Eks Dirut Merpati Nusantara Hotasi Nababan tengah mengikuti salah satu sidangnya di Tipikor, Photo by JIBI/Solopos |
M. Tahir Saleh
MANTAN
Dirut Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan masih ingat pertemuannya dengan
Menteri BUMN Dahlan Iskan suatu hari setelah sang menteri pulang dari Darwin, Australia.
Dahlan
merespons buku Jangan Pidanakan Perdata setebal 259 halaman yang ditulisnya.
“Hot,
Anda begitu nekat bikin buku ini,” katanya menirukan ucapan Dahlan.
Hotasi
lantas mengatakan dirinya membuat buku itu bukan hanya untuknya.
“[Buku]
ini untuk banyak orang lain termasuk Bapak,” katanya.
“Bapak
lagi nimang cucu, tiba—tiba datang surat, amplop coklat, lambang kiri Kejaksaan
Agung, itu bisa terjadi Pak,” katanya lagi.
Gamblang
Hotasi menceritakan pertemuan itu dalam sebuah forum diskusi akhir Desember tahun
lalu yang digelar oleh Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia.
Cukup
banyak direksi BUMN yang hadir dalam acara yang disponspori oleh PT Kereta Api Indonesia
dan Perumnas tersebut.
Baginya,
peluang kriminalisasi bekas pimpinan perusahaan pelat merah dalam mengambil
keputusan sangat besar. Seperti apa yang dialaminya kini; menjadi terdakwa
dengan tuduhan memperkaya orang lain, mengakibatkan kerugian keuangan negara
sebesar US$1 juta.
Pembelaan
itu juga yang coba diungkapkan Hotasi dalam buku Jangan Pidanakan Perdata, Menggugat
Perkara Sewa Pesawat Merpati yang terbit perdana Juni tahun lalu. Dia mengatakan menulis buku tentang kasus
korupsi yang menjerat dirinya sendiri adalah pekerjaan sangat sulit.
“Apakah
dengan menulis ini saya akan bebas dari tuduhan yang tidak berdasar, pertanyaan
itu menghantui saya,” cerita Hotasi dalam prakata buku tersebut.
Tentu
kebebasan bukan perkara mudah. Dalam sidang tuntutan pada Senin 7 Januari 2013 yang molor hingga 1 jam, Jaksa Penuntut
Umum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) Franky Son menuntut Hotasi hukuman penjara 4 tahun dikurangi masa tahahan
kota dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Tuduhan
memperkaya diri sendiri atau dakwaan primer Hotasi memang tak terbukti. Namun, bekas Dirut General Electric Lokomotif
Indonesia itu kena dakwaan subsider,
dianggap merugikan keuangan negara.
Ini
melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31/199 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU No.20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999
jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Perbuatan Merugikan Keuangan Negara.
“Pimpinan
memaksakan kasus ini, mereka mengabaikan fakta yang jelas. Ini menjadi preseden
buruk bagi dirut BUMN lain,” tegas Hotasi seusai sidang.
Lakon
kasus Merpati ini bermula 7 tahun lalu. Ketika maskapai Merpati oleng. Direksi
diminta mencari strategi demi menjaga kelangsungan usaha dan ini membuat Hotasi
menerjemahkan arahan itu untuk menyewa pesawat.
SEWA DUA PESAWAT
Melalui
circular board atau keputusan dewan komisaris di luar rapat, disetujuilah sewa dua
pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 dari Thirdstone Aircraft Leasing
Group (TALG) yang berbasis di Amerika.
Uang
deposit semacam jaminan US$1 juta pun ditransfer untuk dua pesawat itu
melalui pihak independen yang ditunjuk oleh
TALG yakni Hume and Associates, kantor hukum milik Ted Hume dan Jon C Cooper.
Merpati
sebetulnya sudah mengiklankan kebutuhan pesawat itu di situs speednews sejak
Juni—November 2006 tapi 13 kali gagal mendapatkan Boeing yang ada di berbagai
perusahaan leasing kelas dunia karena reputasi keuangan Merpati sangat buruk.
TALG
akhirnya berjodoh setelah GECAS, ILFC dan Sumitomo, dan perusahaan leasing terkemuka
lain menutup pintu bagi Merpati.
Sial,
kerja sama itu berakhir derita. Di tengah perjalanan pihak leasing wanprestasi.
Pesawat tak dikirim, uang deposit justru dinikmati oleh Jon C Cooper sebesar US$810.000
dan sisanya oleh pemilik TALG, Alan Messner.
Merpati
pun berontak dalam ranah perdata. Pada April 2007, maskapai yang dulunya bernama
PN Merpati Nusantara itu mengajukan gugatan resmi ke Federal Court Washintong
DC menuntut TALG mengembalikan uang.
Merpati
menang dan TALG dihukum mengembalikan deposit beserta dengan bunga dan biaya pengacara.
Namun,
berbeda dengan keputusan Federal Court, Tipikor justru mendudukan Hotasi sebagai
pesakitan. Alasannya, sewa pesawat tak termaktub dalam rencana kerja anggaran
perusahaan atau RKAP 2006, deposit juga dilakukan di luar persetujuan itu.
“Pembayaran
deposit dilakukan padahal belum ada penandatangangan purchase agreement[perjanjian
pembelian] antara TALG dengan East Dover Ltd selaku pemilik pesawat Boeing 737-500,”
kata Franky Son
Merpati
memang melakukan upaya hukum terhada TALG dan berhasil mengembalikan US$5.000 tapi
menurut Franky unsur kerugian negara tetap diberlakukan.
Keputusan
tersebut menjadi pertanyaan publik, apakah kekayaan sebuah perusahaan pelat merah
itu menjadi kekayaan negara atau terpisah?
**
Kebimbangan
itu muncul lantaran dalam Pasal 4 dalam UU No.19/2003 tentang BUMN dinyatakan
bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Namun,
Pasal 2 dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa yang dimaksud
keuangan negara itu di antaranya meliputi kekayaan negara atau kekayaan daerah yang
dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,
barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
Di
sisi lain dalam Putusan No. 77 Mahkamah Konstitusi pada September 2012,
menegaskan piutang negara terhadap bank milik pemerintah dapat diartikan bahwa
bank itu ialah badan hukum privat berbentuk PT dan sebagai badan hukum
berbentuk
perseroan
terbatas, bank BUMN mempunyai harta kekayaan sendiri yang terpisah dengan
kekayaan negara.
Deputi
Bidang Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis Kementerian BUMN Achiran Pandu
Djajanto merasa kasus Hotasi itu menjadi catatan bagi pemerintah dengan
munculnya sejumlah pertanyaan.
Pertanyaan
itu, apakah kekayaan BUMN itu kekayaan negara? Apakah kerugian BUMN itu
kerugian negara karena Hotasi memesan pesawat murni menggunakan mekanisme
korporasi, bisa dikatakan pokok masalahnya adalah UU BUMN versus UU Keuangan Negara.
“Ini
menjadi catatan saat kami akan merevisi UU BUMN dan UU Keuangan Negara nanti
karena di sana saya me-list ada 10 pertanyaan apakah UU Keuangan Negara dan UU
Perbendaharaan Negara juga diberlakukan untuk BUMN,” tegas Pandu.
Menurutnya,
kalau ada keuangan negara yang mesti dipertanggungjawabkan, mestinya dilihat
terlebih dahulu apakah itu langsung dari APBN atau tidak.
“Apakah
seorang Hotasi memang punya kehendak korupsi dari Merpati? Apa yang mau dikorupsi dari Merpati? Lah itu Merpati sudah
tidak indah lagi terbang,” katanya.
Pandu
menyayangkan kekurangpahaman penegak hukum soal good corporate governance karena
suatu keputusan direksi tak mungkin lolos tanpa ada persetujuan komisaris
seperti diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 64 PP No. 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan,
Pengawasan, dan Pembubaran BUMN.
Ali
Nurdin dari kantor hukum Constitution Centre Adnan Buyung Nasution mencatat kasus
Hotasi murni perdata. Bila dikriminalisasi menjadi pidana, akan merusak
tatanan. Imbasnya keputusan yang diambil oleh direksi perusahaan negara bisa
berujung pada kriminalisasi.
“Kasihan,
bapak—bapak yang sekarang jadi direksi perusahaan negara. Siap-siap saja. Kurun
waktu 10 tahun—15 tahun ke depan tiba—tiba ada suatu perkara bisa ditetapkan
jadi tersangka,” katanya.
Kepala
Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi yang dihubungi
pada Selasa (15/1) menegaskan kasus Merpati tengah berjalan di persidangan sehingga
diharapkan segala hal berdasarkan keputusan akhir.
Pihaknya
belum bisa berkomentar lebih jauh soal pernyataan kekurangfahaman soal GCG dari
kasus Hotasi mengingat kasusnya tengah disidangkan.
“Kasusnya
sedang jalan, belum putusan kan, kita tunggu saja keputusannya dari persidangan,”
katanya singkat.
RAPATKAN BARISAN
Pendapat
Ali itu membuat direksi perusahaan negara lainnya agar tersadar. Hotbonar Sinaga
misalnya. Meski sudah tak menjabat sebagai Dirut Jamsostek, dirinya juga menyarankan
agar direksi perusahaan merapatkan barisan.
Hotbonar
juga hampir dikriminalisasi. Itu bermula saat saham Jamsostek yang mengelola
dana hingga Rp131 triliun mengalami delusi porsi saham di Bank Persyarikatan
Indonesia yang kini menjadi Bank Syariah Bukopin, padahal secara rupiah
nominalnya tetap.
Untungnya,
kasus itu masih di meja Jamintel atau Jaksa Agung Muda Intelijen belum di Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Khusus atau Jampidsus sehingga berhenti dengan sendirinya
meski terbuka peluang dikorek lagi.
“Saya
dekati, katakanlah, orang yang cukup berkuasa di negeri ini yang tahu kasus.
Minta tolong dia, tapi risiko untuk dimunculkan kembali tetap ada, tapi saya enggak
takut kalau memang saya benar,” tegas dosen FEUI ini.
Seperti
Hotbonar, Hotasi sempat berupaya bertemu dengan Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit
Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan dan Menkopolhukam
Djoko Suyanto tapi hasilnya nihil.
“Normatif
saja jawabanya, ini belantara,” katanya.
Ali
mencatat dari cerminan kasus Merpati, terdapat kelemahan dari Kejaksaan Agung
dalam menafsirkan Pasal 3 dan Pasal 2 UU Tipikor yakni soal merugikan keuangan negara
dan perbuatan melawan hukum dengan niat memperkaya diri sendiri.
Dalam
prakteknya, seringkali unsur pertama itu diabaikan sehingga hanya dilihat apakah
ada perbuatan melawan hukum atau tidak. Imbasnya ada kerugian perusahaan negara,
kebijakan direksi di balik kerugian itu ditarik ke ranah korupsi.
Apabila
kekeliruan penafsiran itu berlanjut, silahkan menunggu waktu bagi direksi perusahaan
negara untuk dipanggil oleh aparat baik saat masih menjabat maupun setelah
menjabat.
“Jangan
jauh—jauh, menteri yang sedang berkuasa saja bisa dijadikan tersangka [Andi Malarangeng,
Menpora], dan Pak Dahlan Iskan pun sudah dipersoalkan kebijakannya di PLN dulu,
kalau dia tak kuat, dia akan kena, tinggal tunggu waktu,” katanya.
Dengan
pertimbangan itu, Ali berharap direksi perusahaan negara, yang berpotensi dirugikan,
duduk bersama untuk mengajukan judicial review atau pengujian kembali atas
Pasal 2 UU Keuangan Negara agar dicabut. Pasal itu menjadi pintu masuk tuduhan korupsi
bagi direksi BUMN.
Ali
juga berharap komisi kejaksaan guna mengawasi kinerja kejaksaan sebagaimana Komisi
Yudisial mengawasi tindakan hakim. Selama ini pengawasan kejaksaan dilakukan
oleh satu komite kejaksaan yang tidak punya kekuatan.
Baginya,
perlu ada lembaga hakim dan komisaris guna menggantikan lembaga praperadilan. Kewenangannya
lebih jauh bisa menguji penetapan seseorang menjadi tersangka dan menguji
apakah yang bersangkutan bisa ditahan atau tidak, mengacu pada kasus Hotasi.
Irwan
M Habsjah, Ketua Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia, dalam kesempatan itu
diskusi itu mencoba untuk mengkaji kemungkinan judicial review itu.
Pihaknya
bersama asosiasi tersebut berupaya dalam menggalang dukungan termasuk dalam
mengajukan judicial review.
Ali
mewanti—wanti agar direksi BUMN jangan takut karena maju ke MK menguji satu
aturan karena menyangkut hak warga negara bukan dalam arti melawan atau bertentangan
dengan pemerintah.
Sayangnya,
dalam sidang Hotasi Senin siang itu, tak ada perwakilan dari LKDI yang berjanji
bakal mendampingi alumnus ITB dan MIT Boston itu di persidangan sembari membagikan
siaran pers soal rencana judicial review itu.
Sorot
mata Hotasi saat persidangan Senin itu tak berubah jadi kuyu. Dia tetap
berusaha mengumpulkan patahan masa lalu saat mengambil keputusan itu meski kini
keputusan itu berakhir tragis. Atas informasi dan segala pertimbangan,
keputusan itulah dinilai paling tepat saat itu.
“Kalau
diulang waktu, saya akan ambil keputusan yang sama. Ini bukan crime,
sebagai seorang leader harus berani ambil
keputusan,” ujarnya.
Selama
2 pekan ke depan sejak Senin 7 Januari itu, Hotasi bersama kuasa hukumnya Juniver
Girsang berupaya melawan apa yang disebutkan sebagai kriminalisasi itu. (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Tulisan ini dimuat di
Harian Bisnis Indonesia, edisi Rabu 16 Januari dan Kamis 17 Januari 2013.