemen Keuangan Arif Wibisono menjelaskan RUU tersebut sebetulnya dilatari oleh kegiatan usaha gadai serupa yang berisiko jika tidak dipayungi.
Hal itu berpotensi menimbulkan masalah seperti kurang terlindunginya keamanan barang jaminan, tingginya sewa modal, tidak cermat menaksir nilai barang agunan, dan kurang transparannya lelang barang.
Lebih parahnya lagi jika tidak diatur dikhawatirkan pihak-pihak yang secara laten melakukan gadai tersebut menerapkan bunga yang di luar kemampuan konsumen."Ini supaya hal hal itu tidak terjadi, tidak ada praktik gelap. Gunanya untuk menciptakan usaha yang kondusif, lindungi nasabah dan kepastian hukum," tegas Arif.
Kepastian hukum itu juga yang menjadi perhatian M. Ihsanuddin yang mengatakan regulasi pergadaian selama ini masih mengacu pada Padhuis Reglement (Aturan Dasar Pegadaian) Staatsblad tahun 1928 No.81.
Dengan adanya RUU itu, katanya, praktik gadai gelap yang tidak sesuai dengan aturan bisa dihindari dan untuk merealisasikan itu pihaknya sangat membutuhkan saran dari sisi modal disetor atau masukan lain sehingga RUU bisa terlengkapi.
Direktur Utama Perum Pegadaian Chandra Purnama yang tak gentar dengan persaingan dari pemda atau swasta yang ingin masuk ke bisnis pergadaian hanya menekankan perlunya orientasi lembaga yang tak hanya bisnis, tetapi juga prorakyat.
Hal yang senada diungkapkan Direktur Keuangan Perum Pegadaian Budiyanto mengingat asing juga bisa masuk sebagaimana bank. Jika demikian, RUU Pergadaian tidak menempatkan Perum Pegadaian pada posisi sulit karena selama ini pihaknya mengedepankan fungsi sosial ketimbang bisnis.
"Kami masih saja memberi pinjaman Rp20.000 per nasabah dengan barang gadai seperti kain atau alat memasak. Untuk pinjaman itu kami hanya memperoleh penghasilan bunga 0,6% per 15 hari, atau Rp1.200, padahal biaya untuk kertas bukti kredit saja Rp2.000," ujarnya.
Tak heran, ada satu dua kantor cabang yang merugi dengan skema itu tetapi tak masalah karena kepercayaan tetap ada.
Maka, kebijakan swastanisasi ini mestinya bisa mencegah praktik gadai ilegal sekaligus menekan potensi pengijon yang berkedok institusi atau asing, tanpa mematikan keuntungan Perum Pegadaian. (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Ditulis M Tahir, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi Jumat, 20 November 2009
Gambar: pulaumadura.com