Photo by smartregion.org |
Oleh M Tahir Saleh
PUJI
Nur Handayani masih mengingat titah Dirut PT Garuda Indonesia Tbk. Emirsyah
Satar yang disampaikan beberapa kali dalam rapat 3 bulanan maskapai pelat merah
itu yaitu efisiensi, efisiensi, dan efisiensi.
Bekerja
di Garuda sejak 18 tahun silam, baru 3 tahun Puji bertanggung jawab soal
efisiensi operasi, salah satunya menangani perencanaan dan pengawasan
penggunaan bahan bakar.
“Setiap
rapat beliau selalu tekankan itu, efisiensi,” katanyasaat ditemui di Garuda
City Center, Cengkareng, Jumat (13/9/2013).
Tugas
mengawasi penggunaan bahan bakar pesawat yang dikenal dengan nama aviation
turbine fuel (avtur) atau jet A1 itu cukup sentral dalam operasional maskapai
yang memulai penerbangan perdana pada 1949. Kontrol terhadap avtur penting bagi
maskapai pelat merah itu karena menggerus 30%-40% dari total biaya operasi.
Irit
avtur ialah satu dari sekian banyak strategi Garuda, selain hemat penggunaan
air, perbaikan teknologi dengan mengganti pesawat, dan efektivitas operasi.
Pesawat Garuda mengisap miliaran liter
avtur. Tahun ini, Garuda membutuhkan 1,45 miliar liter jet A1, naik dari tahun
lalu 1,21 miliar liter.
Dengan
estimasi harga US$1 per liter, perlu anggaran avtur mencapai US$1,45 miliar
atau setara dengan Rp14,5 triliun. Efisiensi itu mampu dilakukan dengan baik
pada tahun lalu karena dari rencana 1,21 miliar liter terpakai 1,18 miliar
liter atau hemat 24%.
Hal
itu, lebih baik dari 2011 yang awalnya dianggarkan 1,13 miliar liter dan
terpakai 1,10 miliar liter, atau hemat 22%. “Tiap tahun naik, karena memang
pesawat kami bertambah,” ujarnya.
Pada
tahun ini, lembaga riset penerbangan CAPA Center for Aviation memperkirakan
Garuda Indonesia Group, termasuk Citilink, bersama dengan Lion Air menjadi
maskapai dengan armada terbanyak di Asia Tenggara, menyalip Grup Singapore
Airlines. Akhir
tahun ini, Garuda akanmengoperasikan 139 unit pesawat, sedangkan Lion Air
sebanyak 145 unit pesawat. Ini baru dari dua grup maskapai, belum ditambah
dengan maskapai lain misalnya Indonesia
AirAsia, Merpati Nusantara, Sriwijaya Air, hingga Indonesia Air Transport.
Sulit dihitung berapa miliar liter pertambahan avtur yang dibutuhkan oleh
maskapai itu.
Pada
tahun ini, Singapore Airlines (SIA), kompetitor Garuda untuk kelas full service
juga mengonsumsi jet A1 besar mencapai
1,29 miliar liter, naik dari tahun keuangan 2011/2012 yakni 1,23 miliar liter.
Manajemen
Lion Air dan Citilink enggan membeberkan kebutuhan avtur. Indonesia AirAsia memberikan data
kebutuhan avtur pada tahun ini naik 25% dari tahun lalu untuk periode Januari–Agustus meski Chief Operating Officer
Indonesia AirAsia Ridzki Kramadibrata tak menyebutkan detailnya. “Total
penerbangan kami pun naik 37%,” ujarnya.
Efisiensi
avtur itu penting sebagai komitmen maskapai seiring dengan upaya pemerintah dan
dunia, untuk mengurangi emisi gas karbondioksida (CO2). Pencemaran
udara, salah satunya karena avtur, dinilai berbahaya bagi kehidupan terutama
karena terkikisnya lapisan ozon yang melindungi bumi dari sinar matahari.
Selain
efisiensi bahan bakar, langkah lain ialah mengistirahatkan atau mengembalikan
pesawat lama yang boros avtur ke perusahaan penyewaan pesawat. Garuda
sudah melakukannya dengan mengembalikan Boeing 737-300, diikuti oleh anak
usahanya, Citilink. Sriwijaya Air juga menghentikan pemakaian B737-200 per 23
Agustus 2013, sedangkan Indonesia
AirAsia menerapkan kebijakan memakai satu tipe yaitu Airbus A320, tipe sama
yang juga digunakan Citilink. “Selain
lebih nyaman, Airbus A320 juga dapat menghemat bahan bakar sehingga dapat
mengurangi emisi karbon,” kata Ridzki.
**
Tak
bisa dipungkiri selain alasan demi atmosfer agar lebih hijau, tentu saja
maskapai tak mau dibebankan cukup besar biaya operasi dari lini bahan bakar.
Bagaimana bisa untung kalau menyedot avtur banyak apalagi dolar AS menguat
terus.
Kapten
Sudiman Riyanto Noto, VP Corporate Quality, Safety, and Environtment Management
Garuda mengatakan pola efisiensi itu bukan terbatas pada bahan bakar. Industri
penerbangan kini beralih mencari sumber alternatif lain selain minyak fosil
atau dikenal dengan istilah energi terbarukan, salah satunya biofuel. Lantaran
ongkos produksi biofuel sekitar 3 kali lipat dari harga jet A1, maka diambil
jalan tengah agar biofuel dicampur dengan avtur. “Ini jadi isu dunia mencari
sumber energi baru yang terbarukan, trial campur avtur di beberapa maskapai
juga dilakukan, kami belum,” katanya.
Adalah,
Lufthansa menjadi maskapai pertama di dunia yang menguji coba biofuel pada
pertengahan Juli 2011. Pesawat A321 memakai campuran avtur dan 50% biosynthetic
kerosene saat terbang reguler rute Hamburg-Frankfurt dalam 6 bulan. Hasilnya
luar biasa, emisi karbon turun hingga 1.500 ton.
Bagi
Glory Henriette, Manager Public Relations SIA, komitmen partisipasi dalam green
aviation dilakukan dengan meningkatkan efisiensi operasi melalui praktik ramah
lingkungan terbaik di semua bidang. Namun
diakui, SIA belum menguji coba biofuel sebagaimana Lufthansa mengingat perlu
ada kelayakan teknis yang dibentuk melalui sertifikasi internasional. Manager
Corporate Communication Sriwijaya Air Agus Soedjono pun punya tanggapan serupa. “Penggunaan
biofuel baik tetapi kami belum melakukan uji coba. Jangan sampai upaya itu juga
mengabaikan safety. Biofuel itu bagus sekali,” katanya.
Dalam
ulasan Bob Saynor, Ausilio Bauen, dan Matthew Leach dari Imperial College
Centre for Energy Policy and Technology, Inggris, disebutkan beberapa opsi
energi terbarukan yang bisa menjadi pilihan untuk bahan bakar pesawat.
Studi
yang dipublikasikan dalam makalah “The Potential for Renewable Energy Sources
in Aviation (PRESAV)” itu mengidentifikasi enam pilihan bahan bakar terbarukan
untuk pesawat jet yakni biodiesel, metanol, etanol, minyak tanah
fischer-tropsch (minyak tanah sintetis dengan metode fischer-tropsch, minyak
tanah dihasilkan dari biomassa), hidrogen, dan bio-metana.
Meski
begitu, ketiganya mengkhawatirkan perkembangan teknologi dalam meningkatkan
penggunaan energi terbarukan belum mampu mengimbangi pertumbuhan signifikan
dari industri penerbangan. “Akibatnya emisi dari sektor penerbangan akan
meningkat,” papar mereka.
Di
Tanah Air, Kementerian Perhubungan sudah memasang target bahwa pada 2016
mendatang, semua maskapai di Indonesia akan menggunakan komposisi bahan bakar
campuran antara avtur dan biofuel. Uji coba awal bisa dilakukan antara 1%-2%
biofuel dan sisanya menggunakan avtur.
Terdapat
tiga hal yang menjadi fokus pemerintah yakni bandara ramah lingkungan (green
airport), penerbangan ramah lingkungan (green flight), dan green space atau
upaya dalam membuat rute penerbangan lebih efisien.
Itu
sebabnya pada 23 September lalu, Kemenhub akhirnya menggandeng Organisasi
Penerbangan Sipil International (ICAO) dalam program perlindungan lingkungan di
bidang aviasi. Dengan kerja sama itu,
ICAO bakal memberi bantuan teknis dan pendampingan untuk memperkuat dan meningkatkan
organisasi, regulasi, SDM, dan sistem berkaitan dengan penerapan Rencana Aksi
Nasional Pengurangan Gas Rumah Kaca.
Rencana
aksi itu memang sudah dihembuskan Presiden SBY pada November 2007 dan pada 2009
diperkuat dengan komitmen presiden bahwa Indonesia dengan sukarela menerapkan
target pengurangan emisi gas rumah kaca 26% pada 2020, bahkan bisa berkurang
41% bila dibantu dana internasional.
Pesawat Sriwijaya Air tengah mengisi avtur, photo by Poskota |
Pertama,
Indonesia belum bisa membuat biofuel untuk pesawat karena membutuhkan syarat
yang pelik.
Kedua,
infrastruktur bandara di Indonesia yang kebanyakan sudah penuh kapasitasnya
sehingga maskapai mengeluhkan antrian panjang dan holding (berputar-putar) di
udara yang menyebabkan penambahan pembakaran avtur, itu beban juga bagi
maskapai.
Ketiga,
konflik sosial terancam mengemuka dari lahan pertanian misalnya bila bahan
dasar biofuel dibuat dari kelapa sawit. Ini yang banyak ditentang oleh lembaga
swadaya masyarakat sehingga diharapkan bahan dasar biofuel tidak terbatas pada
sawit. Semakin banyak biofuel dibutuhkan dari sawit, makin besar potensi lahan
sawit diperluas.
Manajer
Advokasi Bioregion dan Perubahan Iklim Walhi Deddy Ratih paham betul soal ini.
Oleh karena itu dia berpesan agar pemerintah mesti memperkuat industri dalam
negeri khususnya industri hilir guna menghindarkan impor.
Pihaknya
juga meminta pemerintah agar punya strategi yang tak hanya berpatokan bahwa
Indonesia kaya bahan baku tapi bagaimana industri hilir bisa memproduksi. Bila
tidak, dampaknya malah ke industri hulu karena akan terjadi perluasan lahan
misalnya kelapa sawit.
“Bahan
bakarnya dari mana? Siapa yang diuntungkan? Sementara kita belum siap, kalau
tak ada upaya kesiapan industri hilir dampaknya ke hulu. Pemenuhan energi masih
kurang. Kalau maskapai kita pakai biofuel, enggak diproduksi di sini, tapi kita
masih impor,” katanya.
Dia
menekankan jangan sampai, orientasi pengembangan industri penerbangan semata
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi jangka pendek tapi jangka panjang karena
dunia, kini mengarahkan radarnya pada ekonomi hijau dengan penggunaan sumber
energi yang lebih efisien.
Hanya
saja baginya tugas pengurangan emisi karbon memang bukan hanya tanggung jawab
operator udara dan kementerian terkait, melainkan perlu didukung sektor lain
termasuk transportasi darat, laut, kereta api, dan lainnya.
**
Terbit di Harian Bisnis
Indonesia edisi 30 September dan 1 Oktober 2013 dengan judul Ramai-ramai
Mengirit Avtur Demi Atmosfer,
online http://www.bisnis.com/efisiensi-avtur-antara-keseimbangan-bisnis-green-aviation,
30 September 2013
Words: 1.290
Words: 1.290