Selasa, 27 April 2010

Sekolah di Belanda


Bercermin dari Inovasi pendidikan di Belanda



Majalah Tempo edisi khusus 100 tahun Sutan Sjahrir yang terbit medio Maret tahun lalu nampak di bibir rak bukuku. Meski sedikit berdebu, tapi majalah bersampul grafis bekas Perdana Menteri Republik Indonesia pertama itu mulai menggodaku.

Wajah pendiri Partai Sosialis Indonesia itu mengajakku membuka lembaran demi lembaran, membaca ulang mozaik kehidupan pahlawan Nasional itu sekalian memuaskan dahaga kenangan perjuangan pra dan pascakemerdekaan Republik Indonesia (RI) 1945.

Sjahrir, yang biasa disapa bung kecil itu, ternyata dulu mengasah pengetahuan politik dan hukum di kampus Universitas Amsterdam dan Leiden School of Indology Belanda sebelum akhirnya disuruh kembali ke Tanah Air oleh Mohammad Hatta untuk sementara memimpin Partai Nasional Indonesia Baru.


Sjahrir dan Hattta--Wakil Presiden pertama RI—tidak sendiri. Beberapa pejuang kemerdekaan RI sebetulnya juga banyak bersekolah di negeri kincir angin itu. Hingga kini pun terus berulang lantaran pesona ‘bunga tulip’ Belanda terus menarik pemuda-pemuda Indonesia. Contoh saat ini ialah advokat ternama, Adnan Buyung Nasution dan pejuang hak asasi manusia Munir Said Thalib.

Buyung adalah alumnus program doctor di Universitas Utrecht sementara nama terakhir sayangnya secara biadab dibunuh dalam perjalanannya menuntut ilmu ke Belanda pada 2004.
Dari jejeran nama besar alumnus pendidikan Belanda ini menunjukkan negeri dataran rendah ini ternyata memang tak hanya elok dipandang mata.

Dalam dirinya mengandung magnet ilmu pengetahuan modern, tempat lahir ilmuwan-ilmuwan kelas wahid. Jadi bukan cuma Mesir dengan Universitas Al-Azhar-nya yang mampu menelorkan pemikir-pemikir dunia tetapi Belanda pun demikian.


Ingin rasanya membayangkan betapa nikmat mencicipi pengalaman menjadi musafir ilmu di sana sembari mengelilingi kanal-kanal dan jalan-jalan kecil berbatu diapit bangunan klasik. Betapa asiknya menggali pengetahuan dari sumur sumur peradaban dunia sambil menjejakkan bekas langkah kaki Sjahrir, Hatta, dan Buyung bersenggama dengan waktu menempa diri di sana.

Lalu sebetulnya apa yang diberikan Belanda sehingga orang-orang cerdas Indonesia menjadi sosok pemimpin yang taji, kritis, dan bisa kita lihat hasilnya sampai kini lulusan-lulusan Belanda ini punya peran signifikan terhadap kemajuan bangsa ini.

Dari iklim pendidikan, negeri itu ditunjang seabreg pemikir ulung, dosen-dosen berintegritas dan punya keilmuan tinggi. Di samping itu, ribuan tumpukan buku dari literatur dunia tersebar di sejumlah perpustakaan ditambah lagi infrastuktur memadai dan suasana belajar yang tak bisa diperoleh di negeri lain di Eropa.

Memang tak bisa dimungkiri, negeri ini punya catatan hitam karena hampir lebih dari 3,5 abad menjajah Indonesia. Dan sejarah pun jujur mendedahkan penjajah Belanda memang memberikan pendidikan. Sayang, misi pendidikannya ditujukan untuk membentuk mental budak, menghasilkan orang yang tidak mempunyai jiwa merdeka. Misinya agar manusia Indonesia pasif, tak punya inisiati dan mudah menyerah.


Inilah akar mula mengapa dulu sistem pendidikan Indonesia lebih verbalisme dan intelektualisme hanya mementingkan buku pelajaran, tidak melatih anak berfikir melalui analisa dan sintesa. Akhirnya terjebak pada sikap tidak kritis dan tidak kreatif meski dari pendidikan Belanda jaman dulu ini pun lahir orang-orang hebat yang bisa bertahan dari misi tersebut.

Namun terlepas dari itu, bangsa ini juga meletakkan pijakan budaya dan warisan yang hingga kini terasa. Kita perlu belajar dari sejarah karena sejarah melandasi pembetukkan karakter bangsa, mengajarkan logika pergerakan zaman dengan runut.

Kita perlu belajar bagaimana bangsa Koninkrijk der Nederlanden ini unggul dalam inovasinya dalam meningkatkan mutu pendidikan sehingga tetap dilirik negara lain seperti Indonesia meski masih dikenal lebih unggul dalam teknologi pembangunan.

Mari simak bagaimana Indonesia menjalin kerja sama pendidikan dengan Belanda. Situs resmi Wali Negara Indonesia mencatat kerja sama Pemerintah RI dan Pemerintah Kerajaan Belanda mulai diadakan 42 tahun yang lalu sejak ditandatanganinya Agreement of Cultural Cooperation between the Republic of Indonesia and the Kingdom of Netherlands, di Jakarta pada tanggal 7 Juli 1968.

Sejak itu kerja sama University to University (U to U) berlangsung hingga kini tercatat. Ada 10 Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia dengan 12 PT di Belanda. Jumlah ini memang masih kalah dengan Perancis karena U to U kedua negara itu antara 21 PT Indonesia dan 25 PT Prancis meski lebih banyak jika dibandingkan dengan kerja sama RI dengan Jerman yang sudah dimulai 1988 tapi baru 6 PT Indonesia dengan 12 PT Jerman.

Sistem Brilian
Inovasi Belanda mengembangkan sumber daya manusianya patut jadi cerminan. Hal itu juga nampak dari tingkat partisipasi masyarakat yang cukup tinggi karena dari 16 juta jiwa, hampir 3,4 juta atau 21,8% terlibat dalam pendidikan seperti diungkapkan situs resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Sains Belanda.

Kalau di negeri sendiri, usia wajib belajar dimulai sejak 6 tahun-15 tahun, di Belanda usia wajib belajar sejak 5 tahun-18 tahun dan pemerintah menyediakan dana penuh sehingga para siswa dibebaskan dari beban biaya. Sekolah di Indonesia juga digratiskan tapi dalam praktiknya tetap saja ada pungli sana-sini

Belanda sangat unggul dalam metode pembiayaan pendidikan. Kementerian Pendidikan menggelontorkan hampir seluruh pengeluaran pemerintah pusat. Semua lembaga pendidikan baik publik maupun swasta didanai dalam satu pijakan. Artinya pengeluaran pemerintah pada lembaga-lembaga pendidikan publik harus dicocokkan dengan pengeluaran swasta.

Dalam dokumen Eurydice 2007, Unit Kementerian Pendidikan Belanda, mencatat jumlah dana yang dihabiskan pada 2006 untuk pembiayaan pendidikan mencapai 26.187 euro atau setara dengan Rp314 triliun (1 euro sekitar Rp12.000).

Bandingkan dengan dana pendidikan nasional yang dicatat Kementerian Keuangan pada 2006 sebesar Rp44,1 triliun, atau baru 10.1%, jauh sekali bedanya dan bahkan tahun ini saja anggaran pendidikan nasional baru dipatok sebesar Rp209,5 triliun.

Satu lagi yang merupakan keunggulan ialah betapa sistem pendidikan begitu memacu kreatifitas pelajar sejak awal hingga di bangku pendidikan tinggi. Penekanannya ialah pada
pendidikan lanjutan karena langsung fokus terbagi menjadi beberapa program yang mendidik pelajar kreatif, punya daya saing, kritis, dan mandiri.

Misalnya pada tingkat pendidikan lanjutan VMBO (Voorbereidend Middelbaar Beroepsonderwijs). Di sini pelajar mendapatkan pendidikan gabungan antara pendidikan umum dan kejuruan. Lalu program pendidikan lanjutan lainnya yakni HAVO (Hoger Algemeen Voortgezet Onderwijs) dan VWO (Voorbereidend Wetenschappelijk Onderwijs). Keduanya fokus pada minat siswa sejak dini bukan ketika siswa sudah masuk ke bangku kuliah seperti di Indonesia.

Adapun di pendidikan tingkat tinggi di Belanda juga sama dengan Indonesia terdiri atas 2 bagian yaitu HBO (sekolah tinggi/institut) dan WO (universitas). Hanya saja institut Belanda memberikan pendidikan siap guna bukan siap jadi pengangguran. Adapun universitas memberikan pendidikan sifatnya penjurusan berdasarkan ilmu-ilmu murni.

Namun yang patut dicontoh pada setiap tahun pertama di HBO/WO ada penyaringan yang disebut dengan masa propedeuse. Maksudnya setiap siswa wajib menyelesaikan mata pelajaran tahun pertama mereka dan waktu dua tahun. Kalau gagal Drop-out/DO tak bisa dihindari.

Meski unggul, toh pemerintah Kerajaan Belanda juga memandang ada tantangan yang dihadapi saat ini seperti
peningkatan kualitas pendidikan dan bagaimana menyediakan kesempatan yang sama bagi semua orang dalam hal pendidikan, ini mirip sekali dengan kita.

Ancaman lainnya ialah jumlah kekurangan guru di tingkat primer, sekunder, universitas hingga pendidikan professional yang cukup tinggi. Sekali lagi tak jauh berbeda dengan nusantara ini.


Akan tetapi dari cerita singkat di atas, kita setidaknya bisa bangkit belajar dari inovasi Belanda dalam pendidikan apalagi pekan ini kita dikejutkan dengan hasil Ujian Nasional yang tidak memuaskan, bukti ketimpangan pengajaran, kurangnya minat belajar, dan rendahnya daya infrastuktur penunjang pendidikan.
Jika bisa sedikit berkiblat pada sistem pendidikan Belanda mungkin saja Sjahrir dan Hatta masih bisa tersenyum.



Gambar Sjahrir: www.rnw.nl
Gambar Gedung: www.forum.detik.com
Gambar Penjajahan: www.hulondhalo.com
Gambar Ujian:www.seandanan.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu