Jumat, 18 Januari 2013

HOTASI dan Lampu Kuning BUMN

Eks Dirut Merpati Nusantara Hotasi Nababan
tengah mengikuti salah satu sidangnya di Tipikor,
Photo by JIBI/Solopos
M. Tahir Saleh

MANTAN Dirut Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan masih ingat pertemuannya dengan Menteri BUMN Dahlan Iskan suatu hari setelah sang menteri pulang dari  Darwin, Australia.

Dahlan merespons buku Jangan Pidanakan Perdata setebal 259 halaman yang ditulisnya.

“Hot, Anda begitu nekat bikin buku ini,” katanya menirukan ucapan Dahlan.

Hotasi lantas mengatakan dirinya membuat buku itu bukan hanya untuknya.

“[Buku] ini untuk banyak orang lain termasuk Bapak,” katanya.

“Bapak lagi nimang cucu, tiba—tiba datang surat, amplop coklat, lambang kiri Kejaksaan Agung, itu bisa terjadi Pak,” katanya lagi.

Gamblang Hotasi menceritakan pertemuan itu dalam sebuah forum diskusi akhir Desember tahun lalu yang digelar oleh Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia.

Cukup banyak direksi BUMN yang hadir dalam acara yang disponspori oleh PT Kereta Api Indonesia dan Perumnas tersebut.

Baginya, peluang kriminalisasi bekas pimpinan perusahaan pelat merah dalam mengambil keputusan sangat besar. Seperti apa yang dialaminya kini; menjadi terdakwa dengan tuduhan memperkaya orang lain, mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar US$1 juta.

Pembelaan itu juga yang coba diungkapkan Hotasi dalam buku Jangan Pidanakan Perdata, Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati yang terbit perdana Juni tahun lalu.  Dia mengatakan menulis buku tentang kasus korupsi yang menjerat dirinya sendiri adalah pekerjaan sangat sulit.

“Apakah dengan menulis ini saya akan bebas dari tuduhan yang tidak berdasar, pertanyaan itu menghantui saya,” cerita Hotasi dalam prakata buku tersebut.

Tentu kebebasan bukan perkara mudah. Dalam sidang tuntutan pada Senin 7 Januari  2013 yang molor hingga 1 jam, Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Tindak Pidana  Korupsi (Tipikor) Franky Son menuntut Hotasi hukuman penjara 4 tahun dikurangi masa tahahan kota dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Tuduhan memperkaya diri sendiri atau dakwaan primer Hotasi memang tak terbukti.  Namun, bekas Dirut General Electric Lokomotif Indonesia itu kena dakwaan subsider,  dianggap merugikan keuangan negara.

Ini melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31/199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana  Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Perbuatan Merugikan Keuangan Negara.

“Pimpinan memaksakan kasus ini, mereka mengabaikan fakta yang jelas. Ini menjadi preseden buruk bagi dirut BUMN lain,” tegas Hotasi seusai sidang.

Lakon kasus Merpati ini bermula 7 tahun lalu. Ketika maskapai Merpati oleng. Direksi diminta mencari strategi demi menjaga kelangsungan usaha dan ini membuat Hotasi menerjemahkan arahan itu untuk menyewa pesawat.

SEWA DUA PESAWAT
Melalui circular board atau keputusan dewan komisaris di luar rapat, disetujuilah sewa dua pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 dari Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) yang berbasis di Amerika.

Uang deposit semacam jaminan US$1 juta pun ditransfer untuk dua pesawat itu melalui  pihak independen yang ditunjuk oleh TALG yakni Hume and Associates, kantor hukum milik Ted Hume dan Jon C Cooper.

Merpati sebetulnya sudah mengiklankan kebutuhan pesawat itu di situs speednews sejak Juni—November 2006 tapi 13 kali gagal mendapatkan Boeing yang ada di berbagai perusahaan leasing kelas dunia karena reputasi keuangan Merpati sangat buruk.

TALG akhirnya berjodoh setelah GECAS, ILFC dan Sumitomo, dan perusahaan leasing terkemuka lain menutup pintu bagi Merpati.

Sial, kerja sama itu berakhir derita. Di tengah perjalanan pihak leasing wanprestasi. Pesawat tak dikirim, uang deposit justru dinikmati oleh Jon C Cooper sebesar US$810.000 dan sisanya oleh pemilik TALG, Alan Messner.

Merpati pun berontak dalam ranah perdata. Pada April 2007, maskapai yang dulunya bernama PN Merpati Nusantara itu mengajukan gugatan resmi ke Federal Court Washintong DC menuntut TALG mengembalikan uang.

Merpati menang dan TALG dihukum mengembalikan deposit beserta dengan bunga dan biaya pengacara.

Namun, berbeda dengan keputusan Federal Court, Tipikor justru mendudukan Hotasi sebagai pesakitan. Alasannya, sewa pesawat tak termaktub dalam rencana kerja anggaran perusahaan atau RKAP 2006, deposit juga dilakukan di luar persetujuan itu.

“Pembayaran deposit dilakukan padahal belum ada penandatangangan purchase agreement[perjanjian pembelian] antara TALG dengan East Dover Ltd selaku pemilik pesawat Boeing 737-500,” kata Franky Son

Merpati memang melakukan upaya hukum terhada TALG dan berhasil mengembalikan US$5.000 tapi menurut Franky unsur kerugian negara tetap diberlakukan.

Keputusan tersebut menjadi pertanyaan publik, apakah kekayaan sebuah perusahaan pelat merah itu menjadi kekayaan negara atau terpisah?

**
Kebimbangan itu muncul lantaran dalam Pasal 4 dalam UU No.19/2003 tentang BUMN dinyatakan bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang  dipisahkan.

Namun, Pasal 2 dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa yang dimaksud keuangan negara itu di antaranya meliputi kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

Di sisi lain dalam Putusan No. 77 Mahkamah Konstitusi pada September 2012, menegaskan piutang negara terhadap bank milik pemerintah dapat diartikan bahwa bank itu ialah badan hukum privat berbentuk PT dan sebagai badan hukum berbentuk
perseroan terbatas, bank BUMN mempunyai harta kekayaan sendiri yang terpisah dengan kekayaan negara.

Deputi Bidang Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis Kementerian BUMN Achiran Pandu Djajanto merasa kasus Hotasi itu menjadi catatan bagi pemerintah dengan munculnya sejumlah pertanyaan.

Pertanyaan itu, apakah kekayaan BUMN itu kekayaan negara? Apakah kerugian BUMN itu kerugian negara karena Hotasi memesan pesawat murni menggunakan mekanisme korporasi, bisa dikatakan pokok masalahnya adalah UU BUMN versus UU Keuangan Negara.

“Ini menjadi catatan saat kami akan merevisi UU BUMN dan UU Keuangan Negara nanti karena di sana saya me-list ada 10 pertanyaan apakah UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara juga diberlakukan untuk BUMN,” tegas Pandu.

Menurutnya, kalau ada keuangan negara yang mesti dipertanggungjawabkan, mestinya dilihat terlebih dahulu apakah itu langsung dari APBN atau tidak.

“Apakah seorang Hotasi memang punya kehendak korupsi dari Merpati? Apa yang mau  dikorupsi dari Merpati? Lah itu Merpati sudah tidak indah lagi terbang,” katanya.

Pandu menyayangkan kekurangpahaman penegak hukum soal good corporate governance karena suatu keputusan direksi tak mungkin lolos tanpa ada persetujuan komisaris seperti diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 64 PP No. 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN.

Ali Nurdin dari kantor hukum Constitution Centre Adnan Buyung Nasution mencatat kasus Hotasi murni perdata. Bila dikriminalisasi menjadi pidana, akan merusak tatanan. Imbasnya keputusan yang diambil oleh direksi perusahaan negara bisa berujung pada kriminalisasi.

“Kasihan, bapak—bapak yang sekarang jadi direksi perusahaan negara. Siap-siap saja. Kurun waktu 10 tahun—15 tahun ke depan tiba—tiba ada suatu perkara bisa ditetapkan jadi tersangka,” katanya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi yang dihubungi pada Selasa (15/1) menegaskan kasus Merpati tengah berjalan di persidangan sehingga diharapkan segala hal berdasarkan keputusan akhir.

Pihaknya belum bisa berkomentar lebih jauh soal pernyataan kekurangfahaman soal GCG dari kasus Hotasi mengingat kasusnya tengah disidangkan.

“Kasusnya sedang jalan, belum putusan kan, kita tunggu saja keputusannya dari persidangan,” katanya singkat.

RAPATKAN BARISAN
Pendapat Ali itu membuat direksi perusahaan negara lainnya agar tersadar. Hotbonar Sinaga misalnya. Meski sudah tak menjabat sebagai Dirut Jamsostek, dirinya juga menyarankan agar direksi perusahaan merapatkan barisan.

Hotbonar juga hampir dikriminalisasi. Itu bermula saat saham Jamsostek yang mengelola dana hingga Rp131 triliun mengalami delusi porsi saham di Bank Persyarikatan Indonesia yang kini menjadi Bank Syariah Bukopin, padahal secara rupiah nominalnya tetap.

Untungnya, kasus itu masih di meja Jamintel atau Jaksa Agung Muda Intelijen belum di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus atau Jampidsus sehingga berhenti dengan sendirinya meski terbuka peluang dikorek lagi.

“Saya dekati, katakanlah, orang yang cukup berkuasa di negeri ini yang tahu kasus. Minta tolong dia, tapi risiko untuk dimunculkan kembali tetap ada, tapi saya enggak takut kalau memang saya benar,” tegas dosen FEUI ini.

Seperti Hotbonar, Hotasi sempat berupaya bertemu dengan Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan dan Menkopolhukam Djoko Suyanto tapi hasilnya nihil.

“Normatif saja jawabanya, ini belantara,” katanya.

Ali mencatat dari cerminan kasus Merpati, terdapat kelemahan dari Kejaksaan Agung dalam menafsirkan Pasal 3 dan Pasal 2 UU Tipikor yakni soal merugikan keuangan negara dan perbuatan melawan hukum dengan niat memperkaya diri sendiri.

Dalam prakteknya, seringkali unsur pertama itu diabaikan sehingga hanya dilihat apakah ada perbuatan melawan hukum atau tidak. Imbasnya ada kerugian perusahaan negara, kebijakan direksi di balik kerugian itu ditarik ke ranah korupsi.

Apabila kekeliruan penafsiran itu berlanjut, silahkan menunggu waktu bagi direksi perusahaan negara untuk dipanggil oleh aparat baik saat masih menjabat maupun setelah menjabat.

“Jangan jauh—jauh, menteri yang sedang berkuasa saja bisa dijadikan tersangka [Andi Malarangeng, Menpora], dan Pak Dahlan Iskan pun sudah dipersoalkan kebijakannya di PLN dulu, kalau dia tak kuat, dia akan kena, tinggal tunggu waktu,” katanya.

Dengan pertimbangan itu, Ali berharap direksi perusahaan negara, yang berpotensi dirugikan, duduk bersama untuk mengajukan judicial review atau pengujian kembali atas Pasal 2 UU Keuangan Negara agar dicabut. Pasal itu menjadi pintu masuk tuduhan korupsi bagi direksi BUMN.

Ali juga berharap komisi kejaksaan guna mengawasi kinerja kejaksaan sebagaimana Komisi Yudisial mengawasi tindakan hakim. Selama ini pengawasan kejaksaan dilakukan oleh satu komite kejaksaan yang tidak punya kekuatan.

Baginya, perlu ada lembaga hakim dan komisaris guna menggantikan lembaga praperadilan. Kewenangannya lebih jauh bisa menguji penetapan seseorang menjadi tersangka dan menguji apakah yang bersangkutan bisa ditahan atau tidak, mengacu pada kasus Hotasi.

Irwan M Habsjah, Ketua Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia, dalam kesempatan itu diskusi itu mencoba untuk mengkaji kemungkinan judicial  review itu.
Pihaknya bersama asosiasi tersebut berupaya dalam menggalang dukungan termasuk dalam mengajukan judicial review.

Ali mewanti—wanti agar direksi BUMN jangan takut karena maju ke MK menguji satu aturan karena menyangkut hak warga negara bukan dalam arti melawan atau bertentangan dengan pemerintah.

Sayangnya, dalam sidang Hotasi Senin siang itu, tak ada perwakilan dari LKDI yang berjanji bakal mendampingi alumnus ITB dan MIT Boston itu di persidangan sembari membagikan siaran pers soal rencana judicial review itu.

Sorot mata Hotasi saat persidangan Senin itu tak berubah jadi kuyu. Dia tetap berusaha mengumpulkan patahan masa lalu saat mengambil keputusan itu meski kini keputusan itu berakhir tragis. Atas informasi dan segala pertimbangan, keputusan itulah dinilai paling tepat saat itu.

“Kalau diulang waktu, saya akan ambil keputusan yang sama. Ini bukan crime, sebagai  seorang leader harus berani ambil keputusan,” ujarnya.

Selama 2 pekan ke depan sejak Senin 7 Januari itu, Hotasi bersama kuasa hukumnya Juniver Girsang berupaya melawan apa yang disebutkan sebagai kriminalisasi itu. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, edisi Rabu 16 Januari dan Kamis 17 Januari 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu