Pesawat B727-200 Merpati, photo by indoflyer |
Oleh M. Tahir Saleh
PADA Oktober 2006, secarik surat
dilayangkan mantan Dirut Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan kepada
Menteri BUMN kala itu Soegiharto
Isinya, soal rencana revitalisasi
perusahaan penerbangan pelat merah yang dibangun pada 1962. Tidak berapa lama,
rencana penyelamatan operator penerbangan dari kebangkrutan itu disetujui
Soegiharto dengan tiga strategi yakni penambahan armada baru, restrukturisasi
SDM, dan restrukturisasi utang.
Sayangnya, saat rencana itu
direalisaikan, Merpati belum bisa men dapatkan pesawat Boeing 737. Iklan yang
dipasang melalui situs www.speednews.com, 13 kali gagal menarik minat
perusahaan penyewaan atau leasing dunia.
“Reputasi keuangan Merpati yang sangat buruk,
lessor besar seperti GECAS, ILFC, atau pun Sumitomo menutup pintu,” katanya dalam
buku Jangan Pidanakan Perdata (2012).
Utang hingga Rp6 triliun tentu menjadi bahan
pertimbangan bagi siapa pun pihak yang ingin menggandeng Merpati sebagai mitra
bisnis. Utang itu seakan menjadi batu sandungan Merpati terbang setinggi
maskapai BUMN lain yakni Garuda Indonesia.
Tak heran jika Kamis (11/7) pekan lalu,
Menteri BUMN Dahlan Iskan kecewa dengan perkembangan
Mer pati dan akhirnya terpaksa akan menjual saham maskapai itu ke investor
strategis lantaran kondisi keuangan makin memburuk.
Setengah utang itu memang diperoleh
dari kerja sama dengan PT Angkasa Pura (AP) II, PT Pertamina, dan PT Bank
Mandiri Tbk. Dengan restrukturisasi, ketentuan utang akan berganti baik dari
sisi bunga maupun konversi utang menjadi saham.
Namun, restrukturisasi tak berjalan
baik kendati masih berlanjut. Perta nyaannya, apakah ketiga BUMN itu mau begitu
saja menjadi pemegang saham di Merpati yang tengah babak belur?
Bisnis inti ketiga kreditur itu ialah menjual
jasa atau produk, tentu mereka menginginkan cuan bukan dibebani masuk ke perusahaan
dengan utang besar.
Apalagi rating Merpati jelek, masuk
dalam urutan 20 maskapai terburuk di dunia versi Skytrax bersama dengan
Turkmenistan Airlines, Sudan Airways, Air Algerie, dan Ryanair.
Armada Merpati juga termasuk uzur seperti
seri Boeing 737 classic yakni 737-200, 737-300,
737-400, dan 737-500.Bandingkan dengan armada Ga ruda, Sriwijaya, dan Lion Air
di antaranya Boeing 737-800NG dan Boeing 737-900ER, atau AirAsia yang diperkuat
Airbus A320.
Sulit bagi Merpati mengejar
ketertinggalan meski saat ini manajemen menyatakan load factor sudah di atas
89%.
Semua kompetitor Merpati kini didukung pesawat
modern, sedangkan maskapai pelat merah itu hanya memiliki pesawat lama ditambah
pesawat baru buatan China yang masih asing di dunia penerbangan yakni MA-60.
Patut disyukuri, Merpati belum bangkrut
di tengah banyak masalah, terakhir kecelakaan di Bali, padahal Batavia Air
sudah lebih dahulu gulung tikar dengan utang yang lebih rendah yakni Rp2,5
triliun.
Merpati sebetulnya layak di
pertahankan. Ini sama halnya dengan upaya mempertahankan perusahaan pelayaran
nasional PT Djakarta Lloyd.
Pemerintah juga pernah melakukan restrukturisasi
mulai dari suntikan dana, pengurangan
karyawan, revita lisasi armada, pemindahan kantor pusat, hingga penjualan aset
tak pro duktif. Namun, belum berhasil juga.
OPSI PAILIT
Upaya masuknya operator jalan tol Citra
Marga Nusaphala Persada gagal. Konversi utang
juga berpotensi gagal, sementara beberapa anggota DPR menginginkan Merpati dipailitkan
saja karena dianggap banyak merongrong anggaran negara daripada memperkuatnya.
Pernyataan Dahlan bakal melego maskapai
ini ke investor strategis menjadi pertanda pemerintah hampir putus asa. Potret
Merpati adalah kegagalan direksi, kementerian terkait, dan negara yang gagal mengelola
aset dan sumber daya.
Entah karena inefisiensi atau korupsi
di tubuh Merpati karena masih da lam ingatan bagaimana pengadaan MA-60 yang
tidak transparan hingga tak baiknya pengelolaan manajemen.
Padahal Merpati mulai berbenah. Misalnya,
mereka bakal mendatangkan Airbus A320 atau Embraer guna ekspansi ke wilayah
barat Indonesia.
Selama ini, mereka melayani rute
terpencil terutama bagian timur. Bila segala upaya pembenahan ini tak dukung,
sulit rasanya membuat maskapai ini bertahan.
Toh jauh sebelum rencana
konversi, Merpati juga pernah mengonversi utang menjadi saham dengan Garuda,
besarannya 4,21% saham seperti tercatat dalam laporan keuangan Garuda.
Pada 1989, Merpati dan Garuda bah kan
pernah menggelar operasi terpadu guna meningkatkan efisiensi. Sebanyak 37 pesawat Garuda, DC-9 dan F-28
dialihkan, beberapa rute domestik Garuda
pun dialihkan ke Merpati.
Perlukah seluruh BUMN dipaksa
menggunakan Merpati untuk angkutan pegawai dan kargo? Bila pembelian oleh
investor strategis merupakan satu-satunya jalan keluar bagi masa depan Merpati,
perlu ada sokongan pemerintah da lam bentuk penawaran tertentu.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia
pada 2011 melalui PM Mahathir bin Mohammad ba rangkali patut jadi contoh dalam
menjaga aset maskapai penerbangan AirAsia milik BUMN Malaysia, DRB-Hicom.Maskapai
itu ditawarkan kepada Tony Fernandes, pendiri Tune Air Sdn Bhd, seharga RM1
atau setara dengan US$0,25 dengan beban utang AirAsia saat itu mencapai RM40
juta.
Kini, tak bisa ditampik AirAsia menjadi
maskapai LCC yang ber kembang signifikan di bawah Tony Fernandes.
Sejarah mencatat pada era 1985-1986, pemerintah
juga pernah mengintervensi BUMN yang merugi, ketika itu PT Perkebunan (kini
PTPN) IV di Sumatra Utara harus diselamatkan melalui intervensi Menteri
Pertanian Achmad Affandi.
Di China, BUMN bukan hanya kendaraan mencari
keuntungan, melainkan juga perpanjangan politik mereka dalam menggeser kendali
BUMN di belahan bumi ke Asia dan Pasifik dari AS.
Di Singapura, negara memprakarsai pendirian
BUMN yang memang dirancang memenuhi kebutuhan domestik dan pasar dunia.
Miris rasanya jika Merpati bangkrut,
padahal kontribusi maskapai itu cukup besar menerbangi sejumlah daerah perintis
yang tidak dilakukan maskapai komersial lain. Tentu dukungan tak cukup bila
Merpati secara internal tak termotivasi meningkatkan
efisiensi dan inovasi.
Barangkali menarik apa yang
dikemukakan, Nabiel Makarim, bekas anggota YLKI era 1980-an dan mantan Menteri
Lingkungan Hidup, bahwa swastanisasi itu bukan menjual BUMN kepada swasta,
melainkan memperkuat rule of game struktur tanggung jawab antara pengelola dan
pemilik.
Bila setelah swastanisasi tapi sebuah BUMN
terkait masih juga belum bergerak, di sinilah baru diperlukan pemecahan
manajemen dan kesempatan pasar.
Seperti halnya pada perusahaan swasta, bila
Merpati tetap tidak berkembang pascaswastanisasi jawabannya adalah menyuntik mati
maskapai itu. (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, Senin, 15
Juli 2013