Rabu, 07 April 2010

Larantuka-ku

Hampir 4 tahun aku tak menginjakkan kaki di bumi Larantuka. Kota yang memberiku kenangan tak terlupakan menjadi anak pulau. Aku kangen aroma amis ikan di pesisir pantai, keriuhan porter-porter pelabuhan, dan kesunyian wisata rohani di Ibu Kota Kabupaten Flores Timur itu.

Meski kota bekas jajahan bangsa Portugis ini termasuk daerah yang sepi dan gersang tetapi bagiku kota ini nampak unik karena lekatnya sejarah kota itu kian mengajakku memutar kembali memori tempo dulu.

Aku lahir dari rahim seorang ibu dari tanah asli Adonara dari suku Ratu Loli, terbetuk dari gumpalan air najis bapakku yang juga dari Adonara, suku Heringuhir. Ketika gempa dan tsunami melanda Flores pada 1992, kami sekeluarga pun eksodus ke Pulo Gadung, Jakarta Timur, tetapi bukan menggelandang ria di salah satu terminal terpadat itu. Kami lebih beruntung bisa menumpang di rumah saudara di Asrama Brimob.

Ketika gempa terjadi pun aku masih kecil, belum terlalu paham apa itu gempa tsunami 7,8 skala Richter [gempa yang menimpa Aceh Rabu pekan ini 7,2 skala Richter] atau bagaimana bertahan saat gempa memorakmorandakan desaku, Waiburak. Yang masih tertinggal hanyalah kenangan dalam kamp-kamp penampungan dengan terpal biru, terpal penuh derita. Tidur beralas kasur tapi siap-siap dibangunkan bila gempa mulai menggelitik malam.

Kalau gempa datang, orang tua dulu menyuruh anak-anaknya jongkok, atau tiduran di tanah lalu ada teriakan “berero-berero” se-antero kampung. Bapakku selalu bilang “Er moe ake gelupak berero we moe tobo di tanah” Maksudnya jangan lupa duduk atau jongkok.

Larantuka selain dikenal kental Portugis juga lekat dengan gempa ini. Wikipedia mengenang gempa bumi Flores terjadi pada Desember 1992 pukul 15:00 WITA. Gempa ini menyebabkan tsunami setinggi 36 meter, menghancurkan rumah di pesisir pantai Flores, termasuk pulau di mana aku lahir, Adonara.

Alhamdulillah aku dan keluargaku bukan termasuk 2.100 jiwa yang terbunuh pada peristiwa naas itu dan kami hanya termasuk 5.000 orang yang mengungsi. Rumah kami juga selamat dan kokoh, bukan termasuk 18.000 rumah yang porak-poranda.

Kenangan kota tua, gempa, sebetulnya hanya sekilas saja, terbesit saat aku melamun atau terkadang iseng-iseng kontemplasi di toilet kantor. Tapi rasa itu kian buncah saat membolak-balik tulisan dua wartawan Kompas wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) Samuel Oktora dan Kornelius Kewa Amang berjudul “Lima Abad Semana Santa Larantuka”.

Tulisan tentang umat Katolik di Larantuka dan sekitarnya yang datang berbondongbondong ke Kapela Tuan Ma dan Tuan Ana untuk mencium patung Tuan Ma (Bunda Maria) dan Tuan Ana (Yesus Kristus). Itu momen saat Paskah terjadi dan aku membayangkan berada di sana memotret religi dengan khidmat meski aku seorang Muslim.

Kalau Aceh di sebut serambi Mekkah, Larantuka bisa dikatakan berandanya Vatikan. Kota ini mayoritas dihuni penduduk beragama Katolik, Protestan, dan ketiga Muslim sehingga jika berkunjung ke kota ini terasa betul suasana, aroma, iklim, yang benar-benar Katolik, sekolah-sekolah suster, ternak babi, dan gereja. Kalau siang hari, anehnya semua toko tutup karena istrirahat berbeda jauh dengan Bekasi, 24 jam nonstop toko berlomba menjamu konsumen.

Patung-patung dan sejumlah salib di kota ini pun semuanya peninggalan Portugis sekitar lima abad lalu. Ketika menginap di rumah saudara (rumah bekas kantor pos Larantuka), depan gedung DPRD Larantuka, aku sempat berniat mencari patung yang kemudian dijelaskan bernama Bunda Maria itu tetapi sayang hilang jejak.

Ingin rasanya kembali ke kota ini meski melewati lautan luas, bermalam 4 hari di kapal Sirimau jurusan Kupang-Jakarta. Dimulai dari Pelabuhan Tanjung Priuk Jakarta Utara, perjalanan pun lalu menyusuri laut Jawa kemudian sampai di Pelabuhan Tanjung Merak Surabaya, Pelabuhan Batu Licin Kalimantan Selatan, Pelabuhan Makassar, dan turun di Pelabuhan Larantuka sementara Sirimau akan mengakhiri perjalanan di Kupang.

Bisa saja melalui perjalanan udara tetapi nikmatnya perjalanan laut lebih indah ketimbang beberapa jam tiba di Larantuka. Bukan persoalan ongkos kapal laut lebih murah (sekitar Rp450.000, sementara pesawat Rp1,5 juta) tetapi kadang memanjakan kerinduan itu lebih indah. Seperti halnya Larantuka-ku yang indah. Indah dengan segala kesepiannya dan elok meski gersang.

8/4/10

Foto: arbain rambey, kompas

2 komentar:

  1. Saya yang baru hidup selama 2 bulan di larantuka aja dah begitu kangennya...pingin ke sana lagi dengan beribu budaya di sana, toleransi agamanya...dan saya benar2 punya mimpi k sana naik kapal..walau belum pernah...tapi tetap berniat k sana naik kapal..untuk membuktikan kata orang2 bahwa ke sana naik kapal akan merasakan kenangan yang berlipat-lipat..tulisan mas Taher benar2 mengobati kerinduan, walau belum 100%. Adonara...pulau pertama kudengarkan adzan...pulau nan eksoktik...

    BalasHapus
  2. Terimakasih mba maria sudah mampir dan baca kisah sepotong ini...
    Sala, kenal

    BalasHapus

Entri Populer

Penayangan bulan lalu