M. Tahir Saleh
Pembenahan Pelabuhan Tanjung Priok terus dilakukan. Sayangnya, pungutan liar, antrean panjang, dan gangguan keamanan masih menjadi keluhan para pengguna. **
ZUBAIDI tengah menyantap makan malam
di dalam truk saat muncul suara telepon dari Iman, salah satu pegawai
perusahaan ekspedisi peti kemas PT Angkutan Jasa Mandiri, tempat Zubaidi
bekerja mencari nafkah sebagai sopir borongan.
“Pak, besok tolong jam 6 pagi am bil
kosongan [peti kemas kosong] di depo PIL [Pacific International Lines],” begitu suara di se
berang seperti ditirukan Zubaidi.
Kamis (14/2) pukul 5 pagi, pria itu
sudah membawa head truck menuju depo PIL di Jalan Raya Cakung Cilincing, tempat
penyewaan peti kemas kosong, lalu menuju PT Indo Creative Mebel di Kawasan Indo
Taisei, Cikampek, Karawang, Jawa Barat.
Perusahaan eksportir furnitur ini menyewa
jasa AJM untuk membawa sofa yang diekspor melalui pelabuhan ekspor impor PT Jakarta
International Container Terminal (JICT).
Sekali jalan, dia dibekali Rp400.000. Uang itu habis paling banyak untuk
mengisi penuh solar Rp200.000, selebihnya untuk makan dan upah.
“Sisanya bisa Rp100.000, tapi paling
sering Rp50.000,” kata bapak 56 tahun ini ditemui saat mengantre di depan
gerbang masuk kawasan JICT, Kamis (14/2) sore.
Zubaidi mengantre sejak pukul 11 siang
dan hingga pukul 3 sore hari itu belum juga mengantongi kartu kuning, semacam
surat jalan masuk gerbang JICT. Kartu itu di urus oleh petugas dari AJM yang siap sedia di pelabuhan.
Di tempat yang sama, sopir borongan
perusahaan ekspedisi PT Kurnia Pratama bernama Toni duduk di atas bemper truk
Nissan Diesel yang mengangkut kontainer berisi barang elektronik milik Toyota
dari Kawasan Industri MM2100 Cibitung, Jawa Barat, untuk diekspor.
Dia ‘membunuh’ sepi dengan menyeruput
secangkir kopi dan mengisap sebatang rokok. Di depannya, puluhan truk juga mengular
menunggu giliran masuk di depan gerbang kawasan JICT. Diangkut dari Cibitung, peti
kemas itu sudah ditempel stiker putih Bea dan Cukai serta nomor seal atau segel
pengaman, berwarna kuning.
Setelah truk mengantongi kartu kuning, katanya,
truk diperbolehkan masuk gerbang, disurvei oleh petugas, lalu ditimbang dan dipindai.
Truk lalu menuju lapangan penumpukan,
sesuai dengan dokumen di baris dan nomor berapa agar peti kemas dibongkar oleh
alat pengerek atau crane, ditumpuk, menunggu diangkut oleh kapal laut.
Jalur kuning ialah jalur kepabeanan dengan
pemeriksaan dokumen secara khusus tanpa memeriksa barang, sedangkan jalur
merah itu petugas Bea dan Cukai akan memeriksa barang yang diimpor.
Menurut Toni, alat crane yang sedikit
membuat dirinya kadang menunggu proses bongkar hingga 3 jam. Gerbang masuk
Pelabuhan JICT pun tidak seluruhnya dibuka padahal antrean makin lama.
Namun, pria lajang berusia 23 tahun ini
menilai pelayanan pelabuhan sudah jauh lebih baik dari setahun lalu saat dia
masih menjadi kernet truk kontainer. Dulu, pungutan liar merajalela.
“Kalau sekarang ini sukarela aja, uang
rokoklah, misalnya di gerbang Rp1.000-Rp2.000. Nah kalau peti kemas dibongkar
itu sekitar Rp10.000 kita ngasih ke petugasnya.”
Pungutan juga terjadi di Pintu 9
Pelabuhan Tanjung Priok. Gerbang ini wajib dilalui truk padahal hanya berputar
di pelabuhan itu lalu keluar lagi untuk masuk ke JICT. Besaran fulus yang
diminta petugas, kata Zubaidi, sekitar Rp5.000—Rp10.000.
Dirut JICT Albert Pang mengatakan
efisiensi pelabuhan sebetulnya selalu menjadi fokus perseroan guna meningkatkan
produktivitas. Sejak 2008-2012, pihaknya, sudah menghabiskan US$250 juta belanja
peralatan baru, peningkatan kapasitas dermaga, dan sistem informasi dan
teknologi.
“Ini untuk memodernisasi layanan
pelabuhan,” katanya.
Saham JICT digenggam Hutchison Port
Holdings (HPH) 51%, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II atau Indonesia Port Corporation
(IPC) sebesar 49%, dan porsi kecil milik Koperasi Pegawai Maritim. Hutchison
juga punya saham di Terminal Peti Kemas (TPK) Koja dengan mayoritas dimiliki
Pelindo II.
Soal kemacetan truk, Corporate Affairs
Manager JICT Indhira Gita Lestari menyatakan pihaknya tengah mengembangkan
pintu masuk atau gate pelabuhan menjadi 20 jalur. Ke-20 jalur itu terbagi atas
14 jalur milik JICT dan enam jalur untuk TPK Koja supaya kemacetan terurai
karena saat ini hanya delapan gate.
Nantinya, juga dibangun jalur agar truk
dari pintu keluar jalan tol langsung akses ke pintu masuk JICT, TPK Koja, atau
ke pelabuhan yang tengah dibangun Pelindo II saat ini yakni Kalibaru atau New
Priok Port.
Dalam hal modernisasi, pihaknya telah
memberlakukan JICT Auto Gate System (JAGS) agar pelayanan pintu masuk manual menjadi
otomatis dan dikendalikan melalui customs control room.
“Semua gate nanti full by system,”
katanya.
Sayang, JASG masih terkendala lahan
makam Mbah Priok yang membuat pembangunan fisik 20 gate itu belum terealisasi
hingga kini. Sistem pintu gerbang otomatis melalui JAGS hanya dijalankan dengan
menggunakan infrastruktur bangunan fisik lama.
Indhira mengakui kemacetan memang
terjadi di luar pelabuhan dan berharap pembangunan jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR)
Cilincing Jampea section E-2 bisa mengatasi itu.
Pada tahun lalu, JICT bisa menangani
2,35 juta TEUs dari tahun sebelumnya hanya 2,29 juta TEUs. Kemenko Bidang Perekono mian mengungkapkan pelabuhan ini mengelola 57% total peti kemas yang
melalui Priok pada 2011 dan 63% pada tahun lalu.
TERTINGGAL DI ASEAN
Selain JICT, modernisasi sebetulnya
juga terus diupayakan PT Pelindo II. Biaya logistik Indonesia yang termasuk
tertinggi di Asean yakni 25%-30% dari PDB membuat pemerintah terus berbenah.
Tim Kerja Konektivitas Komite Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia mencatat waktu tunggu peti kemas mulai
dibongkar sampai keluar pelabuhan atau dwelling time saja mencapai 6 hari plus,
padahal Singapura hanya 1,1 hari, Malaysia selama 4 hari, dan Thailand hanya 5
hari.
Atas dasar itulah mulai muncul kesadaran
bersama memperbaiki daya saing logistik. Salah satunya fokus pada pembenahan
pelabuhan karena dinilai 60% biaya angkutan laut habis di pelabuhan, termasuk
biaya stuffing atau stripping, tarif bongkar muat, tarif penumpukan, haulage,
dan lainnya.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa
menegaskan efisiensi pelabuhan mesti segera direalisasikan. Operator dan pelaku
usaha juga tidak boleh saling menyalahkan. Dia meminta Pelindo II fokus membenahi
pelabuhan, sedangkan pelaku usaha didesak memperbaiki sarana angkutan.
Dengan pertimbangan itu, Pelindo I, II,
II, dan IV jor-joran berinvestasi. Tahun ini, Pelindo I menyiap kan Rp3,7
trilun, Pelindo II yang juga operator Priok mengang garkan Rp7 triliun.
Khusus investasi Pelindo II mele sat
233% dari tahun lalu itu karena pengaruh proyek Terminal Kalibaru dan Pelabuhan
Sorong, Papua.
Adapun Pelindo III mengalokasikan Rp6,1
triliun untuk pengembangan bisnis. Paling banyak digunakan untuk pengerjaan
proyek Terminal Multipurpose Teluk Lamong Rp2,5 triliun, alat dan fasilitas pelabuhan
Rp1,8 triliun, dan investasi tanah, jalan, dan bangunan Rp1,2 triliun.
Pelindo IV khusus Pelabuhan Makassar
menargetkan investasi hingga Rp774 miliar tahun ini guna menambah fasilitas,
terminal peti kemas dan penambahan dermaga di pelabuhan tersebut.
Di luar investasi demi revitalisasi
pelabuhan itu, bagi sopir truk macam Zubaidi dan Toni sebetulnya butuh yang namanya
keamanan baik di pelabuhan maupun jalan raya.
Di dalam kawasan pelabuhan saja,
kejahatan pun terjadi, malam dan siang. Pernah suatu malam, kantong celana belakang Zubaidi
disilet oleh preman saat dia tak sengaja tertidur ketika mengantre di depan
JICT.
Sering kali dia melihat rekan sopir
lain juga ditodong dengan senjata tajam di kawasan JICT.
“Kalau saya lawan atau teriak, saya
takut, pan tiap hari saya kerja di sini, gimana kalau saya diincer,”
ceritanya.
Toni juga sama. Dia lebih sering
ditodong di dekat lampu merah Mambo, perempatan jalan menuju Terminal Tanjung
Priok. Rekannya pernah ditikam oleh preman karena melawan dan akhirnya tewas.
Kepala Satuan Pengaman JICT belum bisa
dimintai informasi karena saat itu masih berada di luar pos jaga, bawahannya
enggan berkomentar.
Kepala Polisi Sub Sektor Pelabuhan JICT Ipda Weni Sianipar
juga tak berani berkomentar banyak soal pengamanan pelabuhan karena sesuai
dengan prosedur mesti lewat Polres Pelabuhan Tanjung Priok. Namun, informasi lain menyebutkan belum
ada kejadian itu, patroli polisi dilakukan antara 2 jam sekali.
Modernisasi pelabuhan patut diapresiasi.
Akan tetapi langkah itu perlu ditunjang juga dengan sektor lain seperti pembenahan infrastuktur
jalan dan keamanan yang dikeluhkan oleh para sopir.
Jalan tol JORR juga bukan solusi tunggal
toh beberapa sopir tak berani melewati jalan tol baru itu karena posisinya
terlalu tinggi. (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi 19
Februari 2013.
Words: 1.288