Jika sebuah pertanyaan diajukan kepada masyarakat umum mengenai “Apa itu PT Medco Energi Internasional Tbk? Belum tentu semua orang tahu sepak terjang perusahaan energi yang didirikan oleh pengusaha alumnus ITB Arifin Panigoro pada 1980 ini.
Lain halnya kalau pertanyaan di atas dirubah subjeknya menjadi “Apa ente tahu apa itu PT Matahari Departement Store Tbk (Matahari)? Berani taruhan deh, hampir sebagian besar masyarakat awam tentu mengenal nama ini, minimal nama tengahnya dan bisa menjawab bla…bla..bla dan seterusnya hingga berakhir pada konklusi: Matahari, pusat perbelanjaan.
Ritel ini sudah tak asing lagi bagi kebanyakan orang dengan latar belakang apapun. Nama Matahari pun bukan sekadar sebagai pusat tata surya melainkan sebuah nomenklatur yang menandakan betapa melekatnya budaya konsumtif dalam keseharian kita.
Terbukti hingga saat ini Matahari yang fokus pada segmen Departement Store, Hypermart, dan Foodmart ini sudah memiliki 80 departement store, 39 hypermarket, 29 supermarket. Tak hanya itu perusahanan juga memiliki 46 pusat kesehatan dan kecantikan dan lebih dari 90 hiburan keluarga sejak lahir pada 1958 di Pasar Baru Jakarta seperti tertera dalam situs resminya www.matahari.co.id.
Cahaya Matahari ini pun kian berpendar setiap kali ada perayaan keagamaan Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Tahun Baru, dan lainnya. Setiap pegawai Matahari dengan rok mini hitam dan atasan krem itu bakal sibuk melayani konsumen di setiap gerai. Pundi-pundi uang pun seketika membeludak.
Bagi umat Muslim, apalagi saat Lebaran Idul Fitri hampir sebagian besar merayakan hari kemenangannya sambil belanja pakaian, perlengkapan atau apalah di Matahari. Bisa dibilang bukan Lebaran namanya kalau engga sempat mampir di gerai ini.
Ceruk pasar konsumsi yang menganganya inilah menyebabkan perusahaan pun butuh ekspansi lebih lebar lagi sehingga butuh dana. Kebutuhan dana ini pun sudah tercukupi setelah pada 1992 mencatatkan diri sebagai emiten [perusahaan terbuka] di Bursa Efek Indonesia (dulu Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya).
Namun tak berhenti disitu karena mungkin ada pihak-pihak dari luar yang tertarik dengan ceruk pasar konsumen tersebut. Nah, kilaunya sinar Matahari inilah kemudian ditangkap oleh pemodal asing.
Akhirnya, hingga akhir bulan lalu, dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB), 90,7% saham Matahari pun akhirnya beralih ke tangan CVC Capital Partner setelah setelah lama dikendalikan Grup Lippo melalui PT Matahari Putra Prima Tbk (MPP). Harian Bisnis Indonesia membeberkan transaksi pembelian ini diawali langkah MPP dan CVC Capital membentuk perusahaan patungan yakni Meadow Asia Company (MAC).
Dari MAC ini lahir anak usahanya yaitu Meadow Indonesia yang membeli 90,76% saham Matahari senilai total Rp7,164 triliun. Yang membingungkan proses pembelian ritel raksasa di Indonesia ini dilakoni dengan tiga cara yakni bayar tunai Rp5,3 triliun, lalu Rp1 triliun dalam bentuk piutang pembayaran saham dengan bunga 13%-15%, dan terakhir lewat penyertaan saham MPP di MAC sebesar 20% saham dengan opsi beli melalui waran 7,5%.
Lebih membingungkannya lagi pada saat yang sama, Matahari (yang akan dibeli) malah meminjam Rp3,25 triliun dari CIMB Niaga dan Standard Chartered Bank Cabang Jakarta untuk dipergunakan Meadow Indonesia melunasi utang beli Matahari dari MPP. Pinjaman ini menjaminkan 98% saham Meadow Indonesia di Matahari.
Singkatnya perusahaan yang dibeli justru meminjam uang kepada orang lain dengan jaminan dirinya sendiri. Bahasa kerennya akusisi yang dibiayai melalui utang ini disebut leverage buyout/LBO. Artinya, perusahaan yang mengakuisisi [CVC/Meadow] akan menggunakan aset perusahaan yang akan diakuisisi sebagai sebagai jaminan dengan ekspektasi bahwa arus kas mereka pada masa yang akan datang dapat menutupi utang tersebut.
Maka dari sini sudah jelaslah siapa pengendali Matahari yang baru, CVC Capital melalui Meadow Indonesia. CVC sendiri pusatnya di Luxemburg. Yang jelas dengan kepemilikan asing di Matahari, kita harapkan sinarnya tetap berpijar khususnya bermanfaat bagi kaum awam yang mengenal betul sosok Matahari.
Jangan sampai terlalu banyak orang asing yang mengekspliotasi tingkat konsumsi Nasional demi kepentingan bisnisnya karena orang-orang awam yang membeli baju di Matahari begitu apatis dengan asas kepemilikan. Tak peduli siapa yang mendanai Matahari, siapa yang mengeruk keuntungan dari duit mereka. Mereka hanya peduli kapan bisa beli baju baru lagi dan kapan Matahari tetap buka lowongan.
31 Maret 2010
foto: www.kontan.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar