Senin, 15 Maret 2010

Miliarder versi Forbes, antara rokok dan sawit

Bisnis rokok dan kelapa sawit yang menarik perhatianku saat melengok daftar 100 miliarder 2010 versi majalah Forbes pekan lalu khususnya menyangkut tujuh orang Indonesia yang berhasil masuk dalam rating yang dipublikasikan pada www.forbes.com itu.

Majalah dwi mingguan yang didirikan pada 1917 di AS itu memang dikenal karena rajin banget memetakan kekayaan orang lain dari mulai The Forbes 400 hingga yang teranyar ini The World’s Billionaires, isinya mencatut 1000 orang tajir seantero dunia.

Nah dari Indonesia tidak ketinggalan menelorkan orang-orang berduit walaupun bangsa ini tak henti-hentinya didera krisis serta tingkat kemiskinan pun masih tinggi. Akan tetapi kita bisa menyumbang hingga tujuh nama konglomerat yang kebanyakan malah menetap di Singapura dalam rating tersebut. Uniknya, mayoritas berbisnis rokok dan kelapa sawit.

Ada kakak-beradik dari perusahaan rokok
Djarum Michael Hartono dan Budi Hartono (urutan 258, US$3,5 miliar), bos Wilmar Group yang ‘main’ di kelapa sawit Martua Sitorus (316, US$3 miliar), serta pemilik Rajawali Corp Peter Sondakh (437, US$2,2 miliar) juga pundi-pundinya di bisnis tembakau.

Tiga nama lagi ialah pemilik Raja Garuda
Sukanto Tanoto (536, 1,9 miliar), pemilik PT Bayan Resources Tbk Low Tuck Kwong (828, US$1,2 miliar) dan ‘the rising star’ bos Grup Para Chairul Tandjung (937, US$1 miilar). Dua yang terakhir lebih banyak berkecimpung di bisnis batubara dan media.

Adapun urutan pertama rating Forbes itu dihuni oleh Carlos Slim Helu, pemilik bisnis telekomunikasi dari Meksiko. Nilai kekayaannya mencapai US$18,5 miliar, yah kira-kira Rp185 triliun (1US$=Rp10.000) melampaui dua miliarder AS yakni pendiri Microsoft Bill Gates dan jawara pasar modal Warren Buffet.

Dari urutan-urutan yang buat kita iri positif itu bisa ditarik kesimpulan “Bisnis media dan telekomunikasi punya andil besar di Amerika, sementara rokok dan sawit punya andil besar banget dalam hal kekayaan di Indonesia padahal dua hal ini kontradiksi.”

Dikatakan paradoks karena di satu sisi kelapa sawit begitu membanggakan bagi Indonesia lantaran dikenal sebagai produsen terbesar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Namun di sisi lain rokok berdampak buruk bagi otak dan kesehatan generasi muda meski menyumbang pajak dan penyerapan tenaga kerja.

Pada sawit kita memang dikenal sebagai produsen terbesar tetapi belum bisa beranjak dari label produsen CPO mentah. Oil World dalam buletinnya yang dikutip
Bloomberg dan Bisnis Indonesia mempertegas posisi kita karena memperkirakan produksinya CPO kita tahun ini naik 1,6 juta ton menjadi 22,5 juta ton sementara Malaysia hanya mencapai 17,8 juta ton. Artinya hampir 52% kontribusi ada di Indonesia dari total produksi global tahun lalu 44,3 juta ton.

Namun, pada rokok kebanggaan itu bagiku justru berbalik arah dan menjadi momok menakutkan. Kalau di Singapura, pemerintah menekan konsumsi rokok dengan harga jual yang begitu tinggi hingga Rp90.000 per bungkus atau kadang desain rokok begitu menyeramkan, kita malah sempat-sempatnya menyelenggarakan lomba desain bungkus rokok yang trendi, iklan rokok yang terkesan jantan, atau konser musik dan olahraga yang disponsori merek rokok.

Tulisan MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN itu pun dikecilkan dan sengaja tidak digubris padahal Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan rokok telah membunuh sekurangnya 5 juta orang setiap tahun dan jumlah kematian perokok pasif mencapai 600 ribu per tahun.

Oleh sebab itu meski namaku tak ada dalam daftar rating 1000 miliarder Forbes, aku berharap dalam konteks relasi bisnis rokok dan sawit inilah, kiranya ada perhatian pemerintah baik menyediakan industri rokok yang memperhatikan pajak, kesejahteraan sosial, dan kesehatan maupun bagaimana cara agar bisnis CPO Nasional tidak hanya berkutat pada produk mentah.

15/03/10
Foto: mediabistro.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu