Sabtu, 07 Juni 2014

Janji Manis Desainer

IFW 2014, rancangan Juanita Seno Aji,
photo by Jhoni Hutapea/Bloomberg Businessweek Indonesia
Ada problem besar di balik ingar-bingar konten lokal dalam pagelaran mode Tanah Air.

Oleh M. Tahir Saleh

UNDANGAN dari Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian Euis Saedah itu datang pada Selasa, 18 Februari.  Yustina Makunimau (42), Kepala Bidang Perindustrian Dinas Koperindag Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, diminta hadir membawa seorang penenun ke ajang Indonesia Fashion Week (IFW) 2014 di Jakarta.

“Mendadak sekali ya, Bu. Apa keburu?” tanya Yustina kepada staf khusus dirjen yang meneleponnya. “Usahakan Ibu hadir,” begitu jawaban dari seberang telepon.

Esoknya, Yustina langsung mengontak Sariat Lebana, penenun asli Alor. Mereka bergegas menyiapkan remeh-temeh keperluan perjalanan ke Jakarta karena IFW diselenggarakan di Jakarta Convention Center (JCC) 20-23 Februari. Awalnya berat lantaran tenggat mepet, ditambah lagi belum ada izin dari kepala dinas. Tapi rasanya muskil menolak undangan dirjen. Mereka lalu berangkat menuju Kupang, ibu kota NTT, pada Kamis dan melanjutkan perjalanan dengan Batik Air menuju Jakarta. Jumat pagi, dua perempuan sebaya ini tiba. Mereka lalu memutuskan menginap di Wisma Pertamina, depan Stasiun Gambir, Jakarta Pusat.

Hari sebelumnya (Kamis), IFW resmi dibuka oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu serta Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Acara tahunan yang digelar sejak 2012 ini menjadi pekan mode, selain Jakarta Fashion Week dan Jakarta Fashion and Food Festival.

Lebih dari 200 desainer dan sekitar 500 merek lokal menjadi peserta gelaran hasil kerja sama Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) bersama Radyatama ini. Awalnya pendaftar menembus 900 produk, tapi disaring menjadi 500 demi menjaga kualitas. Nilai transaksi tunai selama pameran mencapai sekitar Rp12 miliar, belum terhitung via kartu kredit dan order lainnya. “Pengunjung mencapai sekitar 80.000. Ini berkat ada acara lain juga di JCC. Tapi, arah Indonesia Fashion Week bukan hanya soal pesanan melainkan agar desainer punya networking,” jelas Dini Midiani, Direktur IFW, pekan silam.

Tema yang diusung IFW kali ini ‘Local Movement, Green Movement’, mengajak masyarakat mencintai produk lokal. Tahun lalu, temanya menahbiskan sarung sebagai tren busana, dan pada 2012 mengambil tema ‘Colorful Indonesia’.

Tema-tema lokal ini terus didengungkan, termasuk dalam pagelaran mode Jakarta Fashion Week dan Jakarta Fashion and Food Festival. Konten lokal, antara lain kain tenun atau batik, juga menjadi daya tarik saat desainer beranjangsana dalam pekan mode di luar negeri. Itu sebabnya, kehadiran Sariat Lebana, satu dari ratusan penenun asli, menjadi penting dalam pagelaran ini guna membuktikan kepedulian penyelenggara terhadap konten lokal.
           
**


KEBERADAAN penenun lokal—kebanyakan berusia tua—selama ini memang mendapat perhatian para pemangku kepentingan (stakeholders), meski belum dibilang optimal. Padahal tenun sudah ada sejak dulu, leluhur mereka bahkan bergelut dengan aktivitas tradisional ini berabad-abad lamanya.

Betul bahwa pemerintah memberdayakan penenun dengan menggelar pameran, membiayai perangkat, pameran ke luar negeri, mendirikan rumah tenun, peningkatan pengetahuan, dan lainnya. Pengusaha tekstil atau desainer juga menunjukkan kepedulian dengan memasukkan konten lokal dalam karyanya, lalu dipamerkan.  Akan tetapi, itu belum cukup.

Beberapa desainer atau pengusaha tekstil memang serius mengangkat tenun ikat untuk diterapkan pada pakaian ready to wear (siap pakai berproduksi massal). Tapi mirisnya, terselip beberapa desainer—tidak memakai kain tenun—yang malah ‘mencuri’ motif tenun untuk diimplementasikan dalam karya mereka.

Alasannya, kain tenun terkendala dana, proses pembuatannya tak bisa massal dalam waktu cepat karena dibuat dengan tangan kosong dan sangat tradisional, ditambah karakter bahannya belum mendukung industri fashion lantaran panas dan tebal. Alhasil, jiplakan motif pun terjadi atas ragam hias tenun di antaranya flora, fauna, geometris, dan dekoratif.

Musa, photo by Bronz Magazine
Langkah laten ini jelas merugikan penenun karena sampai kapan pun mereka jalan di tempat. Slogan pameran-pameran yang mengangkat kekuatan lokal menjadi satu hal yang mesti benar-benar diimplementasikan. Sebab, faktanya beberapa desainer malah memilih 'bahan sendiri' seolah-olah itulah tenun yang asli. “Dibilang banyak juga tidak ya, cuma ada lah [desainer] yang ambil motif lokal. Tapi, kembali lagi bahwa itu kebebasan dalam mengekspresikan kelokalan,” kata Musa Widiatmodjo, desainer pemilik PT Musa Atelier.

Menurut Musa—yang juga penasehat APPMI—sebetulnya desainer tidak ‘mencuri’ motif, melainkan menerjemahkan konten lokal secara bebas dengan memodifikasi. Tenun dan batik tak bisa dijual ke semua orang karena terkait dengan selera. “Jadi terjemahan lokal itu bebas sekali,” kata Musa. “Go local itu bisa saja bahan bakunya lokal, tapi desain dan konsepnya modern. Bisa juga hanya motifnya lokal, bisa juga bahan baku dan motifnya lokal.”

Pemilik merek eksklusif M by Musa dan Musa Co ini bukan termasuk desainer yang kurang kreatif. Dia concern mengembangkan tenun. Di IFW, Musa menawarkan baju pria berbahan tenun rancangannya dengan harga sekitar Rp4-6 juta. Baginya, asalkan motif tenun tidak diambil plek-plek lalu dimodifikasi sesuai dengan modernisasi, hal itu bukanlah pencurian. Baru dikatakan curang bila mengambil motif murni.

Namun, dia mengingatkan beberapa penenun juga kadang berbuat ‘curang’. “Saya enggak bilang semua desainer itu orang baik dan benar. Sama saja, saya enggak bisa mengatakan pengrajin [tenun] itu [semuanya] baik dan benar. Ada juga pengrajin tidak jujur,” kata desainer lulusan Universitas Drexel, Philadelphia, Amerika, ini. Kecurangan itu misalnya suatu ketika desainer mengarahkan penenun membuat motif daun besar-besar. Nyatanya ketika ada pembeli langsung dijual oleh si penenun, padahal desainer lebih dulu memesan. “Ini pernah terjadi, maka itu tergantung kejujuran kedua belah pihak.”

Penjiplakan motif ini begitu kentara bila berkunjung ke pusat-pusat perbelanjaan tradisional atau modern. Tak hanya desainer, pengusaha tekstil juga ambil bagian dalam upaya menggerus kreativitas tersebut.

Ketika saya mengunjungi Thamrin City, pusat perbelanjaan dekat Pasar Tanah Abang Jakarta, kain-kain bermotif tenun NTT disulap menjadi potongan celana harem atau atasan baju wanita dengan banderol harga Rp150.000-550.000. Hampir semua toko hanya menjual replika, tak ada yang memakai tenun asli. “Kalau tenun asli modalnya besar. Kain ukuran satu meter saja bisa sampai Rp500.000-an. Dibikin pakaian jadi pasti harganya bisa jutaan. Siapa yang beli?" ujar seorang pemilik toko.

Selain mahal, kain tenun asli juga dinilai kaku dan tebal sehingga perlu didukung oleh teknologi dan pemilihan bahan. Potret serupa juga tampak di Pasar Kanoman, Cirebon, Jawa Barat.  Jika biasanya kain batik terpajang hampir di setiap toko di lantai dua, kali ini berbeda karena kain-kain 'tenun' seolah tampil sebagai tren baru. Di toko pertama, saya langsung menunjuk kain cokelat dengan corak khas NTT. Begitu dipegang, ternyata bukan tenun sungguhan, melainkan sejenis kain sutra bermotif tenun. Penjualnya mematok harga Rp22.000-25.000 per meter. Saya tawar Rp18.000, dia setuju.

Di toko sebelah, saya menemukan jenis kain serupa. Warnanya hijau tosca dengan corak persis seperti tenun buatan penenun asli Alor. Harganya Rp27.000 per meter. Tapi, berhasil ditawar Rp23.000 per meter. Si penjual bilang kain motif tenun itu memang sedang laris. Banyak orang, baik dari Cirebon, Bandung, dan Jakarta kepincut memborong untuk dijahit menjadi pakaian jadi.

Fenomena ini mestinya sudah diwaspadai pemerintah karena kain tenun, kain batik, kain songket, atau kain daerah lainnya merupakan warisan budaya Indonesia yang patut dilestarikan. Pelestarian itu juga mesti berdampak pula dalam keuangan para penenun di pelosok-pelosok, bukan sekadar menjiplak motif, lalu ditempel pada bahan sifon, katun, dan lainnya.

Apabila motif itu ditiru seluruhnya, menurut Dini Midiani, perbuatan itu kanibalisme. “Akan lebih bagus kalau motif itu menjadi inspirasi, jangan langsung ditiru. Dikembangkan boleh karena ada yang enggak mungkin sesuai di kain tenun,” kata Direktur IFW ini. Timnya juga sudah berupaya meminimalkan aksi sepihak desainer ini melalui seminar, workshop, dan pelatihan agar perancang busana lebih kreatif dan tak lagi full mencontek motif. “Kami juga masuk ke 12 sekolah mode di Indonesia. Tujuannya memberikan pemahaman kepada calon-calon desainer tentang ini karena yang muda itu menjadi penerus.”

Motret Aliki di IFW 2014
Penjiplakan motif juga kerap mengarah pada desainer-desainer muda. Tapi Putu Aliki, salah satu desainer muda pemilik brand Aliki dari Bali, membantah hal itu. Perancang busana jebolan Harry Darsono Art and Design College di Jakarta ini menegaskan modifikasi motif itu tidak salah. “Kalau dia [desainer] bilang mengaplikasikan tenun, ya harus tenun. Jangan gembar-gemborkan tenun, tapi nge-print motif saja, tidak modifikasi.”

Akan tetapi, Aliki juga punya argumentasi mengapa tak semua desainer memakai kain tenun. Beberapa bahan tenun cenderung kurang nyaman untuk pakaian ready to wear. Bahannya (poliester) panas saat digunakan. Sedangkan jika memilih katun Bali harganya mahal, tidak pas untuk kantong anak muda. “Katun Bali mahal, per meter Rp75.000-150,000. Satu baju butuh beberapa meter sehingga jadi mahal, kan? Tenun agak tebal dan kasar gitu, dan kalau mau halus itu sutra, tapi jadi mahal. Banyak kendala,” katanya di sela-sela pagelaran IFW.

Pengembangan tenun daerah, katanya, dilakukan dengan memberi pelatihan agar motif tidak monoton dan menggandeng penenun itu sendiri dalam bentuk kerja sama. “Ada desainer kolaborasi dengan penenun, ada yang beli. Kan enggak semua pengrajin itu kaya. Kalau di pelosok belum tentu penenun itu sukses. Bahkan, mereka sama sekali enggak tahu apa itu fashion.”

Keberpihakan terhadap nasib penenun itu semestinya terus dijaga dan bukan hanya dimanfaatkan. Dari sisi ekonomi, kontribusi industri fashion tak sedikit. Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perindustrian mencatat industri fashion menyumbang Rp164 triliun pada PDB 2012 atau 28,66%—naik 0,5% dari 2011 (Rp147 triliun). Data Badan Pusat Statistik juga mengungkap, selama 2007-2011, ekspor fesyen Indonesia tumbuh 12,4%, dengan negara tujuan ekspor utama: Amerika, Singapura, Jerman, Hong Kong, dan Australia.

Pada Januari-November 2012, ekspor fesyen mencapai US$12,79 miliar, naik 0,5% dari periode sebelumnya. Industri ini pun menyerap tenaga kerja hingga 3,8 juta orang. Tahun lalu, kontribusi terhadap PDB mencapai Rp181 triliun. “Gairah industri fashion akan menjadi pendorong utama pertumbuhan sektor industri kecil-menengah,” kata Dirjen IKM Euis Saedah, dalam keterangan resmi Kementerian Perindustrian.

Euis belum kembali dari lawatannya ke Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores Barat, NTT. Lewat telepon seluler, ia mengatakan keberpihakan pemerintah terhadap penenun sudah sejak 1980. Banyak program dilakukan mulai dari menyediakan sarana dan prasarana, peningkatan pengetahuan, melestarikan, membantu pemasaran, hingga mengajak desainer membantu penenun.

Okke Hatta Rajasa Ketua Cita Tenun Indonesia (CTI) juga turut serta dalam kunjungan Euis ke Labuan Bajo tersebut. Organisasi ini didirikan untuk melestarikan, memberdayakan, dan memasarkan tenun-tenun Indonesia. Dua programnya cukup positif, yakni Program Desa Tenun Kreatif Mandiri Terpadu dan Program Pemberdayaan Pengrajin Tenun. CTI juga memiliki beberapa desa binaan tenun.

Okke Rajasa mengatakan mereka bekerja sama dengan pemda setempat untuk penanaman pohon kapas sebagai bahan baku tenun, tahap awal 5 hektare dulu dari total 500 hektare. “Kami juga membantu pengembangan salah satu motif di Labuan Bajo, yakni mata manuk [manuk: ayam-bahasa Flores],” kata istri Menko Perekonomian Hatta Rajasa ini pekan lalu.

Lebih lanjut Euis mengatakan dia tak memungkiri ada penjiplakan motif tenun, tetapi bukan hanya oleh desainer dalam negeri, melainkan juga oleh desainer luar. “Saya enggak mau nyebut merek. Tapi ada desainer luar, motifnya mirip sekali dengan tenun kita. Cuma dia pintar, dimodifikasi, ditambah-tambahin,” kata Euis. Oleh karena itu, satu solusi yang tengah didorong ialah pendaftaran hak atas kekayaan intelektual (HAKI) atas motif tenun ikat.

**

DARI lobi utama Wisma Pertamina, Sariat (42) memandang jauh ke depan. Kerut di wajah perempuan bercucu lima ini makin kentara. Dengan bahasa Alor campur bahasa Indonesia yang perlu lama dicerna, dia mencurahkan kegundahannya soal motif kain tenun, perjuangannya menemukan 186 warna alam, dan harapan perlindungan hak paten.

Menemani Sariat
jalan-jalan ke depan Istana Negara
 
Mama Sariat, begitu dia biasa dipanggil, merupakan salah satu dari sekitar 500 penenun dari Desa Ternate Umapura, Alor Besar, NTT. Pada 2005, dia terpilih menjadi ketua kelompok tenun di wilayahnya sampai saat ini. Satu kelompok tenun di sana terdiri dari sekitar 53 penenun. Dengan sokongan pemda, Sariat diminta membantu kajian pencelupan dan pewarnaan kain. Maklum, sejak usia enam tahun dia sudah aktif menenun berbekal pengetahuan turun-temurun dari leluhurnya.

“Dari kecil sudah tenun, diajar sama ibu, terus memang kita punya pekerjaan cuma ini.”

Dengan membentuk kelompok tenun, aktivitas tradisional ini menjadi lebih baik dari sisi pemasaran dan produktivitas. “Kalau kita tidak berkelompok, kita asal tenun saja. Besok pigi jual, tapi orang tidak pesan, jadi tidak laku. Kalau kamu mau tabung uang berarti marilah kita berkelompok, Kita bisa tabung uang untuk anak sekolah,” kata Sariat.

Sebagai gambaran ekonomis, kain tenun yang dihasilkan dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) dibanderol sekitar Rp300.000-500.000. Kapas memang agak lebih mahal, tapi jika menggunakan pewarna alam, harga kain tenun bisa mencapai Rp750.000-1 juta. Di Desa Ternate, ada sekitar 270 kepala keluarga dengan jumlah penenun lebih dari 500 orang.

Bila menggunakan benang kelos atau benang rayon harganya lebih mahal, tapi hangat. Selain benang, penenun juga menggunakan beberapa alat: biasanya alat tenun Gedogan (bagian ujung alat dipasang pada pohon/tiang rumah dan ujung lain diikatkan pada badan penenun yang duduk di lantai), ATBM (digerakkan oleh injakan kaki untuk mengatur naik turunnya benang lungsi), dan ATBM Dobby—alat tambahan mekanis yang berada di atas ATBM. Dobby berfungsi mengontrol penganyaman benang pada perkakas tenun lain.

Jika order satu set kain tenun (sarung dan selendang) dengan menyediakan benang, penenun menerima Rp250.000 dengan hitungan minggu, tapi kalau desainer memberi satu set sekitar Rp350.000. Pesanan berkisar 140-200 lembar kain tenun. Namun tak ada standardisasi penentuan harga untuk tenun ikat ini, padahal desainer atau pengrajin tekstil tentu menjual dengan harga jutaan. “Kami tengah berupaya agar ada standar harga. Jadi, penenun sudah punya patokan harga,” kata Yustina Makunimau.

Calon-calon penenun di Alor, photo by Firda
Hanya saja, kekhawatiran Sariat bukan cuma nilai ekonomis, tetapi teknik pewarnaan alam yang dia temukan. Sampai kini belum ada perlindungan hak paten. Warna-warna alam itu dihasilkan dari tanaman dan biota laut. Ketika saya mengeluarkan sebuah selendang khas NTT, Sariat lalu mempreteli satu-satu warna alam itu. “Ini biru dari indigo [pohon nila]. Indigo kalau kita mau cari hitam kita harus campur ini dengan biji asam.”

Dia juga menemukan warna alam kuning dari rempah jenis kunyit, hijau dari teripang, ungu dari cumi-cumi, dan lainnya. Pohon bakau, katanya, buahnya bisa dimakan dan airnya merah kalau direbus. “Itu bagus untuk warna. Kulit bakau juga bagus untuk merah, lalu daun bakau itu untuk warna hijau.”

Lantaran khawatir ditiru, Sariat enggan membeberkan bagaimana proses warna itu ditemukan secara detail. Hak paten itu sudah lama diupayakan, tapi sampai saat ini prosesnya menggantung, termasuk juga HAKI untuk motif tenun. “Saya cari setengah mati. Saya cari pewarna alam ini biar hidup baik, ko tidak baik, ko terserah. Tapi [kalau] saya pu emosi sedikit su naik itu, saya hapus-hapus lalu lebih baik saya pigi tidur, begitu sebentar habis sudah.”

Musa Widiatmodjo, desainer, menganggap hak paten tak semudah dibayangkan. Kalau motif itu sudah ada sejak 100 tahun yang lalu, itu motif publik, tidak bisa diklaim. Kecuali, dibuat motif original dan bisa dibuktikan tanpa ada protes. “Tetapi itu pun punya batasan, hak paten itu diberikan karena apa? Tekniknya, motifnya, proses pembuatannya? Itu selama berapa tahun patennya? 10 tahun? 50 tahun?”
Pengamat pertekstilan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Biranul Anas mengatakan pemerintah tampaknya kesulitan menempatkan persoalan hukum ini.

“Sudah 25 tahun saya mengikuti isu ini. Banyak teori tentang HAKI, tapi itu tinggal teori.”

Ia menilai strategi print motif lebih pada alasan ekonomis karena kehadiran motif cetak itu langsung menghujam jantung finansial para penenun. Hadirnya tekstil China yang murah turut membuat tenun asli dengan harga lebih mahal pun kalah di pasaran. Jika objektif, katanya, saling mencuri atau saling ‘meminjam’ corak untuk dikombinasikan dalam print itu sudah terjadi sejak zaman Nabi Adam. “Motif NTT itu sendiri itu meminjam dari motif lain. Tapi, saya melihat lebih pada pelanggaran moral. Kain NTT dijual per lembar Rp5 juta, padahal dibeli dari penenun per meter itu hanya Rp300.000-500.000. Tidak fair. Para desainer yang terlibat di dalam itu bertanggung jawab, mungkin mereka tidak tahu.”

Solusi yang Biranul tawarkan ialah tertib label dan pemerintah melakukan pengawasan intens terhadap label. Artinya, kalau memang kain tenun itu dicetak motifnya, perlu ada label yang menjelaskan hal itu, apalagi masyarakat awam belum bisa membedakan. Ini menjadi tanggung jawab kementerian terkait. Jikalau desainer tidak tahu motif itu, mereka mesti mencantumkan asal muasal desain itu. “Sebut aja komunitasnya, jangan bilang itu desain kamu. Bilang saja, ini desain dari komunitas desa apa, begitu.”

Okke Rajasa menambahkan mereka hanya bisa mendorong agar pemerintah atau kementerian terkait mempermudah pengurusan HAKI dan hak paten. Selama ini upaya-upaya pemberdayaan tak pernah berhenti meskipun organisasi CTI bukan lembaga pemerintah, tapi organisasi sosial. Dirjen IKM Euis Saedah mengatakan proses menuju HAKI untuk motif kain tenun dan hak paten mengenai teknik penenun atau proses pewarnaan alam tengah diupayakan. “Tetapi memang tidak cepat, setidaknya dua tahun.” Kendati begitu, kabar baik ini belum sampai di telinga Sariat.

Tak hanya paten, siang itu Sariat bersama Yustina bercerita soal karakter masyarakat Desa Ternate, pekerjaan suami-suami di sana, hingga pengalamannya naik pohon mencari warna alam. Ketika ditanya adakah desainer yang ingkar janji kepadanya, Mama Sariat bilang tidak ada. “Orang Jakarta yang ketemu saya, baik semua. Mereka tahu kita masyarakat miskin, saya terima kasih.” Entah ini jawaban jujur atau tidak. □


Tulisan ini terbit di Majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin 10 Maret 2014
Words: 2.676

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu