Jumat, 11 Januari 2013

Ramai-ramai Masuk Bisnis Pesawat Carter

Pesawat Cessna Grand Caravan @Photo by www.cessna.com
M. Tahir Saleh

ENTAH sudah berapa kali CEO AirAsia Tony Fernandes menyambangi Jakarta dari Kuala Lumpur demi memproses pembelian maskapai penerbangan lokal Batavia Air yang sejak Juli lalu disepakati.

Meski negosiasi itu akhirnya kandas, toh publik tak banyak tahu bahwa bekas pegawai Warner Music itu tak hanya menggunakan maskapainya sendiri, AirAsia, tapi juga jet pribadi ke Jakarta melalui Bandara Halim Perdanakusuma.

“Kalau dari KL [Kuala Lumpur] ke Jakarta beliau sering naik maskapai AirAsia, tapi terakhir beliau ke sini sepengetahuan saya beliau naik private jet,” kata Audrey Progastama Petriny, Communications Manager AirAsia Indonesia, belum lama ini.

Bagi pengusaha sekelas Tony, sepertinya bukan ingin menunjukan dirinya mampu membeli pesawat pribadi tapi barangkali faktor waktu yang menyebabkan pesawat pribadi menjadi pilihannya.

Harga pesawat pribadi memang sesuai dengan jenisnya dan bisa mencapai US$2 juta—US$3 juta atau sektar Rp19 miliar—Rp28,5 miliar (asumsi kurs Rp9.500 per dolar AS). Harga itu setara dengan laba perusahaan berkapitalisasi menengah di Bursa Efek Indonesia dalam setahun.

Selain Tony, sebetulnya cukup banyak pengusaha Indonesia yang memiliki pesawat pribadi meski soal ini belum ada data pasti dan dipublikasikan secara resmi karena cenderung tertutup.

Saat datang ke Bandara Halim Perdanakusuma dan berbincang dengan eksekutif perusahaanpenerbangan tidak berjadwal alias pesawat carter, saya memperoleh informasi tentang siapa saja pengusaha di Tanah Air yang punya jet pribadi. Halim Perdanakusumamemang diperuntukkan sebagai basis penerbangan pesawat nonberjadwal,carter, dan militer.

Seorang eksekutif salah satu perusahaan carter Indonesia membeberkan ada sejumlah pengusaha telah lama mengoleksi pesawat pribadi. Aburizal Bakrie misalnya. Ketua Umum Partai Golkar ini kabarnya punya tiga jenis Cessna Citation yang dikelola oleh perusahaan carter Pegasus.

Keluarga Jusuf Kalla juga punya dua sampai tiga unit pesawat tetapi ada satu unit yang khusus diperuntukan sendiri dan tidak untuk disewakan saat pesawat itu nganggur. Mantan Wapres itu kabarnya ‘menitipkan’ pesawatnya di Nusantara Air Carter.

Prabowo Subianto, politisi Partai Gerindra ini juga kabarnya punya, sedangkan Grup Wilmar International yang bergerak di bidang kelapa sawit punya pesawat pribadi jenis Cessna Grand Caravan yang dititipkan di Enggang Air Service.

Chief Operating Officer Grup Wilmar Martua Sitorus tercatat merupakan orang terkaya nomor empat di Indonesia pada tahun ini versi Majalah Forbes dengan taksiran kekayaan US$3,0 miliar. Pengusaha lainnya adalah Surya Paloh dan Osman Sapta Odang. Kabar terakhir menyebutkan Chairul Tandjung, pengusaha pemilik CT Corp yang tenar saat ini juga akan membeli pesawat pribadi.

Commercial Manager Enggang Air Service Harry Priyono mengatakan pilihan menggunakan pesawat pribadi atau menyewa pesawat di perusahaan carter bagi pengusaha, pejabat, atau orang penting dalam perusahaan kini menjadi satu kebutuhan, bukan sekadar prestise.

“Buat mereka waktu lebih fleksibel, kalau ikut [pesawat] reguler kan kut jadwal, tapi persepsi masyarakat itu gaya—gayaan. Waktu mereka terlalu padat dan ketat, udah engga keburu ikut pesawat regular, memang kebutuhan,” katanya.

Potensi besar
Dari bisnis, potensi pasar penyewaaan pesawat masih sangat besar seiring dengan makin banyak orang kaya di Indonesia, apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia begitu bagus dan positif. Forbes mencatat dari 1.226 orang kaya di dunia pada tahun ini, 17 di antaranya adalah pengusaha asal Indonesia.

Harry yang mantan Direktur Niaga Sriwijaya Air dan Express Air ini menilai faktor pendorong lain yang ikut mendorong pertumbuhan industry pesawat carter adalah penyelenggaraan berbagai konferensi, seminar, dan pameran skala nasional dan internasional di Indonesia. Banyak tokoh internasional yang datang dengan menggunakan pesawat carter.

“Saat Christiano Ronaldo itu datang ke Indonesia kan pesawat carternya berhenti di Singapura lalu beralih ke carter Indonesia, jadi secara umum potensi carter besar,” katanya.

Selain itu layanan evakuasi medis atau medical evacuation juga menjadi salah satu pendorong lainnya. Hal itu lantaran ada kebutuhan pesawat carter untuk membawa pasien yang tidak bisa ditangani oleh rumah sakit Indonesia untuk diterbangkan ke Singapura.

Terlebih lagi, pusat bisnis yang berada di Jakarta dan Pulau Jawa, dinilai tidak mampu lagi dilayani oleh maskapai komersil berjadwal.

Berdasarkan data Indonesia National Air Carrier Association (INACA), pada tahun lalu terdapat 22 anggota maskapai penerbangan tidak berjadwal, termasuk pesawat carter. Jumlah ini di luar 17 maskapai penerbangan berjadwal, belum termasuk Pacific Royale yang baru beroperasi tahun ini.

Salah satu di antaranya yakni Enggang Air yang akan berubah nama menjadi OSO Jet dengan mengoperasikan satu unit Embraer Legacy 600, satu Cessna Citation VII, dua Cessna Gr and Caravan, dan satu unit helikopter Agusta AW 109SP. Jenis pesawat Caravan yang harganya berkisar US$2 juta-US$3 juta tersebut, cocok untuk melayani pe nerbangan ke wilayah terpencil.

Beda lagi dengan Embraer Legacy dan Cessna Citation yang biasanya dikhususkan untuk kelas eksekutif dengan kapasitas masing-masing 13 penumpang dan tujuh penumpang.

Soal harga sewa, secara umum sangat tergantung pada jenis pesawat, namun biasanya tidak berbeda jauh antaroperator. Perbedaan hanya terletak pada layanan. Jenis Embraer Legay, misalnya, harga sewanya sekitar US$8.000 per jam, sedangkan Caravan US$1.600 per jam [bukan US$7.000 per jam sebagaimana tertulis sebelumnya].

Data INACA menyebutkan terdapat sejumlah maskapai pemegang Surat Izin Usaha Angkutan Udara Niaga (SIUAUN) berjadwal yang memiliki SIUAUN tidak berjadwal, begitu pula sebaliknya.

Artinya, pertumbuhan bisnis penerbangan komersial dalam beberapa tahun terakhir ini—khususnya segmen domestik—tak hanya dinikmati maskapai penerbangan berjadwal tetapi juga pesawat carter.

Pada tahun lalu, jumlah penumpang rute domestik untuk penerbangan berjadwal mencapai 60,20 juta, atau naik dari tahun sebelumnya 51,78 juta.

Dari sisi kompetisi, Harry berpendapat persaingan di bisnis pesawat carter sejauh ini masih cukup sehat. Tidak ada saling tusuk dari belakang antarpesaing ataupun banting harga.

Peluang bisnis yang cukup besar inilah yang tampaknya menjadi pertimbangan beberapa maskapai regular seperti Lion Mentari Airlines (Lion Air) untuk meluncurkan Bizjet pertengahan tahun ini guna membidik pasar pesawat carter.

Direktur Umum Lion Air Edward Sirait juga berpendapat potensipasar pesawat carter di Indonesia masih tinggi dan dan sangat terbuka lebar.

“Aktivitas bisnis yang makin menyebar, membuat para pebisnis butuh sarana transportasi yang cepat dan efisien,” katanya.

Bizjet, layanan pesawat carter milik Lion Air yang beroperasi pada Juni 2012, sering melayani penerbangan tujuan Kalimantan, Sulawesi hingga Singapura dengan menggunakan pesawat Hawker berkapasitas tujuh kursi. Harga pesawat tipe ini sekitar US$20 juta - US$30 juta per unit.

Dia mengakui agak sulit memperoleh data lengkap mengenai nilai dan potensi bisnis penerbangan tak berjadwal di Indonesia sebab sebagian pesawat carter dimiliki perorangan.

Pada awalnya, para pengusaha pemilik pesawat pribadi menggunakannya untuk keperluan kepentingan bisnisnya sendiri. Namun, mengingat pesawat tersebut tidak terbang setiap hari, maka mereka pun mulai menyewakannya. Selain bisa memperoleh pendapatan tambahan yang tidak kecil, juga dapat meringankan beban biaya perawatan pesawat. (Sukirno/Chamdan Purwoko) (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia edisi Selasa, 27 November 2012


1 komentar:

Entri Populer

Penayangan bulan lalu