|
Nur Febriyani, saat konferensi pers di Kemang, Jumat (7/6), photo by Merdeka |
Oleh M Tahir Saleh
MENJELANG
pesawat tinggal landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta Cengkareng, Nur Febriyani mulai antusias dan
bersemangat.
Saat
itu, Rabu malam (5/6), Febriyani menjadi salah satu petugas awak kabin pada
penerbangan Sriwijaya Air dengan kode penerbangan SJ 078 rute Jakarta menuju
Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, Bangka Belitung.
Awalnya
baik-baik saja, tapi kegusaran muncul saat dia melihat seorang penumpang di
kursi 12E ternyata belum menonaktifkan telepon seluler (ponsel). Sopan dan
tegas Febby akhirnya menegur pria yang tak lain ialah Kepala Dinas Badan
Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bangka Belitung Zakaria Umar Hadi.
Teguran
itu bukan yang pertama diterima, rekan Febby sebelumnya juga sudah menegur
pejabat daerah itu tapi tak mempan.
“Maaf,
tolong matikan HP-nya, Pak,” tegur Febby seperti diceritakan oleh adiknya,
Shita Destya, di Jakarta, Sabtu (8/6).
Zakaria
malah menyorongkan ponselnya ke arah Febby dan dengan suara cukup keras bilang
bahwa ponsel itu sudah dinonaktifkan.
“Maaf,
Bapak kenapa kasar? Saya hanya meminta Bapak mematikan HP,” kata Febby.
Zakaria
sudah nampak marah tapi Febby tak menduga kemarahan lantaran ditegur dua kali
itu berlanjut sampai tiba di Pangkal Pinang. Ketika mendarat, Zakaria
mendatangi Febby. Sembari meminta Febby sopan dalam menegur, Zakaria juga
memukulkan Koran ke tubuh pramugari itu
“Jangan
kasar kamu, lain kali sopan!”
Dipukul
seperti itu, Febby berusaha lari memanggil kapten pilot. Namun, Zakaria malah
menahan dan memberi pukulan kedua, lebih kencang di telinga kiri. “Pok!!”
Singkat
cerita Zakaria lalu diamankan oleh kapten pilot dibantu sejumlah penumpang yang
mengejar dan menangkapnya.
Ellisa, adik Zakaria sekaligus
kuasa hukumnya hingga saat ini belum menginformasikan kronologis versi Zakaria
dalam kasus itu berikut dengan perkembangan kasus itu. Pesan singkat dan
panggilan telepon tak berbalas.
Kapolres
Pangkal Pinang AKBP Bariza Sulfi
mengatakan pihaknya kini menangani perkara Zakaria. Tersangka ditahan di Polsek
Pangkalanbaru karena tahanan Polres sudah penuh. "Dari pengakuan
tersangka, karena teguran pramugari tidak sopan," katanya saat dihubungi
dari Jakarta, Minggu (9/6).
Zakaria
dijerat dengan Pasal 351 Ayat 1 KUHP tentang Pengainayaan dan atau Pasal 335
KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan dengan ancaman hukuman kurungan 2
tahun 8 bulan dan Pasal 335 ancaman maksimal 1 tahun penjara. "Kalau kasus
351 dan 335 beberapa kami tangani, tapi kalau pemukulan pramugari baru kali
ini," katanya.
Selang
sehari kemudian, kasus pemukulan kembali terjadi. Kali ini menimpa Fatma Ika Hayati, petugas keamanan
kereta rel listrik (KRL) Commuter Line yang dioperasikan oleh PT KAI Commuter
Jabodetabek (PT KJC), anak usaha PT Kereta Api Indoensia.
Eva Chairunisa, Manajer Humas KCJ
menceritakan pemukulan itu terjadi sekitar pukul 20.00 WIB, Kamis malam (6/6)
di atas kereta 588 jurusan Bogor-Jakarta saat melintas antara Stasiun Kalibata
menuju Stasiun Pasar Minggu.
Fatma
dipukul setelah menegur lima orang penumpang yang hanya mengantongi satu tiket.
Dia dipukul mata kirinya setelah menyuruh penumpang turun di stasiun
berikutnya, sesuai dengan prosedur jika penumpang kedapatan tak memiliki tiket.
Hingga kini para pelaku yang kabur itu masih dalam pengejaran petugas
kepolisian. "Iya belum (ditangkap), kacau," kata Eva.
Pihaknya
menghimbau kepada seluruh penumpang untuk tertib dan mengikuti peraturan yang
berlaku. Manajemen KJC juga berharap dan menghimbau kepada penumpang agar tidak
melakukan tindakan anarkis saat melakukan perjalanan KRL.
"Kami
juga sangat mengapresiasi para pengguna jasa yang telah ikut serta
berpartisipasi menjaga keamanan dan ketertiban pada KRL di Jabodetabek,"
kata Eva.
Pengamat
hukum transportasi Universitas Trisakti Siti
Nurbaeti menilai langkah standar yang sudah dijalankan oleh pramugari
sebetulnya sudah benar karena sesuai dengan prosedur, tapi dalam kasus
pemukulan petugas di kereta dia belum mendapatkan latar belakang kronologis.
"Kan
ada saksinya juga, kalo yang kereta api saya engga pasti, siapa yang salah
karena belum tahu ada saksi yang melihat bagamana cara menegur penumpang, tapi
terlepas dari itu semua budaya hukum masyarakat kita baru sebatas taat hukum,
belum sampai pada taraf sadar hukum," katanya.
Sekjen
Indonesia National Air Carries Association (Inaca) Tengku Burhanuddin mengatakan Sriwijaya Air sebetulnya berhak
memasukan nama Zakaria dalam daftar hitam sehingga dia tidak akan pernah bisa
naik maskapai itu lagi, seumur hidup.
Langkah
itu sebetulnya pernah dilakukan oleh Garuda Indonesia dalam kasus penumpang
yang membentak dan memukul awak kabin.
"Garuda
waktu zaman almarhum Pak Soeparno (Dirut Garuda 1988-1992) pernah melakukannya
(blacklist), kasusnya membentak dan memukul," katanya.
Belakangan
ini, katanya, cukup banyak penumpang yang cenderung mengabaikan peraturan
penerbangan mulai dari keengganan memakai sabuk pengaman, mencoba merokok di
kamar kecil, sampai keisengan mengambil jaket. Meski begitu, belum ada rencana
dari maskapai itu untuk meletakan nama Zakaria dalam blacklist.
"Belum," kata Agus Soedjono, Senior Manager Corporate Communication
Sriwijaya.
Soal
ponsel Zakaria yang masih menyala itu membuat juga Kepala Pusat Informasi dan
Humas Kominfo Gatot S Dewa Broto
angkat bicara. Pihaknya kembali mengingatkan kepada berbagai pihak untuk
mematuhi peringatan larangan penggunaan perangkat telekomunikasi saat dalam
penerbangan.
"Tanpa
bermaksud menujukkan keberpihakan pada salah satu pihak karena masalahnya
(pemukulan pramugari) sudah ditangani pihak berwajib, kami kembali
mengingatkan. Peringatan ini bukan sekali ini saja, sudah berulang kali
disampaikan," tegasnya dalam siaran pers Kominfo, Kamis (6/6).
Setelah
terjadi musibah pesawat komersial Adam Air pada 2007 dan Sukhoi Superjet pada
tahun lalu, sempat muncul wacana penggunaan ponsel dimungkinkan dalam penerbangan
baik domestik maupun internasional, pertimbangannya agar mengantisipasi jika
terjadi musibah diharapkan dapat dihubungi. Namun Gatot menegaskan seandainya
wacana itu disepakati publik, dikhawatirkan justru berpotensi membahayakan
keselamatan penerbangan.
Ponsel
tidak hanya mengirim dan menerima frekuensi radio, tapi juga memancarkan
radiasi tenaga listrik untuk menjangkau BTS. Jadi dalam kondisi 'on', ponsel
bisa memancarkan sinyal dan tetap melakukan kontak dengan BTS terdekat. Federal
Aviation Administration (FAA) menilai ponsel, televisi, dan radio merupakan
portable electronic devices (PED) yang berpotensi mengganggu peralatan
komunikasi dan navigasi pesawat.
Terlepas
dari itu baik Febby maupun Fatma serta seluruh petugas pendukung transportasi
komersil lainnya memang bertugas membantu tetapi bukan dalam artian pembantu,
mereka melayani secara profesional tapi bukan pelayan, sedangkan penumpang
ialah tamu terhormat. Apapun kondisi psikis penumpang tak sepantasnya
menggunakan cara barbar, tak perduli pangkat dan jabatannya.
Dan
pemukulan itu tentu paling besar dampaknya secara psikis. Bagi Febby semangat
dan rasa antusiasnya saat menjadi awak kabin dalam penerbangan Sriwijaya pada
Rabu malam itu sepertinya tinggal trauma yang tersisa.
“
Iyah kondisi psikisnya agak terganggu dengan kasus ini, capek,” kata Shita
Destya, adik Febby.
Tulisan ini versi
lengkap dari tulisan berjudul sama yang terbit di Bisnis Indonesia, 10 Juni
2013